ELIANA - Sarang Dedemit


Mobil yang dikendarai Arga bergoyang-goyang melewati jalan berlubang. Hari mulai menjelang sore, matahari hampir tenggelam di ufuk barat, membuat suasana di sekitar tampak gelap.

"Arga, tidak salahkah jalan yang kau tempuh ini?" tanya seorang pemuda tampan pada rekannya yang tengah sibuk mengendalikan kemudi.

Pemuda berambut gondrong yang di panggil Arga menjawab, "Bagaimana bisa salah, kau lihat sendiri, aku mengikuti arah GPS."

"Iya aku tahu, tapi kau lihat sendiri, sudah hampir satu jam kita masuk ke daerah pedalaman begini, takkah kau bisa memastikan memang ini rute ketempat kakekmu?"

Si gondrong tak menyahut, sebenarnya dia sendiri ragu dengan jalur yang ditempuh, walau sudah lama tak berkunjung ke tempat kakeknya, perasaan belum pernah dilewatinya jalan semacam itu, sudah berlubang-lubang, kanan kiripun penuh pepohonan.

"Eliana, tidurkah kau?" kata Arga mengalihkan pembicaraan, lawan bicara yang dituju adalah seorang gadis cantik yang duduk di kursi belakang.

"Tidak Arga, hanya kepalaku sedikit pusing," jawab si gadis.

"Menurutmu bagaimana Ryan? Terus terang aku juga bingung dengan arah yang kutuju," ucap Arga mengakui kebingungannya pada rekan yang duduk disampingnya.

Pemuda yang dipanggil Ryan garuk kepalanya yang tak gatal, "Menurutku berhentilah dirumah pertama yang kita jumpai Ga, kita tanya arah yang betul ke lokasi rumah kakekmu itu."

Arga mengangguk. Beberapa saat kemudian matanya yang awas melihat sebuah bangunan di kejauhan. "Akhirnya, lihat di depan Yan, kita berhenti di rumah itu."

Beberapa menit mereka sampai, tapi Arga ragu, dari pinggir jalan bangunan yang dilihatnya memang sebuah rumah, tapi dari melihat banyaknya rumput yang ada di halaman, dia ragu kalau rumah itu ada penghuninya. Kepalanya menoleh kebelakang. "Bagaimana menurutmu Liana?"

Eliana yang duduk dibelakang sejatinya tengah mengamati rumah yang cukup besar itu, ada satu desir yang dirasakan di dadanya. "Rumah kuno, kurasa hanya hantu yang ada didalamnya."

"Kalau begitu sebaiknya kita terus Ga," ujar Ryan mendengar ucapan Eliana.

"Eh tunggu dulu, lihat, pintu depan terbuka, ada seseorang di pintu depan," ucap Arga.

Ryan dan Eliana memang melihat seseorang di depan pintu rumah. Tanpa meminta pendapat, Arga menggerakkan mobil memasuki halamannya.

Langit sudah menggelap, dalam remang mereka dapat melihat orang yang ada didepan pintu rumah adalah seorang tua bertubuh kurus bermuka pucat.

"Salam Pak." ucap Arga begitu ada di depan si lelaki tua.

Lelaki itu memandangi Arga dan rombongan dengan mata dingin. "Siapa kalian?" tanya lelaki itu kemudian.

"Saya Arga, ini teman saya, Ryan dan Eliana Pak."

"Apa mau kalian?"

"Kami tersesat Pak, cuma ingin menanyakan, apakah jalan yang kami tempuh benar menuju Desa Ambar Jati?"

Lelaki itu diam sejenak, dan kemudian menggeleng-geleng, "Belum pernah kudengar nama desa semacam itu."

Mendengar jawaban si orang tua, Arga memalingkan muka ke arah dua kawannya.

"Oh, terimakasih Pak kalau begitu kami pamit." kini Ryan yang membuka suara, pemuda itu terlihat tidak nyaman dengan suasana yanga ada disekitarnya.

"Kalian hendak kemana?" tanya si lelaki tua tiba-tiba.

"Meneruskan perjalanan Pak." jawab Arga.

"Hari mulai gelap, sangat berbahaya jalan dalam gelap, menginaplah disini untuk semalam," ucap orang tua itu.

Kembali Arga menoleh kearah rekan-rekannya.

"Kami takut hanya akan merepotkan Pak," ujar Eliana.

"Tidak sama sekali, masuklah," tanpa menunggu jawaban para tamunya, lelaki itu melangkah duluan ke dalam rumah.

Walau ragu, ketiganya mengikuti si orang tua.

Sampai di dalam, suasana begitu gelap, rupanya rumah itu tak memiliki listrik. Terbukti si pemilik rumah tampak sibuk menyalakan lampu dian dengan korek api.

