Pembalasan Si Pedang Hitam


Pengkuh duduk diam di depan mejanya. Matanya yang tajam memandang tak berkedip kearah luar. Dari rumah makan tempatnya berada, sebuah bangunan besar dengan atap tinggi tampak dari kejauhan. Itulah tempat yang ditujunya. Kediaman sang musuh.

Berhari-hari telah ditempuh perjalanan hingga sampai ditempat ini, dan sebentar lagi tujuannya bakal tercapai. Sebuah pembalasan.

Duduk diseberang meja teman seperjalanannya. Seorang pemuda berpakaian putih. Sebuah pedang menyampir dipundaknya. Tejo namanya.

Perkenalan mereka terjadi sehari yang lalu. Di sebuah hutan saat ia melintas, sebuah perkelahian terjadi. Si Tejo dikerubut oleh sekawanan perampok. Sebenarnya apa perdulinya? Tapi begitulah Pengkuh, dibalik kekakuan sikapnya ia tak bisa membiarkan jiwa ksatrianya diam. Walau Tejo mampu menghadapi lawan-lawannya, Pengkuh ambil gerakan. Sabetan pedang hitam berkelebat, akibatnya beberapa perampok terjungkal bermandikan darah. Mati.

Itulah salah satu jurus kilat yang dimilikinya. Khusus diciptakan gurunya untuk dirinya. Sebagai bekal menghadapi musuh besarnya.

Melihat keganasan jurus mematikan, belasan rampok yang tersisa langsung kabur melarikan diri.

"Tuan begitu hebat, terimakasih'" ucap Tejo waktu itu sambil mengulurkan tangan.

Mereka berdua meneruskan perjalanan berdua, mereka sama-sama baru turun dari tempat bergurunya. Itu yang diucap Tejo. Dan kini mereka berdua telah sampai di tempat tujuan akhirnya. Kawasan musuh besar Pengkuh tinggal.

"Siapa namanya?" tanya Tejo memecah kediaman.

"Eh?"

"Musuh besarmu?"

Pengkuh memandang sekilas, seumur hidup begitulah pembawaannya. Selalu kaku, dan banyak diam.

"Namanya aku tak tahu, tapi aku tahu julukannya, Si Pedang Malaikat...", jawab Pengkuh.

Tejo tertunduk sekejap. Kemudian memandang kearahnya.

"Bagaimana peristiwanya?"

Pengkuh menggeleng, ia mana ingat. Peristiwa itu terjadi waktu ia kecil. Dan iapun tak ikut. Usianya masih sepuluh tahun waktu itu. Peristiwa pembunuhan. Pembunuhan orang tuanya. Pembunuhan ayahnya.

Ia hanya tahu ayahnya terbunuh oleh orang. Orang yang konon adalah sahabat ayahnya sendiri. Dalam sebuah jamuan makan.

Semenjak ayahnya terbunuh ia diasuh ibunya. Sayang ibunya larut dalam kesedihan, membuatnya sakit-sakitan dan setahun kemudian meninggal. Semenjak itu berganti-ganti pengasuhan terhadap dirinya, sampai ia diasuh oleh pamannya. Seorang paman yang baik, tapi memiliki isteri yang kejam.

Pengkuh ingat perlakuan isteri pamannya, yang memperlakukannya seperti budak, memukulinya habis-habisan bila ia salah. Tak Tahan Pengkuh kabur dari rumah pamannya. Kedunia luar. Dunia yang ternyata lebih kejam dari rumah pamannya.

Menggelandang penuh penderitaan, Pengkuh pada suatu hari harus mencuri makanan untuk menyambung hidupnya. Ia tertangkap, di seret dan dipukuli setengah mati. Kalau tak datang seorang lelaki tua yang pada akhirnya menjadi gurunya, mungkin ia sudah benar-benar mati sekarang.

Delapan tahun, yah, delapam tahun ia dalam gemblengan lelaki itu. Lelaki yang mengaku bernama Ki Suta. Pengkuh menjadi seorang lelaki kuat dan berilmu. Begitu selesai menuntut kepandaian, gurunya memberinya sebuah pedang pendek berwarna hitam, sebuah pedang yang sesuai dengan dirinya, sebuah pedang yang kuat.

