RIMBA BARA - Tersesat



Akkhh!

Tubuh besar lelaki itu jatuh tersungkur mengantam tanah di iringi pekikan membahana. Hantaman tangan yang dilambari tenaga dalam menuntaskan gerak pukulan Baskara.

Tak ada gerak lanjutan dari sang musuh, kiranya nyawa satu-satunya telah lepas dari raga.

Kejap Baskara menoleh ke samping. Dua orang gadis berparas ayu masih berdiri dengan wajah pucat.

Senyum mengembang di bibir Baskara. "Eh, kalian ada baik-baik saja?"

Ucapan si pemuda menyadarkan dua gadis dari ketegangan yang menyelimuti mereka. Hanya anggukan sebagai jawaban.

Baskara kembali tersenyum. Ia melangkah menghampiri. Dua gadis tak bergeser dari tempatnya, satu pertanda tak ada kecurigaan di hati kalau si pemuda hendak berniat buruk.

"Nah, bahaya sudah lewat. Lelaki jahat itu sudah berhasil kukalahkan," ucap si pemuda. Ia diam sejenak menunggu reaksi dua gadis di depannya. Tak ada reaksi. Apakah mereka masih di cekam ketakutan? Ataukah memang demikianlah perangai para gadis, malu-malu? Pikirnya.

Masih ketakutan, mungkin saja, mengingat peristiwa yang mereka alami. Sekiranya ia tak kebetulan mendengar teriakan minta tolong, tentu tak nanti Baskara sampai di tempat ini. Sebuah hutan dengan pepohonan yang cukup lebat.

Semula ia hendak melanjutkan perjalanan menuju utara kembali ke kampung halamannya setelah menuntaskan pelajaran dari gurunya yakni Eyang Perbawa Jati. Di laluinya jalan setapak pinggir hutan untuk mempercepat sampai di tujuan. Menjelang sore tadi, saat hendak diputuskannya untuk mencari tempat bermalam, di dengarnya teriakan perempuan minta tolong. Tanpa berpikir dua kali segera ia lesatkan tubuh ke asal suara.

Dan apa yang di lihat membuat darah ksatrianya mendidih. Seorang lelaki tinggi besar hendak memaksakan birahinya pada dua orang gadis. Maka tanpa basa-basi diterjangnya lelaki jahat itu. Entah karena terdorong rasa marah, atau sudah matangnya ilmu yang di miliki, hanya dalam beberapa kali gebrakan, berhasil ia mengatasi kebringasan sang musuh.

Selepas memikir, pandang matanya menatap ke langit, matahari sudah hampir tenggelam di ufuk barat, suasana hutan mulai remang-remang.

"Malam hampir tiba, baiklah kita mencari tempat untuk beristirahat," ajaknya. Tanpa menunggu persetujuan, ia melangkahkan kaki menjauh. Sebenarnya ingin ia menguburkan mayat si penjahat, tapi mengingat suasana malam yang hampir tiba, lebih baik ia bergegas mencari tempat untuk bermalam. Kalau bisa mendekat ke arah pinggir hutan tadi, alangkah bahaya bila di dalam hutan, terutama dari kemungkinan adanya binatang-binatang buas.

Dua gadis tadi mengikuti dari belakang. Baskara mempercepat langkah, ditelusurinya arah yang tadi di laluinya. Tapi belum lagi sampai pada jalan setapak, langit sudah gelap, matahari telah tenggelam, hanya tersisa bias jingga di garis horison.

Ia hentikan langkah, dan menoleh kebelakang. "Sudah gelap, terpaksa kita bermalam disini, kalau di teruskan, aku khawatir kita akan tersasar."

Dua gadis itu tampak mengangguk. Mereka kemudian terlihat memandangi seputar tempatnya berada.

Baskara menaruh buntalan kain yang ia bawa, dengan matanya yang tajam di pungutinya ranting-ranting pepohonan, dikumpulkan cukup banyak, dan  ia nyalakan dengan pemantik api.