"Beginilah rumahku anak muda, aku tak memiliki uang untuk membayar listrik," jelas si orang tua setengah mengeluh.

"Tak mengapa orang tua," ucap Arga. Lelaki berambut gondrong itu menaruh tas ransel yang memang sedari tadi di bawanya dari mobil dan tanpa ditawari duduk di sebuah kursi.

Selesai menyalakan lampu, si orang tua masuk kedalam, tak berapa lama ia kembali keluar, membawa minuman, dan meletakkannya diatas meja di ruang tamu itu.

"Ah merepotkan Pak," ujar Ryan.

"Tak mengapa, hanya kopi saja, ayo silahkan diminum."

Menghormati tuan rumah ketiganya menyeruput kopi yang di suguhkan.

"Oh ya, kalian bisa memanggilku Pak Rodin." kata si orang tua memperkenalkan diri.

Arga mengangguk.

Sambil minum mereka bercakap-cakap. Pak Rodin yang semula agak kaku ternyata seorang yang ramah. Ia bercerita tinggal dirumah itu seorang diri, karena semua keluarganya telah mati.

Karena hari telah gelap, ketiganya meminta diri membersihkan badan kebelakang. Semula mereka hendak bergantian mandi, tapi ternyata sumur dan kamar mandi berada di luar rumah, akhirnya mereka hanya membasuh muka seperlunya.

Ada dua kamar disiapkan oleh Pak Rodin, walau bangunan itu besar dan megah, ternyata kamar yang tersedia sangat sederhana, didalamnya memang tersedia ranjang, tapi tanpa kasur, hanya beralaskan papan.

"Tak mengapa, hanya semalam saja," ucap Arga yang sempat menjenguk kamar yang disediakan untuk Eliana.

Setelah disuguhi santap malam sederhana, Mereka pamit untuk beristirahat. Sebelum mereka pergi tidur, Pak Rodin mewantikan satu hal, "Tolong kalian jangan keluar dari kamar nanti malam."

"Kenapa Pak," tanya Eliana heran.

"Ah, tak dapat kuceritakan, hanya akan membuat kalian takut, turuti saja ucapanku, bila kalian ingin buang air kecil atau sesuatu, baiknya sekarang. Dan sekali lagi kupinta, apapun yang kalian dengar kumohon jangan keluar dari kamar," kata si orang tua.

Ketiganya tentu diliputi tanda tanya, namun mereka enggan mendesak Pak Rodin, akhirnya mereka memutuskan untuk tidur tanpa bertanya lebih lanjut.

Malam semakin larut, Eliana yang tidur di kamar sendirian sebenarnya cukup lelah, seharian ia hanya duduk di dalam mobil. Ajakan Arga tak dapat ditolaknya, karena sudah merasa akrab dengan pemuda itu. Untung ia bawa selimut, dengan kain itu ia alasi ranjang tempat tidurnya.

Beberapa lama coba dipejamkan mata, belum juga dapat terlelap, ada sesuatu yang membuatnya resah, firasatnya mengatakan rumah tempat menginapnya ini memiliki sebuah misteri.

Krek! Krek!

Lamunan Eliana buyar, suara apakah itu? Ditajamkan telinganya. Hening.

Tiba-tiba si gadis merasakan suasana berubah lebih dingin, dari luar telinganya mendengar semacam desisan. Dan entah mengapa, baru kali ini si gadis mendadak merasa takut. Ketakutan itu menjalar ketubuhnga, seperti dibenamkan begitu saja, ia merasa cemas yang tak dimaui, seakan-akan dikamar itu ada sesuatu yang mengawasinya.

Dikamar sebelah, Ryan telah larut dalam lena, heran betul Arga, cepat sekali kawannya itu terbuai alam mimpi, sedang dia sangat sulit memicingkan mata, ucapan si orang tua yang mewanti-wanti mereka tak keluar kamar membuat pikirannya malah tak bisa diam.

Selagi memikir, telinganya mendengar satu desisan, walau begitu cepat, ia sempat melihat sebuah bayangan melintas di sela-sela pintu. Apa itu!? Ingin ia membuka pintu, tapi ingat pesan si orang tua, diurungkan niatnya.

Eliana meringkuk dalam takutnya. Matanya terpejam. Inderanya yang peka merasakan ada sesuatu yang kini tengah berdiri di luar kamar, sesuatu itulah yang menebarkan hawa kecemasan. Jantung si gadis berdegup kencang, ia merasa benar-benar lemah, seakan kemampuan yang diwarisi dari eyangnya lenyap begitu saja.

Telinganya kembali mendengar suara, seperti kalimat-kalimat mantera dalam desisan.

"Eliana.. Elianaa... "

Sesuatu memanggil namanya. Suara desisan itu. Mendesis memanggil namanya!

