Batu Titipan


Seno memandangi lelaki yang tergolek lemah diranjang samping ia duduk. Usia lelaki itu kurang lebih lima puluh tahun. Kumolo namanya. Tak ada hubungan keluarga dengan Seno, tapi Pak Kumolo adalah sahabat almarhum ayahnya.

"Kaukah itu Seno? Putra sulung mendiang Marto?" tanya lelaki tua itu dengan suara lemah.

"Iya Pak, ini saya Seno."

Mata Kumolo membuka agak lebar, diamatinya pemuda yang duduk di samping ranjangnya.

"Minum, aku haus..."

Seno mengambil gelas berisi air putih di sebuah meja kecil, meminumkannya pada si lelaki tua dengan perlahan. Setelah di rasa cukup, dikembalikannya gelas itu ditempatnya semula.

Kekuatan seakan muncul sehabis Kumolo meminum air itu, badannya bergerak-gerak, menggeserkan posisinya agak naikkan kepalanya kebantal.

"Kau putra sahabatku Seno." kata Ki Kumolo lagi.

"Benar Ki." balas Seno sambil anggukkan badan.

Ki Kumolo arahkan pandangnya kelangit-langit kamar. "Ayahmu orang hebat Seno, orang sakti."

Tanpa menunggu reaksi si pemuda, mulut Ki Kumolo kembali membuka, "Marto sangat tekun mendalami ilmu kebatinan dan melakukan tirakat.. hmm, aku bisa bilang, tak ada manusia yang mampu menandinginya kala itu."

Sebentar Ki Kumolo menghentikan penuturannya, terputus karena ia terbatuk. Dengan cekatan Seno mengambil gelas berisi air putih, dan kembali meminumkannya.

"Terimakasih." ucap lelaki tua itu sembari menyeka bibirnya. Matanya memandangi wajah Seno lekat-lekat, "Kau benar-benar memiliki paras menyerupai ayahmu Seno."

Pemuda itu cuma terdiam, ia sendiri tak ingat wajah orang tuanya. Ayahnya meninggal kala ia berusia lima tahun.

"Ki, apakah tidak sebaiknya kau beristirahat, kulihat nafasmu agak berat," ujar pemuda itu. Bagaimanapun ia prihatin dengan kondisi sahabat mendiang ayahnya. Badan Ki Kumolo kurus kering, tinggal kulit berbalut tulang. Begitu juga bagian mukanya, matanya begitu cekung, membuat penampilannya jauh lebih tua daripada usianya sekarang.

Lelaki yang terbaring lemah di ranjang menggeleng, "Tidak Seno. Mungkin kau lihat kondisiku sekarang seperti tengkorak hidup, tapi tahukah kau? Di masa muda aku seorang yang gagah. Percayakah kau ucapanku Seno?"

"Tentu Ki."

"Dua puluh tahun yang lalu Seno, dua puluh tahun yang lalu, semua yang kumau pasti kudapat," senyum tipis tampak mengembang di bibir lelaki tua itu. "Semua wanita cantik menggilaiku, harta begitu mudah kudapat, dan semua yang bertemu denganku tunduk dan hormat. Percayakah kau Seno?"

"Iya Ki, aku percaya."

"Tapi semua itu kudapat dengan cara tak baik."

Dahi Seno mengerut, "Maksud Aki?

Ki Kumolo kembali memalingkan wajahnya ke arah si pemuda, " Untuk itulah aku memintamu kemari Seno." Tangan Ki Kumolo kemudian terangkat setengah menunjuk, "Bukalah laci meja di samping kepala ranjang ini Seno, dan ambillah bungkusan saputangan di dalamnya."

Bergegas pemuda itu menuruti perintah, ia bangkit dan membuka laci meja tempat menaruh gelas minum tadi. Begitu laci terbuka, terlihat buntalan saputangan, diraihnya benda itu dan menunjukkan ke Ki Kumolo, "Inikah Ki?" tanyanya.

Lelaki tua itu mengangguk. Senopun lantas mengangsurkan bungkusan saputangan itu pada Ki Kumolo.

Tarikan nafas berat terdengar kala saputangan dibuka perlahan oleh si orang tua, kejap lain di tangannya tampak sebuah benda berwarna hitam. Sebuah batu.

Ki Kumolo mengamati benda itu berlama-lama, matanya tampak begitu mengagumi benda itu.

"Kau tahu benda ini Seno?"

"Batu Ki."