Nyala api membawa kehangatan, juga menerangi sekitar mereka, sebuah potongan pohon yang tumbang tidak seberapa besar dan terlihat masih kokoh menarik perhatian si pemuda, ia raih buntalannya kemudian menghampiri potongan batang pohon, ia taruh pantatnya.

"Kemarilah, duduklah disini," pintanya.

Gadis-gadis itu menurut, mereka duduk di samping Baskara.

"Janganlah takut padaku, aku bukan orang jahat, perkenalkanlah, namaku Baskara, seorang pemuda perantauan," ucapnya mencoba memecah kekakuan.

"Terimakasih Tuan," jawab salah satu gadis.

Baskara mengangguk, "Tak mengapa, sudah seharusnya kita saling menolong, siapa nama kalian?"

"Saya Laras, sedangkan ini adik sepupu saya, Tanjung namanya Tuan," jawab si gadis yang bersuara sebelumnya.

Laras begitu cantik, rambutnya hitam terurai, matanyapun hitam tampak bercahaya, kulitnya kuning langsat, bentuk tubuhnya begitu ideal bagi seorang perempuan. Ia memakai pakaian berwarna kuning. Sedang yang bernama Tanjungpun tak kalah cantik, dengan mata yang khas berwarna hitam agak kecoklatan, dengan lesung pipit menghias pipi.

Kembali Baskara mengangguk, "Hutan ini begitu lebat, bagaimana kalian berdua bisa sampai kemari Laras?"

Wajah Laras terlihat sedih, "Desa kami diserang kawanan perampok tuan, orang tua kamilah yang meminta kami untuk segera meninggalkan desa, takut terjadi hal buruk menimpa kami."

"Oh, demikian rupanya, tapi bagaimana kalian sampai di hutan?"

"Kami kebingungan hendak kemana tuan, pikir kami hutan tempat yang aman untuk bersembunyi sementara waktu, karena itulah kami kemari, tak dinyana, begitu siang tadi kami masuk kedalam hutan, bahaya lain mengancam. Lelaki jahat yang berkelahi dengan tuan itu yang kami temui," jelas Laras.

"Untung aku tidak datang terlambat, baiklah, kalian istirahatlah, besok pagi-pagi betul aku hantar kalian kembali kedesa," putus si pemuda setelah mendengar penjelasan si gadis.

Dua gadis itu tampak sebentar membersihkan dedaunan di sekitarnya, dan akhirnya merebahkan diri, tidur dengan berbantalkan buntalan yang mereka bawa masing-masing.

Di pandanginya Laras dan Tanjung, ah, sungguh malang nasib dua gadis ini, harus mengalami peristiwa seperti tadi. Tapi mereka masih beruntung, setidaknya masih ada kampung dimana bisa pulang, dan juga orang tua yang nantinya akan mereka temui kembali. Sedang ia? Semenjak kecil ia di asuh oleh gurunya. Eyang Perbawa Jati pernah menyampaikan, ia ditemuinya dalam perjalanan di sebuah desa di utara, dalan keadaan menangis sendirian, di samping jasad dua orang dewasa laki dan perempuan yang bersimbah darah, sebuah desa yang porak poranda layaknya di terjang badai kejahatan yang begitu hebat. Apakah jasad yang di lihat gurunya itu dua orang tuanya?

Tak terasa mata Baskara berkaca-kaca membendung kesedihan. Disekanya dengan punggung tangan. Bagaimanapun ia harus menyelidik asal usulnya, untuk itu ia harus segera melanjutkan perjalanan ke utara. Memikir kesitu lantas direbahkan tubuhnya, dan membiarkan fikirannya berlanjut ke alam lena.

***

Sinar matahari yang menerobos sela-sela dedaunan membangunkan Baskara, ia segera bangkit berdiri. Laras dan Tanjung tak berapa lama jua terbangun.

"Bagaimana tidur kalian, nyenyak?" tanyanya.

"Nyenyak tuan," kali ini Tanjung yang bersuara.