Wajahnya menegang, jiwa si gadis seakan terperangkap dalam hipnotis gaib. Perlahan ia bangkit dari ranjang, mendekat kearah pintu. Dibukanya kunci pintu dan di tekan gagangnya.

Sebuah kamar dibagian belakang pintunya terbuka sendiri perlahan, cahaya berwarna ungu memancar redup. Kaki Eliana bak di tuntun mendekati kamar itu. Sesaat ia berhenti di depan pintu yang terbuka, tapi sesaat kemudian kakinya kembali melangkah. Kamar itu kosong, cahaya ungu berasal dari sebuah lubang yang memiliki tangga terbuat dari batu menuju kebawah. Si gadis terus melangkah, menuruni tangga batu tersebut.

Dinding ruang bawah dipenuhi lumut, belasan hewan berbisa merayap dengan leluasa. Gadis itu terus melangkah, hingga memasuki sebuah ruang. Kristal besar ungu yang merupakan sumber cahaya tergeletak di sebuah meja batu bundar. Kaki si gadis berhenti melangkah.

Ruang itu berbau amis dan karat, dipenuhi dengan relief di dindingnya, bentuk-bentuk gambar seram dan absurd tercetak di sana. Di satu sudut gelap, sesosok tubuh berdiri setengah membungkuk, sepasang mata berwarna merah mengawasi si gadis yang telah masuk ke dalam ruang. Perlahan tubuh itu bergerak, keluar dari area gelap, mendekat ke arah si gadis.

Cahaya ungu memperlihatkan sosoknya, seorang lelaki tua dengan wajah penuh kerutan, dengan sinar mata yang bengis, memakai jubah berwarna hijau. Rambut yang menutupi batok kepalanya tinggal beberapa helai, kulit kepalanya terlihat mengelupas di beberapa bagian. Dengan matanya yang berwarna merah dan tubuhnya yang bungkuk, makhluk satu ini benar-benar akan membuat bulu kuduk siapapun yang melihatnya berdiri.

Tangan kanan lelaki misterius itu mengusap kristal ungu, lima jarinya terlihat memiliki kuku-kuku panjang yang menghitam. Mulutnya menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi yang hitam kemerahan. Ia kembali melangkah, berhenti begitu dekat di depan si gadis. Kembali seringai tersunggimg dibibirnya. Tangan kirinya terangkat, dengan ujung jari telunjuknya di sentuh dagu si gadis. "Kau pantas jadi permaisuriku, hek hek hek!" Suara tawa sember terdengar dari mulutnya.

Gadis yang sebenarnya memiliki kelebihan itu seakan tak berdaya, pikirannya kosong, tubuhnya kaku, entah kekuatan apa yang mebelenggunya hingga ia begitu tak bertenaga.

"Kau akan menjadi permaisuri abadiku, hek hek hek!" jari-jari tangan kirinya membelai pipi si gadis, sedang tangan kanannya menarik sesuatu benda dari balik pinggangnya, begitu dia angkat, kini tergenggam sebuah belati berkeluk.

"Darahmu manis, aku butuh darahmu, dan setelah itu kita tidak akan terpisahkan, hek hek hek!" selesai berucap, dia raih tangan kanan Eliana, mendekatkan pisau ke pergelangan tangan si gadis dan bersiap menggoresnya.

Sedetik sebelum pisau menggurat pergelangan tangan. Dari belakang sesosok tubuh menerjang diiringi sebuah bentakan.

Bajingan! Duagh! Sebuah tendangan keras tak dapat dihindari menghantam dada si makhluk.

Tubuh makhluk itu terbanting cukup keras, diam tak berkutik. Tanpa jeritan.

"Eliana, kau tak apa-apa!?" Tanya si penolong sambil mengguncang tubuh si gadis yang masih linglung. Guncangan itu rupanya menyadarkan si gadis, matanya mengerjap.

"Arga, oh, dimana aku?"

Si penolong yang tak lain Arga menjawab. "Aku tak tahu tempat ini Eliana, yang ku tahu kau hampir celaka!"

"Oh, siapa itu Arga!" teriak Eliana. Dilihatnya di depannya sesosok tubuh yang bangkit. Arga menoleh, kejut ia melihat makhluk yang dierjangannya tadi mampu bangkit tanpa kurang suatu apa.

Si pemuda berambut gondrong memutar tangannya, tapi dahinya berkerut dan membatalkan gerakannya. "Uh, energiku tak mampu keluar."

Makhluk berjubah itu tersenyum sinis, mengusap batu kristal ungu di sampingnya. "Cecunguk kecil, bisa apa kau disini," ucapnya dengan suara sember, kejap kemudian tubuh itu bergerak, cengkraman tangannya mengarah keleher Arga.