Teringat Pengkuh akan si orang tua, teringat pula ia akan segala ucapannya, teringat ia akan nasihat-nasihatnya, termasuk nasihat untuk menjauhkan diri dari perasaan dendam. Pengkuh selalu diam tiap gurunya memberi nasihat. Tapi gurunya tidak tahu, dendam yang ada dalam dirinya tak pernah mengendur. Dendam terhadap orang yang telah menghancurkan kehidupannya yang telah membunuh ayahnya, dan menyebabkan ibunya sakit dan akhirnyapun harus menyusul ayahnya.

"Kurasa kita harus berpisah sampai disini"

Ucapan Tejo membuyarkan lamunan Pengkuh. Dipandangnya sahabat didepannya, satu-satunya sahabat yang saat ini dimilikinya.

"Kau hendak kemanakah?"

"Perjalananmu berakhir disini sahabat, sedang aku harus memiliki satu urusan lain".

Pengkuh mengangangguk, "Semoga kita berjumpa lagi".

Tejo tersenyum. "Aku pastikan kita akan berjumpa kembali.

Pengkuh tetap dalam duduknya saat bejo membalikkan badan melangkah pergi. Entah kemana. Apa perlunya tahu? Bahkan masa lalu pemuda itupun ia tak tahu, ia hanya tahu si pemuda sama dengan dirinya, sejak berumur belasan tahun harus meninggalkan rumah untuk menempuh pendidikan silat. Tapi ia pasti lebih beruntung. Tidak seperti dirinya yang sebatang kara.

Selesai dengan makannya, Pengkuh segera menghampiri bangunan yang dituju. Padepokan Cemara Putih. Padepokan para orang gagah katanya. Tapi buat Pengkuh hanyalah Padepokan sarang pembunuh.

***

Dua pemuda membekal golok menghadang langkahnya didepan gerbang.

"Berhenti kisanak!" Bentak slah satu dari mereka saat Pengkuh terlihat hendak menyelonong masuk.

Pengkuh berhenti.

Pandang mata dua penjaga menyusuri tubuhnya. "Siapa kau kisanak, hendak ada perlua apa kemari?" tanya salah seorang yang memiliki kumis lebat berbadan tegap.

"Aku mencari si Pedang Malaikat"

"Dia guru kami, perlu apakah?" tanya penjaga satunya yang berbadan agak ramping.

"Membunuhnya" jawab Pengkuh datar.

Sontak jawabannya membuat dua penjaga kaget, tapi tak lama mereka menghardik, "Lancang benar mulutmu! Tak kenal rupanya kau dengan tingginya Gunung Merapi berani bicara begitu! Lekas enyah dari hadapan kami, atau golokku yang berbicara!"

Pengkuh terdiam. Kepalanya tertunduk. Tangannya bergerak.

Dua jeritan melengking terdengar, seiring dengan terjerambabnya dua penjaga ketanah dengan berlumur darah. Dua leher mereka nyaris putus terpenggal.

Pengkuh melangkah kaki masuk tanpa perasaan. 

Jeritan rupanya sontak mengegerkan penghuni padepokan, sontak belasan orang berlari kearah gerbang. Mereka melihat Pengkuh berdiri dengan angker, dibelakangnya dua mayat berlumur darah dua penjaga tergeletak.

Melihat pemandangan mengerikan, sontak terdengar cacian, "Biadab!"

Seperti dikomando belasan orang berkelebat kearah Pengkuh, belasan sambaran senjata tajam mencoba mencari sasaran di bagian tubuhnya. Pengkuh sekejap terdiam. Sekejap kemudian tangannya kembali bergerak.

Gurunya tidak menciptakan ilmu pedang untuk seni, ilmu pedang yang diciptakan gurunya hanya satu tujuan. Membunuh lawan. Cepat. Kuat, dan mematikan. Gurunya menamai jurus Pedangnya Jurus Pedang Pemusnah Sukma.