Si pemuda meraih buntalannya, ia merogoh-rogoh di dalamnya, ia mencari bakal calon menu sarapan mereka pagi ini, dendeng daging.

Tak lama mereka asyik menikmati sarapan. "Jauhkah desa kalian dari sini?" tanya Baskara sembari menggerogot daging ditangannya.

"Tidak tuan, seingat kami, belum terlalu jauh kami masuk hutan, dan dari pinggir hutan tidaklah jauh desa kami, bahkan kami masih melihat rumah-rumah penduduk dari pinggir hutan, karena letak dataran hutan yang lebih tinggi," jawab Laras.

"Kalau begitu, selesai bersantap, kita lekas menuju desa kalian, aku khawatir, karena kalian bilang kawanan rampok yang menyatroni desa," ucap si pemuda.

"Baik Tuan."

Begitulah, selesai mereka menghabiskan sarapan, Baskara mengajak Laras dan Tanjung melanjutkan perjalanan keluar dari hutan.

Namun sungguh aneh, sudah berjalan cukup lama belum ditemuinya tanda-tanda lebatnya pepohonan hutan bakal habis, bahkan matahari yang semula baru bergerak dari timur kini sudah mulai memancar teriknya, menandakan waktu sudah beranjak siang.

Laras dan Tanjung yang berjalan di belakangnya terlihat sudah kepayahan sebentar-bentar menyeka peluh.

"Laras, Tanjung, apakah benar jalan yang kita lalui ini, kenapa batas hutan belum terlihat juga? Perasaan waktu kemarin aku masuk, tak berapa jauh dari pinggir hutan?" tanyanya.

"Entahlah tuan, kami juga bingung," jawab Tanjung.

Baskara hentikan langkah. "Heran, kemarin aku masuk hutan dari arah barat ke timur, dan tadi pagi kita bergerak ke barat, kenapa malah pepohonan makin terlihat lebat begini?" ucapnya seakan-akan bertanya pada diri sendiri. Pandang matanya awas ke pepohonan yang menjulang di sekelilingnya.

"Bagaimana menurut kalian? Kita lanjut atau beristirahat dulu?"

"Kami kelelahan tuan, sebaiknya istirahat dulu," kini Laras yang menjawab. Pakaiannya tampak kusut di tambah dengan basah oleh keringat.

"Baiklah."

Si pemuda mencari tempat yang teduh untuk rehat, ia meminta dua gadis menyalakan api untuk menghangatkan dendeng yang ia bawa. Selagi para gadis disibukkan dengan tugas mereka. Ia sendiri mencoba melihat-lihat keadaan sekitar, siapa tahu ditemuinya jalan setapak yang akan menuntun mereka keluar dari hutan.

Setelah memeriksa tanpa hasil, ia kembali ketempat dua gadis ditinggalkannya. Rupanya mereka telah menyelesaikan tugasnya. Lantas saja ia duduk, dan mereka kembali bersantap dengan menu yang sama siang itu.

Tak ada percakapan selama mereka makan, alam pikiran mengembara masing-masing, terutama diliputi pertanyaan kenapa batas hutan belum mereka temui? Apakah mereka salah mengambil arah?

Selesai bersantap kembali mereka melanjutkan perjalanan, Baskara tetap menuju arah ke barat, dengan masih yakin arah tersebutlah yang akan menuntun mereka keluar dari hutan.

Namun sungguh heran, kembali kelelahan dua gadis itu di ajak jalan, tetap saja mereka masing terkurung di dalam hutan. Baskara memutuskan untuk menghentikan perjalanan hari itu, karena tak tega melihat kaki Laras dan Tanjung yang mulai lecet terlalu berat untuk berjalan.

Beruntung, tak jauh dari tempat mereka memutuskan untuk bermalam, ada sebuah sungai yang tidak terlalu lebar, jernih airnya, dapat di gunakan untuk membersihkan diri dan diambil untuk minum.