Melihat serangan, pemuda itu hendak mundur menghindar, tapi ternyata tubuhnya kaku, tak bisa digerakkan. "Hek! hek! hek!" tawa penuh kemenangan terdengar dari mulut lawan, tangannya mencekik erat leher Arga.

Kejadian begitu cepat membingungkan Eliana yang baru tersadar, namun begitu melihat sahabatnya tercekik tak berdaya dengan ayal di tendangkan kakinya kepinggang si makhluk.

Buk! Cukup keras. Hebatnya tendangan itu bagai angin lalu, tak membuat lawan bergeming sedikitpun, bahkan tubuh si gadis dibuat terhuyung kearah meja bundar.

Eliana benar-benar tak habis pikir, energi yang dimilikinya menjadi mampat melawan makhluk iblis itu. Tengah kebingungan, mata si gadis terantuk pada kristal ungu besar di atas meja, tak tahu harus berbuat apa dan melihat cengkraman yang makin kuat di leher Arga, dengan asal di sambarnya kristal itu dan dilempar sekuat tenaga ke arah si makhluk.

Buk! Akh! Pekik kesakitan terdengar, makhluk itu terhuyung, cengkramannya lepas dari leher calon korbannya.

Melihat hasil yang tak di duga, Eliana memerhatikan kristal ungu yang menggelinding di lantai.

"Hancurkan, hancurkan batu itu Eliana!" teriak Arga dengan tersengal sambil memegangi lehernya, rupanya si pemuda langsung menyimpulkan kelemahan si makhluk adalah batu kristal ungu tersebut.

Si makhluk yang jatuh tampak dengan cepat berusaha bangkit, dia berbalik dengan wajah murka. Dilihat si gadis hendak memungut kristal ungu dengan cepat dia menubruk.

Harrr!

Eliana yang melihat serangan, dengan cepat menyambar batu dan berguling.

Terdengar dengus kemarahan. Si makhluk memutar tubuh kembali menerjang Eliana. Si gadis melompat keatas meja batu, tangannya terangkat, dan dengan sepenuh tenaga membanting kristal itu.

Pyar! Tidaaakkk!

Kristal pecah berserak, jeritan keras terdengar dari mulut si makhluk. Tubuhnya tiba-tiba menggeletar hebat, diiringi suara racauan sember tak karuan. Asap berwarna hijau menyelimuti tubuh itu.

Beberapa lama kemudian asap menipis, sosok makhluk lenyap, yang tersisa hanyalah jubah lusuh menutupi tulang belulang.

Eliana dan Arga hanya terpaku menyaksikan kejadian. Mereka baru tersadar saat satu suara terdengar. "Kalian berhasil membunuhnya, syukurlah."

Yang bersuara ternyata Pak Rodin, disampingnya berdiri Ryan. "Aku dibangunkan pak tua ini, waktu tak menemukan kalian kami mencari-cari sampai kemari." jelas Ryan saat pandang dua temannya mengarah padanya.

Arga tak langsung menimpali, matanya memandang ruang disekelilingnya, "Tempat ini bau seperti penjagalan, ayolah kita keatas."

Merekapun naik keatas, membiarkan jubah dan tulang belulang itu tetap pada tempatnya.

Seusai kejadian barulah Pak Rodin menjelaskan, bahwa yang menganggu mereka adalah saudaranya. Kakaknya itu telah terperangkap bersekutu dengan iblis. Berbagai upaya telah dilakukan, tapi semua gagal, kekuatan iblis terlalu besar, bahkan banyak sudah orang yang memiliki kemampuan supranatural menjadi korban.

"Itulah makanya aku melarang tamu untuk keluar dari kamar, karena setiap malam kekuatan iblis itu muncul," pungkas Pak Rodin.

"Beruntung kita berhasil mengetahui kelemahan iblis itu dan menghancurkannya Eliana, rupanya kristal itu memiliki khasiat melumpuhkan energi lawan," ucap Arga.

"Ya Arga, aku tak bisa membayangkan apa yang terjadi seandainya kau tak muncul." ujar Eliana sembari tersenyum manis.

"Semalam aku benar-benar penasaran dengan suara dan bayangan dari luar kamar, karena itulah aku nekad keluar." jelas si pemuda.

Tak terasa hari menjelang pagi, merekapun berkemas-kemas, sudah cukuplah pengalaman yang menegangkan di rumah itu. Setelah siap mereka pamit, dan melanjutkan perjalanan.

Sekian.

Baca SERIAL ELIANA Lainnya

Kumpulan Cerita Misteri, Cerita Silat, Cerita Horor, Cerita Remaja, Cerita Anak, Cerita Religi, Cerita Lucu, Cerita Sejarah, Cerita Petualangan, Cerita Detektif, Cerita Pendek, Cerita Serial, dll.

Post a Comment

Previous Post Next Post