"Iya batu, tapi bukan sembarang batu. Kau tahu, semenjak batu ini berada ditanganku, semua yang kuinginkan pasti terwujud, batu yang istimewa..."

Seno tak tahu harus berucap apa, dia sendiri tak paham dengan segala macam batu. Kedatangannya kemaripun bukan karena batu, hanya semata-mata permintaan isteri Ki Kumolo yang memintanya membesuk suaminya yang sakit.

"Tapi batu ini bukan milikku, ini hanyalah barang titipan, kau tahu siapa pemilik batu ini Seno?"

"Tak tahu Ki," jawab si pemuda disertai gelengan.

"Ayahmu, ayahmulah pemiliknya, dia hanya menitipkannya padaku sebelum meninggal..."

Mata Ki Kumolo tiba-tiba tampak berkaca-kaca. "Oh Marto.. kau titipkan batu ini padaku, malah aku berbuat curang dengan menyimpannya puluhan tahun demi kepentingan sendiri.. karena ku tahu keistimewaan batu milikmu ini Marto.."

Lelaki itu tampak larut dalam emosinya, mungkin ia terkenang dengan sahabatnya, mendiang ayah Seno.

"Dan sekarang, inilah akibat yang kutanggung, sepuluh tahun sudah aku dihukum dengan menderita penyakit lumpuh, pastilah ini karena dosa-dosaku." lanjutnya dengan bibir bergetar.

"Ki, tenanglah Ki." hibur Seno.

Ki Kumolo sekilas memandang Seno dan kembali beralih menatap batu ditangannya, "Sudah lama ingin kukembalikan batu ini Seno, tapi tiap kali pula berubah pikiran, batu ini memiliki daya tarik tersendiri tiap kali aku memandanginya."

"Tak mengapa Ki, kalau kau ingin tetap memilikinya tak ada masalah bagiku, lagipula kau sahabat ayah, sudah pasti ayah tak keberatan batu itu tetap ditanganmu Ki."

"Tidak Seno, kali ini tekadku sudah bulat, aku harus mengembalikan batu ini padamu, karena kaulah putra sulung Marto," selesai berucap, lelaki itu menggulung batu dengan saputangan, menaruhnya sebentar di atas perutnya, kemudian mengangsurkan pada Seno. 'Ambillah."

Seno ragu menyambut benda itu, tapi akhirnya ia menerima buntalan sapu tangan, memandanginya sekejap dan memasukkannya di  saku celananya, "Kuterima Ki."

Lelaki tua itu tersenyum, "Akhirnya Seno, akhirnya batu itu berada ditangan pemiliknya yang sah, aku dapat berlega diri sekarang."

Seno mengangguk pelan. Beberapa lama mereka masih bercakap-cakap, sampai waktunya pemuda itu pamit, tak lupa ia tinggalkan kata-kata penyemangat pada Ki Kumolo.

Sepeninggalnya dari rumah sahabat mendiang ayahnya, Seno langsung menuju pulang, kurang lebih dua jam jarak antara tempat tinggal Ki Kumolo dengan tempat tinggalnya. Begitu sampai dirumah, hampir ia lupa dengan saputangan berisi batu, begitu ia ingat diambilnya saputangan di saku celananya, penasaran ingin di amatinya batu macam apakah yang menurut Ki Kumolo memiliki keistimewaan itu. Tapi begitu saputangan terbuka, tak ditemuinya si batu, walau berkali-kali di periksanya kantung celana, tetap saja batu itu tak ditemuinya. Kemanakah si batu? Pikir Seno.

Di rumah Ki Kumolo, orang tua itu tetap lemah terbujur di atas ranjang, hari sudah mulai gelap. Matanya yang semula terpejam membuka. Pandangnya menatap langit-langit kamar. Tangannya terlihat mengusap perutnya yang cekung, beberapa saat kemudian diangkatnya tangan, matanya memandangi lekat benda yang kini berada di antara telunjuk dan jempolnya. Sebuah batu. Batu berwarna hitam. Bibirnya menyunggingkan senyum, "Kau terlalu istimewa, begitu istimewa."

Sekian.

Kumpulan Cerita Misteri, Cerita Silat, Cerita Horor, Cerita Remaja, Cerita Anak, Cerita Religi, Cerita Lucu, Cerita Sejarah, Cerita Petualangan, Cerita Detektif, Cerita Pendek, Cerita Serial, dll.

Post a Comment

Previous Post Next Post