Hari mulai beranjak petang, mereka bertiga duduk dilingkaran api unggun. Beda menu mereka malam ini, karena sore tadi Baskara berhasil menangkap tiga ekor ikan gemuk-gemuk, dan kini tengah mereka panggang untuk mengisi perut.

"Apa kaki kalian masih sakit?" tanya Baskara sambil membolak-balik ikan yang di bakarnya.

"Tidak tuan, setelah kami basuh dengan air dan dibawa duduk cukup, sudah tidak terasa pedih dan pegal," jawab Tanjung.

"Baguslah," ujar si pemuda. Bau harum ikan yang sudah matang tercium membuat perut minta segera di isi. Dengan cekatan ia mengangkat tiga ekor ikan, ditaruhnya di lembaran daun yang telah disiapkan.

"Sudah matang, ayolah kita makan," ajaknya.

Pergaulan beberapa hari membuat dua gadia tidak merasa canggung. Merekapun tanpa malu lagi mengambil jatah masing-masing.

"Menurut kalian ke arah mana kita besok, terus ke barat atau berbalik arah?" tanya si pemuda sambil makan.

"Kami menurut saja, mana jalan yang tuan ambil, terus terang kami juga benar-benar sudah tak tahu lagi, arah mana yang menuju jalan keluar dari hutan.

Baskara mengangguk pelan, walau mulai ragu, ia masih bertekad mengambil jalan ke arah barat, moga-moga besok mereka temukan satu petunjuk.

***

Tapi rupanya takdir berkata lain, tidak cuma sehari, dua hari, sudah satu minggu mereka menelusuri hutan, tetap tak merek temuinya jalan keluar, bahkan saking frustasinya, sudah empat penjuru mata angin jalan mereka tempuh tetap saja nihil hasilnya, malah seakan-akan makin jauh mereka masuk ke dalam hutan, makin bermacam tumbuhan mereka temui, juga hewan-hewannya, membuat Baskara makin berwaspada, seandainya cuma ia sendiri, tentu tak terlalu merasa khawati, tapi karena ia bersama dua gadis yang tidak memiliki kepandaian bersilat  tentu sangat berbahaya bila bertemu hewan buas.

Di hari yang kedelapan, sampailah mereka di sebuah kawasan padang rumput yang tampak subur, pepohonan tumbuh agak jarang disana, sehingga matahari dapat menyinar lebih terang tanpa rintangan. Ada pula sumber air berupa sungai yang jernih. Pemandangan itu membuat tiba-tiba muncul satu pemikiran di kepala Baskara. Alangkah baiknya mereka sementara tinggal di daerah itu, membangun gubuk sederhana untuk tinggal. Kalau sudah demikian, bukankah akan lebih merasa tenang ia bila melangkahkan kaki menyelidik kawasan hutan, karena Laras dan Tanjung sudah tentu lebih aman bila berlindung di dalam rumah.

Ia kemukakan idenya tersebut, dan mereka berdua menyetujui. Maka esoknya mulailah ia menebang pepohonan di sekitarnya. Dengan sebilah pedang mustika pemberian gurunya dengan mudah ia melakukannya. Dan di bantu Laras dan Tanjung mulailah ia mendirikan sebuah pondok kayu.

Dalam waktu beberapa hari berdirilah pondok itu, sebuah pondok sederhana dengan atap dari dedaunan kering. Ada dua ruang di dalamnya, satu ruang depan, dan satu ruang tidur, untuk memasak diputuskan di luar rumah.

Pondok kayu yang diperuntukkan untuk Laras dan Tanjung. Ia sendiri akan beristirahat di luar pondok, sekaligus berjaga-jaga.

Bersambung.



Kumpulan Cerita Misteri, Cerita Silat, Cerita Horor, Cerita Remaja, Cerita Anak, Cerita Religi, Cerita Lucu, Cerita Sejarah, Cerita Petualangan, Cerita Detektif, Cerita Pendek, Cerita Serial, dll.

Post a Comment