Belasan pekikan kembali terdengar, halaman padepokan banjir darah dalam sekejap. Pengkuh mengamuk, baginya, siapapun yang menghalangi akan dibunuhnya, sampai tujuannya tercapai.

"Berhenti!"

Satu teriakan terdengar.

Sontak seluruh pengeroyoknya berlompatan mundur.

Seorang lelaki berjenggot hitam dengan perawakan tubuh tinggi keluar dari rumah besar. Sebuah pedang panjang berada dipinggangnya. Tatapannya setajam elang. Seorang lelaki yang tampak berwibawa.

Lelaki itu terus melangkah, matanya tak berkedip mengawasi Pengkuh.

Sesampai tak lebih tiga tombak dari hadapannya lelaki itu memandang dengan trenyuh belasan mayat yang bergelimpangan, lantas membuka mulut, "Sungguh kejam sepak terjangmu anak muda. tak ada angin tak ada hujan hari ini kau melakukan pembantaian ditempatku. Siapakah kau!?"

Pengkuh tersenyum sinis.

"Apakah kau yang berjuluk si Pedang Malaikat?"

Lelaki itu mengangguk pelan.

Mata Pengkuh berkilat tajam, "Heh, kejam katamu, seorang pembunuh masihkah mengenal kata kejam?"

"Apa maksudmu?"

"Kau mungkin tak mengenalku orang tua, tapi aku kenal kebengisanmu!"

"Aku tak mengerti ucapanmu?"

"Ingatkah kau peristiwa sepuluh tahun lalu, sebuah peristiwa jamuan makan, sebuah jamuan makan yang harusnya diisi dengan hal-hal yang menyenangkan, malah kau kotori dengan pembunuhan! Pembunuhan terhadap seorang sahabat. Pembunuhan terhadap Pendekar gagah. Pendekar Pedang Bulan!" 

Lelaki tua itu kaget bukan kepalang, "Kau siapakah!?'

"Aku hanyalah aku. Seorang anak yang terlunta karena di tinggal mati kedua orang tuanya. Karena ulah manusia keji sepertimu.."

Lelaki itu mengelus jeggotnya, "Rupanya kau putra Aryo Rangkuti si Pedang Bulan.. kau tumbuh jadi pemuda gagah sekarang, sayang timbul dendam dihatimu. Tahukah engkau anak muda, masa muda aku dan ayahmu dulu adalah dua sahabat karib yang bahu membahu menumpas kejahatan".

Kembali Pengkuh tersenyum sinis. "Dan kau rajanya kejahatan. Kau bunuh sahabat sendiri.."

Si Pedang Malaikat terbatuk kecil, "Kau salah mengerti.. yang terjadi waktu itu adalah kesalahpahaman, dan, dan kami akhiri dengan secara ksatria. Ayahmu mati sebagai orang gagah anak muda".

"Cukup! Aku muak mendengar celotehanmu! Keluarkan pedangmu, dan hadapi aku sebagai ksatria!" tantang Pengkuh berapi.

Lelaki tua dihadapannya tak segera terpancing, "Anak muda, kejadian masa lalu biarlah terjadi. Aku sebagai lelaki masih ingat persahabatan dengan ayahmu. Baiklah kita sudahi pertikaian ini, sarungkan pedangmu, tak nanti aku perhitungkan  apa yang sudah kau turunkan pada murid-muridku. Bahkan sebagai orang tua, aku akan menerimamu tinggal di padepokanku"

Pengkuh tak tergerak. Giginya bergemeletuk. Orang tua di depannya membuatnya muak dengan ucapan-ucapan sok bijaknya. Melihat si orang tua tak segera melepas senjata, Pengkuh mendului, pedangnya berkelebat, sangat cepat...

Pedang Malaikat bukanlah anak kemarin sore, boleh saja Pengkuh menyiangi murid-muridnya seperti rumput, tapi tidak begitu buat dia, dengan gerak menghindar yang matang Pedang Malaikat menghindari serangan-serangan mematikan yang dilancarkan Pengkuh.

