Teluh Tulang Kukang


Sore itu aku lagi asyik di kebun samping rumah. Sebuah kebun  yang dikelilingi pagar batako. Dengan senapan angin ditangan bolak balik kuarahkan ke buruan yang ada di kebun. Yang ku maksud buruan itu sebenarnya belasan ekor ayam yang nangkring di pepohonan. Dan ayam-ayam itu sendiri adalah ayam-ayam peliharaan keluarga kami.

Tiap kali senapanku meletus, ayam-ayam berhamburan, lari kesana kemari, terbang dan hinggap di pohon lain. Sudah ada satu ayam yang tertembak olehku, seekor ayam betina yang cukup gemuk, rencananya akan kubawa pulang, lumayan buat lauk.

Tidak ingin menyombong, aku termasuk anak orang berpunya di kampung, biar ayahku petani, tapi petani sukses. Kadang aku kagum dengan ayah, karena tiap kali ia tanam sesuatu, pasti yang di tanam harganya akan meroket begitu di panen, mungkin juga karena ayah pandai menghitung musim lakunya jenis tanaman tertentu atau bisa juga disebabkan besarnya peruntungan ayah.

Oleh hasil pertanian itulah kami bisa membangun rumah yang termasuk paling mewah di kampung, belum lagi luas lahan garapan yang kami punya.

Pernah ada juga warga yang ku anggap iri melihat keberhasilan ayahku, di sebarkan desas desus kalo ayah pelihara pesugihan tuyul buat cari uang. Gila! Ada-ada saja pikiran buruk orang, hari gini masih percaya tuyul! Umpatku waktu itu.

Ayah cukup bijak, untuk meredam isu maka dipersilahkan para warga yang curiga agar datang kerumah dan dipersilahkan memeriksa keberadaan tuyul. Alhasil gosip tuyul itu menguap dengan sendirinya.

Kembali coba ku fokus untuk membidik, memang hobbyku kalo lagi suntuk menembaki ayam-ayam kami yang di biarkan begitu saja berumah di kebun, lumayan, kalau ada yang kena lagi, akan pesta daging ayam aku malam ini.

"Den! Den!" panggil seseorang kala aku lagi membidik. Aku menoleh, rupanya bibi pembantu rumah.

"Ada apa bi?" tanyaku sambil menurunkan senapan.

"Itu Den.. Ibu aden... ibu aden kumat..." jawabnya gugup.

Dahiku mengerut. Ibuku memang sakit beberapa minggu ini, dan sakitnya sungguh aneh, panas badannya naik turun secara drastis, sering pula teriak-teriak tak karuan, beberapa kali di bawa berobat kedokter belum juga ada perubahan, memikir itu, maka bergegas aku kembali kerumah.

Dirumah kulihat ibu tergeletak di lantai sambil dipeluk ayah.

"Ibu kenapa lagi yah?" tanyaku. Senapan ku sandarkan di samping meja.

"Ibumu kumat Jaka," kakekku yang berdiri di ruangan itu yang memjawab.

"Barusan ini lho, ibumu itu.. lha air panas barusan di tuang dari termos kok langsung di tenggak, seperti minum air dingin saja, gimana coba?" Lanjutnya.

"Lha terus gimana Kek?" tanyaku cemas.

"Penyakit ibumu memang mencurigakan, biarlah nanti kakek tanya-tanya dulu, siapa tahu ada yang bisa memberi petunjuk, siapa kiranya yang bisa menyembuhkan ibumu." jawab kakek.

Kami kemudian memindahkan ibu ke kamar. Aku begitu iba melihat keadaan ibu, wajahnya terlihat begitu pucat, sinar matanya tampal kosong.

Malamnya ayah dan kakek tampak duduk berbicara di ruang tengah. Akupun turut duduk pula mendengarkan.

"Apa tidak ada pertanda kejadian yang aneh sebelum ini Burhan? Karena kalau kuperhatikan kondisi istrimu makin hari makin tak wajar kelakuannya, dan kamu tahu sendiri, secars medis sudah kita coba, tapi tanpa hasil" tanya kakek pada ayah.

Ayah tampak merenung. "Entah ada kaitannya atau tidak, seingatku kurang lebih satu bulan yang lalu, di pelataran rumah kami ada yang menabur dengan serbuk semacam tepung."

Kakek manggut-manggut, "Hanya itu?'

Ayah menoleh kepadaku, "Kau Jaka, bukanya belum lama ini menemukan sesuatu di pot bunga depan rumah?" tanya ayah.

Kakek memandangku, "Benar Jaka?"

"Benar kek, waktu aku lagi menambahkan pupuk, ada tersembul bungkusan kek, kain kecil berjahit, entah apa isinya," jelasku.

