Pedang Pembantai Dewa


Lelaki muda itu duduk bersimpuh dihadapan dua jenazah. Satu seorang perempuan muda, dan yang satu lagi mayat seorang anak yang mungkin baru berusia lima tahun.

Sisa air mata masih terlihat di pipinya. Cukup lama dia menangis. Hingga kering tenggorakannya berteriak histeris. Istri dan anaknya yang telah mati tetap tak bangkit lagi.

Ia memondong tubuh anaknya, dibawanya ke bagian belakang rumah yang telah porak poranda bagai diterjang badai. Kemudian dia bawa juga jenazah isterinya, di taruhnya di samping sang anak. Lantas ia ambil sebuah cangkul, dengan susah payah Ia gali tanah, buat persemayaman terakhir bagi anak dan isterinya.

Matahari telah turun di ufuk barat. Burung-burung beterbangan kembali ke sarang. Duduk tepekur sendirian lelaki muda itu di depan satu gundukan tanah yang memerah. Hatinya pedih, luka bagai di sayat sembilu. Entah apa yang ia fikirkan kini, hidupnya mungkin takkan sama. Sejak dua orang yang di cintai pergi tuk selamanya.

Ingatannya menerawang peristiwa siang tadi. Sedang sibuk ia di ladang mengurus tanaman, matanya yang selintas memandang ke arah kampung, melihat asap putih mengepul. Kebakaran? Kejut ia, segera berlari meninggalkan ladang.

Sesampai di kampung, semua telah terlambat, rumah-rumah terbakar dan sebagian lain porak poranda. Mayat-mayat penduduk desa bergelimpangan di jalan. Dan di halaman rumahnya, ia lihat... Lelaki muda itu menundukkan wajah, air mata mengalir membasahi pipi, tak kuat ia dengan kenyataan yang terjadi....

Waktu merayap dengan cepat, suara burung malam dan jengkerik kadang terdengar. Lelaki yang tepekur itu bangkit berdiri. Kakinya melangkah di tengah malam. Api-api yang membakar sebagian rumah warga telah padam, tapi mayat-mayat yang bergelimpangan di jalan tak ada yang mengurus. Biar, ia tak peduli, tenaganya takkan mungkin mampu.

Yang ia pikirkan sekarang meninggalkan kampungnya. Makin lama disitu hanya akan membuat hatinya tambah pedih. Tak ada apapun yang di harapkan di situ. Semuanya telah mati.

Jelas, yang membantai semua penduduk termasuk keluarganya bukan cuma satu orang. Pastilah serombolan biadab yang tak berperikemanusiaan. Manusia-manusia yang memiliki kepandaian, dan menganggap diri mereka hebat.

Dunia takkan pernah baik-baik saja bila masih dihuni oleh para orang-orang berilmu. Mereka harus dimusnahkan!

Mungkin aneh, tapi demikianlah yang melintas di fikiran lelaki muda yang bernama Waja itu. Peristiwa yang dialami membuat sakit hati dan dendam. Dendam pada semua orang berkepandaian silat.

Kakinya terus melangkah, menjauhi kampung halamannya. Pekat malam tak ia pedulikan. Berkali ia terantuk dan jatuh, dengan sigap ia berdiri kembali.

Langkahnya sampai di pinggir hutan batas desa, tapi Waja tak menghentikan jalannya, ia terus menerobos lebatnya pepohonan, masuk tanpa sedikitpun rasa takut.

Tiba-tiba  sebuah cahaya perak melesat dari langit, Waja yang berada di bawah pepohonan masih dapat melihat lesatan cahaya itu.

Clrrrrt! Dhrrr!

Cahaya itu jatuh tak jauh dari tempat Waja berdiri, menimbulkan getaran hingga lelaki muda itu jatuh terduduk. Apa itu!? Ia bangkit.