Pengkuh mengamuk, ia keluarkan rangkaian jurus pedang tertinggi yang dipelajarinya, suara pedangnya mengaung memekakkan telinga.

Pedang Malaikat terkejut dengan rangkaian jurus yang dipertontonkan Pengkuh, segera ia melolos pedangnya.

Trang! Bunga api memercik. Keduanya undur kebelakang. Pengkuh merasa tangannya kesemutan.

Terkejut  si Pedang Malaikat, pedangnya hampir terlepas dari genggamannya, sekuat itukah tenaga yang dimiliki anak muda itu? Melihat Pengkuh kembali menyerang segera pula ia mainkan jurusnya, dipikirnya percuma berbicara baik-baik dengan pemuda ini, dia tak akan mengerti, dan kini ia harus berjuang menyelamatkan sebatang lehernya.

Berulangkali pedang mereka bertemu, ratusan gerak sudah mereka mainkan, saling mengincar kelemahan lawan, tapi pada akhirnya mulai jelas siapa yang terdesak. Pedang Malaikat pada usia tuanya tak mampu mengimbangi tenaga muda Pengkuh. Makin lama ia makin terdesak. Seharusnya bisa saja ia meminta murid-muridnya meluruk Pengkuh, tapi nyatalah ia seorang ksatria. Begitu melihat beberapa anak muridnya seperti hendak bergerak membantu, tangannya memberi isyarat menahan.

Sebuah sabetan melingkar diunjukkan Pengkuh. Sangat cepat dan kuat. Pedang Malaikat terperangah, tak diduganya dalam gerak yang sedemikian cepat si anak muda mampu membuat tipuan, begitu dihindarinya sabetan melingkar, tiba-tiba pedang hitam itu berbelok, menikam dadanya...

Crass!

Pedang hitam tak mampu dihindari, amblas menusuk dadanya. Tubuhnya terlontar kebelakang dengan derasnya.

Bruk! Tubuhnya yang tinggi besar terbanting ketanah. Tusukan pedang hitam tepat menghujam jantungnya. Sebuah pedang mustika yang ganas. Nyawa Pedang Malaikat langsung keluar dari tubuhnya.

Pengkuh memburu tubuh yang terbanting. Tubuh musuhnya. Ketika ia tahu musuhnya telah mati, maka puaslah hatinya, hendak ia sarungkan pedang hitamnya tapi diurungkan  ketika melihat sisa-sisa murid Padepokan Cemara Putih menyerbu kearahnya, rupanya mereka hendak menuntut balas kematian gurunya. Pedang Pengkuh kembali berkelebat. Kembali pekik kematian terdengar. tak cukup lama bagi anak murid si Pedang Malaikat bertahan, dalam sekejap semuanya tergelimpang mati. Tapi Pengkuh merasa hormat. karena mereka mati secara ksatria. Membela guru dan perguruannya.

Setelah tak ada lawan tersisa Pengkuh menyarungkan pedang hitamnya. Tujuannya telah tercapai. Ia ingin lekas meninggalkan tempat itu. Entah kemana belum pasti tujuannya. Mungkin mengasingkan diri dari keramaian. Merenungi nasibnya yang hidup keseorangan.

Sesaat kakinya hendak melangkah, tiba-tiba terdengar suara memanggil. "Sahabat, tunggu".

Pengkuh berbalik kebelakang. Seorang pemuda gagah berpakaian putih berdiri dibelakangnya. Kening si pemuda tampak berkerenyit memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan. "Ini semua hasil perbuatanmu?" tanya sahabatnya.

Pengkuh mengangguk.

"Kau telah berhasil membunuh musuh besarmu?"

Pengkuh kembali mengangguk. Tejo melangkah mendekati Pengkuh, sambil kembali  memandangi mayat-mayat yang bergelimpang, "Setelah urusanmu selesai hendak kemanakah sekarang?" tanya Tejo.

Pengkuh mengangkat bahu, "Entahlah, sesuai arah kakiku melangkah".

Pengkuh memandang sahabatnya, ingin ia bercakap-cakap lebih lama, tapi perasaan yang baru dirasakannya setelah membunuh musuh besarnya masih kental. Ia ingin menyendiri.