"Mana barangnya?" tanya kakek tertarik.

"Anu kek, sudah saya buang, ayah yang nyuruh."

"Kupikir sekedar sampah," ucap ayah.

Dahi kakek tampak berkerut. "Sepertinya ada yang mau memyalahi keluarga kita Burhan."

"Lantas apa yang harus kita lakukan yah?" tanya ayahku.

"Sabarlah, besok aku tanyakan pada kenalanku," jawab kakek.

Tak lama kakek pamit. Rumah kakek tak jauh dari tempat tinggal kami, berjarak empat rumah.

Aku yang sudah merasa mengantuk masuk kamar untuk tidur. Suasana malam terasa begitu sepi, bahkan jangkerik yang biasanya berbunyipun tak terdengar. Setelah rebah dengan pikiran tak menentu, akhirnya aku lelap.

***

Paginya aku terbangun dengan tubuh lelah, kerongkonganku terasa kering. Masih ingat betul aku semalam. Selalu mimpi yang sama beberapa hari ini. Mimpi yang kualami sungguh-sungguh menyeramkan. Mimpi menarik rambut panjang yang keluar dari mulut, terus menerus, seakan-akan tak ada habisnya, terasa begitu nyata, bahkan tenggorokanku seperti pedih oleh gesekan rambut.

Entahlah apa artinya. Semenjak ibu sakit aku selalu mimpi hal-hal yang menakutkan, tentang hantu, tentang setan, dan akhir-akhir ini yang paling sering mimpi menarik rambut dari mulut seperti yang kualami barusan.

Siangnya kakek datang menemui ayah. "Burhan aku sudah menemui kenalanku tadi pagi, beliau mengatakan sangat mungkin isterimu telah kena diperdaya orang secara halus," ujarnya.

"Terus apa yang harus kita lakukan yah?"

"Hari ini juga isterimu kita bawa kesana," jawab kakek.

Memang kemudian agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kami segera membawa ibu ke tempat orang pintar yang di maksud kakek.

Sampai di sana kami di persilahkan masuk. Lelaki kenalan kakek mungkin sudah berumur 70 tahunan, karena jenggot panjangnya telah memutih semua, sosok yang tampak berkharisma. Tatapan matanyapun terlihat begitu tajam. Kiai Bakisan namanya.

Di depan sang Kiai kemudian ayah menceritakan perihal ibu, si orang pintar mengangguk-ngangguk.

Setelah selesai mendengar penuturan ayah, dipegangnya tangan dan dahi ibu, agak lama ia diam seperti menerawang dengan mata terpejam. Dilepasnya sentuhan pada dahi Ibu, kemudian kembali mengangguk. Perlahan matanya membuka, dan memandang kearah kami.

"Bagaimana kiai?" tanya kakekku.

Terdengar batuk kecil dari mulut Kiai, "Ibu ini benar-benar ada yang nyalahi. Orang yang tidak suka, sampai jadi sakitnya," jawab sang Kiai.

"Trus bagaimana? Kiai bisa menyembuhkan sakitnya?" kini ayah yang tanya.

Si orang pintar menggeleng dengan masih memegang ujung lengan ibu, "Berat. Ada yang telah di tanam di bagian rumah bapak untuk sarana teluh."

"Apa yang ditanam Kiai?" sela kakek.

"Tulang Kukang.."

Ayah dan kakek berpandangan.

"Solusinya bagaimana Kiai?" kembali ayah bertanya. Tampak kekhawatiran di wajahnya.

"Tulang kukang yang sudah di mantrai bukan main-main, sekali di tanam maka akan meresap, melebur dengan tanah, dan menyerang secara gaib siapa yang dituju. Solusinya cuma satu, berat memang, tapi lebih baik demi keselamatan istri Bapak dan keluarga," ucap Kiai.

"Apa itu Kiai?" tanya ayah tak sabaran.

"Bapak sekeluarga harus pindah rumah."

"Pindah?" Ayah seakan tak percaya.

"Ya, pindah," jawab Kiai Bakisan mantap.

Ayah mematuhi nasehat si orang pintar, tanah dan rumah di jual, dan kami sekeluarga pindah, sangat jauh, dari ujung ke ujung pulau. Menghindari ancaman maut yang mengintai Ibu.

Syukur, setelah pindah kondisi ibu kembali pulih, dan ayahpun mulai bisa kembali merintis usahanya.

Sekian.

Kumpulan Cerita Misteri, Cerita Silat, Cerita Horor, Cerita Remaja, Cerita Anak, Cerita Religi, Cerita Lucu, Cerita Sejarah, Cerita Petualangan, Cerita Detektif, Cerita Pendek, Cerita Serial, dll.

Post a Comment

Previous Post Next Post