Melangkah dua puluh tombak, ia melihat sesuatu yang menakjubkan. Sebuah pedang tak bersarung tertancap di tanah. pendar perak menyelimuti batang pedang. Dengan berani Waja mendekat. Tangannya meraih gagang pedang yang terbuat dari logam. Akh! Telapak tangannya bagai menyentuh besi panas. Waja mundur, mencoba melepas pedang, tapi ia gagal, pedang itu seakan menempel erat ditangan.

Akhh! Kembali ia memekik. Kini bukan hanya tangannya yang panas, tapi seluruh tubuhnya bagai terbakar, asap putih mengepul dari semua bagian tubuhnya, kulitnya melepuh memerah. Saking tak kuat menanggung sakit, tubuhnya mengejang, dan ia terbanting jatuh pingsan.

Beberapa lama kemudian, asap putih yang menyelimuti Waja berangsur menghilang. Tubuh lelaki muda itu bergerak kembali, dengan payah ia berdiri. Pedang itu, masih melekat di genggamannya. Di pandanginya pedang temuan tersebut. Sebuah pedang dengan ujung runcing, berwarna perak, dengan guratan guratan berwarna hitam. Selagi ia asyik mengamati pedang, satu suara membentak terdengar.

"Letakkan pedang itu!"

Waja membalikkan badan. Tak jauh didepannya berdiri seorang lelaki, berperawakan kurus, memakai pakaian serba merah, wajahnya klimis, rambutnya sebagian telah memutih. Sebuah tongkat tersampir di punggungnya.

"Tidak." jawab Waja pelan. Keberanian begitu saja muncul dengan adanya pedang di tangannya.

"Letakkan anak muda! Pedang itu berbahaya!" perintah si pendatang sekali lagi.

Bukannya menurut, Waja bahkan acungkan pedang ke arah si baju merah. "Kau orang berilmu! Kau harus mati!"

Si pendatang terkejut dengan keberanian anak muda di depannya. Tangan kirinya memukul kesamping, terdengar seperti suara angin topan.

Krak!

Pohon dua kali pelukan lelaki dewasa roboh terkena pukulannya.

"Letakkan pedang itu anak muda, kau tak tahu bahayanya!"

Waja menyeringai, ia sama sekali tak gentar dengan gertakan si baju merah. Tubuhnya tiba-tiba melompat kedepan, pedang terayun menyilang.

Si baju merah hendak melompat mundur, namun kakinya bagai terpantek tak mampu bergerak, dengan cepat ia raih tombak di punggung dan menangkis.

Crass! Akhh!

Pedang di tangan Waja sungguh aneh, mampu menembus tombak, sabetannya terus merobek dada lawan. Pekikan itu suara terakhir dari pendekar baju merah, badannya menggelosoh bersimbah darah.

Waja tersenyum aneh. Tak di acuhkan mayat lawan. Ia membalikkan badan dan kemudian melesat meninggalkan gelapnya hutan. Dengan pedang yang masih tetap tergenggam di tangan.

***

Beberapa waktu kemudian, dunia persilatan geger dengan munculnya tokoh baru pembawa bencana yang dijuluki Si Pedang Pembantai Dewa. Memburu dan menghabisi orang-orang yang memiliki kepandaian silat, tak peduli tua muda, laki perempuan, semuanya ia bantai.

Bukannya tak ada usaha untuk menghentikan tokoh itu, tapi kesaktian pedang yang di milki belum ada tanding. Walaupun di kerubut banyak lawan, mudah saja bagi si Pedang Pembantai Dewa menghabisi mereka seperti membabat rumput.

Siang itu, di sebuah tebing batu berdiri seorang lelaki tua, memegang sebuah tongkat. Jenggot putihnya yang panjang melambai di tiup angin. Dibelakang lelaki tua itu, bersila seorang tua lain, hebatnya lelaki tua yang satu ini bersila di atas sebuah gumpalan semacam awan putih. Matanya terpejam.

Lelaki tua pertama membalikkan badan, memandangi lelaki tua yang bersila dengan tatapan mata yang tajam. Ia berjalan mendekat.