"Aku pergi sekarang", pamitnya singkat.

Tejo tak bergeming. Pengkuh berbalik. baru selangkah ketika dirasakan hawa dingin menyelimuti tubuhnya. Ia merasakan cairan kental membasahi dadanya, kepalanya menunduk. Sebuah ujung pedang berlumur darah menembus dadanya dari belakang, ia berbalik, samar matanya memandang Tejo tersenyum.

"Kenapa...?" tanyanya pelan.

"Kau telah membunuh ayahku..." jawab Tejo singkat.

"Ja, jadi kau...?" Kepala Pengkuh pening, ia menoleh kearah mayat Si Pedang Malaikat.

Tejo kembali tersenyum, "Benar, aku adalah putra si Pedang Malaikat.. kau hebat sahabat, sejak bertemu aku tahu kau hebat, saking hebatnya aku tahu tak mungkin menghadapimu secara berhadap-hadapan... Sayang dalam akhir hidupmupun tak lantas membuat tujuanmu tercapai.."

"Ap, apa maksudmu..?" tanya Pengkuh lemah.

"Kau salah membunuh orang sahabat.."

"Ti.. tidak mungkin..."

Tejo tetap tersenyum, "Bukan ayah yang membunuh ayahmu, tapi akulah yang telah membunuhnya.."

Pengkuh nanar memandang, ada perasaan berkecamuk, tapi ia begitu lemah, tubuhnya tak kuasa bertahan, ia ambruk di depan Tejo. Nyawanya putus dari badan.

Bagi Pengkuh mungkin selamanya mati penasaran. Kematian orang tuanya tetap akan jadi ganjalan. Tapi apakah yang terjadi? Hanya Si Pedang Malaikat dan Tejolah yang tahu kejadian sebenarnya.

Waktu itu saat jamuan makan dirumah, cuma ia, ayahnya, dan ayah Pengkuh yang ada. Dalam keadaan setengah mabuk ayah Pengkuh memintanya yang masih kecil untuk mengambilkan minuman, tapi naas, ia tersandung, minuman yang ia bawa menumpahi pakaian si Pedang Bulan. Spontan satu tamparan ia terima. Tejo kecil lari menangis kedalam. Ia sakit hati dengan kekasaran si Pedang Bulan, diambilnya keris ayahnya, dengan keris terhunus kembali ia lari ke ruang makan, dan ditusuknya dada ayah Pengkuh dengan keris. Dalam keadaan mabuk si Pedang Bulan tak menyangka di tikam keris, dan akhirnya menghembuskan nafas waktu itu juga.

Ayah Tejo marah besar, ia dipukuli habis-habisan, tapi apa mau dikata, nasi sudah jadi bubur, untuk menutupi kejadian maka dibuatlah cerita oleh si Pedang Malaikat tentang duel secara ksatria antara ia dengan si Pedang Bulan, sekaligus untuk menjaga nama baik si Pendekar. Dan untuk dia? Oleh ayahnya ia diharuskan keluar rumah, bertahun-tahun ia harus tinggal dengan seorang tua yang ditunjuk ayahnya sebagai gurunya. Ia marah. Ia dendam. Tapi mau dikata apa, ayahnya pendekar besar, sekalipun ia telah menyelesaikan pelajaran silatnya tak nanti ia mampu mengalahkan si ayah. Beruntung. Yah beruntung ia karena Pengkuh, karena si Pemuda yang di tutupi nafsu dendam itu yang telah menyelesaikan urusannya, bahkan telah pula ia selesaikan urusannya. Bukankah ia telah membunuh orang yang telah membunuh ayah dan membuat onar padepokannya. Tejo tersenyum.

Sekian.

Kumpulan Cerita Misteri, Cerita Silat, Cerita Horor, Cerita Remaja, Cerita Anak, Cerita Religi, Cerita Lucu, Cerita Sejarah, Cerita Petualangan, Cerita Detektif, Cerita Pendek, Cerita Serial, dll.

Post a Comment

Previous Post Next Post