"Sudahkah semadimu kakang Dharma?"

Tak ada jawaban.

Lelaki tua bertongkat ketukkan tongkatnya di permukaan berbatu. Takk!

Ketukkan yang mampu menggetarkan permukaan tebing batu itu nyatanya tak membuat lelaki tua yang tengah bersemadi terganggu.

Hehh! Kesal lelaki tua bertongkat. Sudah dua hari ia disitu. Dengan sabar menanti, tapi nyatanya yang dinanti tak kunjung sadar dari semadinya. Kalau bukan urusan kelewat mendesak, mana sudi ia berlama-lama.

"Apa keperluanmu Paniti?" satu suara terdengar. Sungguh aneh, suara itu berasal dari lelaki yang tengah bersemadi, tapi tak terlihat lelaki tua itu membuka mulut.

Senyum muncul di wajah lelaki bertongkat yang di panggil Paniti.

"Ada peristiwa hebat di dunia persilatan saat ini Kakang, kurasa hanya engkau yang sanggup mengatasi."

"Hmm.. Pedang Pembantai Dewa maksudmu?"

Ki Paniti tak heran mendengar lawan bicaranya dapat menduga maksud kedatangannya. Tingkat kesaktian Ki Dharma yang merupakan kakak seperguruannya itu memang sudah di luar nalar manusia biasa. Ia pun menjawab dengan anggukan.

"Kau tahu Paniti, beberapa bulan lalu aku sudah kirimkan muridku Si Tongkat Malaikat untuk mengambil pedang Pembantai Dewa, mata batinku menangkap gerakkan pedang itu yang mendorong keluar dari dimensi gaib, sayang ia gagal, bahkan nyawanya tak tertolong."

Ki Paniti melengak, ia tak menduga Kakangnya itu sudah mengambil tindakan jauh-jauh hari. Kesaktian Tongkat Malaikat sudah lama terdengar ditelinganya, gempurannya konon dapat melebur sebuah bukit sekali pukulan. Tak sadar Ia gelengkan kepala.

"Aku tak menduganya kakang, ah, kalau murid kakang Dharmapun tak kuasa mencegah, tak bisa di bayangkan betapa dahsyatnya pedang itu."

Hening beberapa saat.

"Pedang Pembantai Dewa sulit tertandingi, begitu menemui pewarisnya energi pedang akan berlipat menguat, mampu membekukan gerakkan dan energi lawan, bisa di bilang, begitu kita berbenturan dengan Pedang Pembantai Dewa, semua kepandaian yang kita miliki lenyap tak berbekas."

"Ohh, bila demikian cara apa yang bisa kita lakukan untuk menghentikan Pedang Pembantai Kakang?"

"Semua masalah ada jalan keluarnya. Satu-satunya cara meredam energi membunuh Pedang Pembantai Dewa adalah dengan menyatukannya kembali dengan sarungnya." jawab Ki Dharma.

"Sarung pedang? Dimanakah sarung pedang itu Kakang?"

Ki Dharma tak menjawab, ia malah mengangkat tangannya ke atas, begitu tangan di turunkan, sebuah sarung pedang ada di genggamnya. "Ambillah" ucapnya menyodorkan sarung itu.

Begitu menerima sarung pedang, Ki Paniti memberi hormat pada kakaknya itu. Ia lantas lentingkan tubuh. Melompat dari tebing batu menuju kebawah.

Ki Paniti melesatkan tubuh ke arah utara. Kepandaian yang di milikinya sudah pada taraf sempurna, sekali memejamkan mata sampailah Ia disebuah hamparan padang berumput hijau. Benar tuntunan batinnya, tak jauh di depannya belasan orang mengerubut seorang lelaki muda berpedang, itulah Si Pedang Pembantai Dewa.

"Menyerahlah anak muda, perbuatanmu sudah melewati takaran kemanusiaan!" teriak salah seorang pengepung. Lelaki itu memiliki tubuh gempal, sebuah pedang berlekuk ada ditangannya.

Waja alias Si Pedang Pembantai Dewa ganda tertawa, perintah lawan di jawab dengan sabetan pedang. Larikan sinar maut membentuk setengah lingkaran. Pekik kematian memenuhi padang rumput. Separuh pendekar yang mengerubut Waja termasuk si lelaki gempal terkapar bermandi darah. Pedang di tangannya mengepulkan asap hitam.

Melihat begitu mudah Waja membantai rekan-rekannya, sisa pendekar yang masih hidup menjadi jerih, tanpa ba bi bu mereka berserabutan melarikan diri.

Waja mendiamkan saja. Matanya kini mengawasi pendatang baru. Seorang lelaki tua bertongkat. Sekejap lelaki tua itu sudah ada di depannya.

"Cukup ananda, sudah saatnya Pedang Pembantai kembali kesarungnya." ucap lelaki tua itu.

Mata Si Pedang Pembantai Dewa beralih ke sebuah benda yang ada di tangan lelaki tua. Sarung Pedang. Entah kenapa, ada perasaan cemas begitu melihat sarung itu.

"Pergilah orang tua, aku mengampunimu."

Waja kaget dengan ucapan yang keluar dari mulutnya barusan. Tak mungkin! Bagaimana ia bisa membiarkan orang yang tampaknya berilmu selamat begitu saja.

Ki Paniti tersenyum, ia dapat menduga Pedang Pembantai Dewa sadar akan khasiat sarung pedang yang di bawanya.

"Masukkan pedang itu kesarungnya dulu, baru aku pergi."

Pemuda itu tampak menimbang-nimbang, "Baiklah." ia angsuran pedang. Tapi begitu si lelaki tua bergerak mendekat, Waja tusukkan pedang ke dada lawan.

Ki Paniti tercekat, ia geserkan tubuh. Sejengkal pedang lewat.

Mustahil! Teriak Waja dalam hati, baru kali ini Pedang Pembantai gagal membunuh lawan. Kemarahan muncul begitu saja. Ia sabetkan pedang ke tubuh Ki Paniti berkali-kali.

Tubuh si lelaki tua ringan menghindari tiap serangan. Satu kalipun ia tak membalas. Khasiat sarung pedang membuat Pedang Pembantai Dewa tak mampu membekukan dan menghisap energi lawan. Setelah berkali-kali menghindar, Ki Paniti menggerakkan tangan kiri yang menggenggam sarung pedang.

Srekk! Pedang Pembantai Dewa masuk kedalam sarungnya.

Waja menghentikan serangan. Matanya yang semula penuh kebencian meredup, pedang terlepas dari genggaman, tubuhnya jatuh terduduk dengan lutut menyentuh tanah.

Ki Paniti mengamati pedang yang sudah berada di sarungnya. Setelah puas, ia beralih ke arah Waja, di dekatinya pemuda itu, tangannya mengusap-usap kepala.

"Semua sudah berakhir Ananda, Pedang Pembantai sudah kembali ke sarungnya, tiada benci dan dendam yang perlu diperturutkan, bangkitlah."

Ajaib, Waja langsung bangkit menuruti ucapan si lelaki tua.

"Kau pewaris pedang ini, maka tak ada satu manusia pun yang sanggup mengatasinya, ikutlah denganku, suatu saat bila kau sudah memiliki energi yang cukup, aku akan kembalikan pedang ini padamu." Tanpa menunggu jawaban, Ki Paniti melangkah meninggalkan padang rumput.

Waja termangu sesaat, tapi kemudian dia berlari, mengejar langkah si lelaki tua.

Sekian.

Kumpulan Cerita Misteri, Cerita Silat, Cerita Horor, Cerita Remaja, Cerita Anak, Cerita Religi, Cerita Lucu, Cerita Sejarah, Cerita Petualangan, Cerita Detektif, Cerita Pendek, Cerita Serial, dll.

Post a Comment

Previous Post Next Post