Mengusir Rampok


Rumahku terletak di pinggir sawah. Sebuah rumah yang cukup besar. Seringkali warga desa menyebutnya dengan Villa, karena ukurannya yang besar serta letaknya yang agak terpencil dibanding dengan rumah-rumah penduduk lainnya.

Ayahku seorang wiraswasta, ia memiliki usaha jual beli barang dan memiliki sebuah Toko lumayan besar di kota terdekat. Biarpun mampu membeli rumah di kota, ayah lebih merasa nyaman tinggal di desa, apalagi desa yang memang tempat kelahirannya.

Sekalipun termasuk keluarga mampu, ayah selalu mengingatkanku untuk tetap berpenampilan sewajarnya dan berperilaku yang sopan bila berjumpa dengan orang lain. Ia selalu mengatakan, pada dasarnya manusia itu sama saja, seandainyapun kita berkelebihan harta, itu semua hanyalah titipan sementara dari yang Maha Kuasa.

Usiaku kurang lebih sepuluh tahun waktu itu. Menjelang malam selepas Maghrib, ayah mengajak kami sekeluarga kota, "Sekali waktu makan diluar," ujarnya. Tentu aku kegirangan. Suasana kota memang selalu menarik bagiku, lampu-lampunya yang begitu terang dan warna warni, kerumunan orang-orang, terutama sekali pelbagai tempat menarik yang menjajakan makanan yang enak-enak. Dan malam itu ayah betul-betul mengajakku dan ibu makan sepuasnya hingga kami betul-betul kekenyangan.

Sesampai dirumah, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Mataku sudah terasa berat. Ibu yang tahu aku sudah mengantuk, segera mengajakku ke kamar untuk tidur. Dan memanglah aku langsung lena begitu rebah di atas kasur.

Saat aku tidur nyenyak tanpa mimpi, tiba-tiba badanku seperti ada yang menggoyang-goyang. Mataku membuka, kulihat ayah disampingku.

"Dedek, bangun dedek.." terdengar suara ayah sambil tetap menggoyang-goyang tubuhku. Dengan setengah mengantuk aku bangun, kulihat ayah membungkuk di samping ranjang, wajahnya agak pucat. Apa yang terjadi? Ingin kubuka suara, tapi ayah langsung menaruh jari telunjuk di bibirnya.

Di dekatkan mulut ke telingaku, "Bangun dedek, pelan-pelan... di rumah ada rampok..." bisiknya sangat pelan.

Rampok!? Deg! Jantungku kontan berdegup mendengar kata rampok. Segera dengan takut aku bangun. Mataku berputar menjelajah ruang kamar.

Kulihat ibu ada di pojok kamar, wajahnyapun terlihat pucat, sedang pintu kamar terlihat sudah tertutup oleh sebuah almari, mungkin tadi ayah yang menggesernya.

Diluar kamar, ku dengar suara-suara gaduh, seperti suara-suara yang berasal dari beberapa orang.

"Ini kamarnya! Di kunci dari dalam!" Kata satu suara dari luar, terdengar gusar dan marah.

"Dobrak saja!" kata satu suara lainnya. Kemudian terdengar langkah-langkah kasar mendekat kearah pintu dari luar.

Tak lama terdengar pula suara pukulan-pukulan dari luar pintu, orang-orang yang berada di luar sepertinya mulai memaksa untuk masuk. Aku menggigil semakin ketakutan, membayangkan kemungkinan-kemungkinan hal-hal buruk akan terjadi. Apa yang dimaui mereka? Kenapa tidak ambil barang-barang yang diluar kamar saja, kenapa harus masuk ke kamar?

Ayah memberi isyarat dengan tangannya kearahku. Mengajak aku dan ibu ke satu pojok kamar, ada satu lemari lain di situ. Ayah ambil sebuah kursi, di dekatkan di lemari, dengan gesit dia naik. Satu kotak plafon memang di biarkan tidak tertutup permanen diatas, dengan sekali dorong ayah mengangkat dan menggeser tripleknya.

"Angsurkan dedek ke sini Bu.." pinta ayah tetap dengan suara sangat pelan.

Ibu bergegas menggendongku, dan dengan agak susah mengangsurkan tubuhku ke ayah. Tubuhku lemas, aku pasrah saja dengan apa yang dilakukan kedua orang tuaku. Ayah meraih tubuhku dan mengangkatnya ke atas hingga tubuhku masuk ke atap. "Jangan nangis dedek, sebentar ayah sama ibu susul ke atas," hibur ayah sambil tersenyum memandangi wajahku.

Begitu diatas, aku diam ketakutan, tak berani bergerak secuilpun, seakan-akan khawatir satu gerakanku saja dapat merubuhkan atap dimana aku berada. Di bawah suara-suara gaduh makin terdengar. Jelas itu para perampok yang makin gigih untuk merangsak masuk kedalam kamar.

Tak berapa lama sosok ibu naik ke atas, mungkin di bantu ayah dari bawah. Ia langsung memeluk tubuhku dengan erat begitu sampai di atas. Ayah menyusul. Kejap ia sampai di atap terdengar suara... Gedubrak! Pasti iti suara almari yang berhasil di dorong paksa jatuh oleh para perampok. Hiii... aku makin merinding.

"Mana! Mana!" Seorang perampok berteriak. Mungkin ia kebingungan melihat kamar dalam keadaan kosong tak ada penghuninya.

"Itu kang, di atas!" satu suara lain menjawab. Pemilik suara pertama terdengar memaki tak karuan.

Ayahku memang luar biasa tenang, tak peduli ia suara teriakan-teriakan bernada ancaman di bawah. Begitu sampai di atap segera tangannya mendorong genteng-genteng di atasnya, setelah berhasil segera ia patahkan beberapa kayu reng, setelah cukup untuk lewat satu tubuh dewasa ia memberi isyarat ibu untuk keluar.

Mula-mula aku yang kembali di angkat naik, baru mendorong ibu. Teriakan-teriakan gusar kembali terdengar, belum sempat giliran ayah naik, satu tangan kasar terlihat sudah menggapai dari bawah hendak naik ke atap plafon, dengan gesit ayah meraih beberapa genteng dan melemparkan ke bawah, satu suara mengaduh terdengar.

"Teriak Bu!" Perintah ayah.

Ibu yang semula terpaku melihat perjuangan ayah menggeragap, kontan ia buka mulut...

"Rampok! Rampok! Tolong! Rampok!" Begitu seru ibuku berulang-ulang. Sedang ayah tetap tak dapat naik karena sibuk melempari para perampok yang masih gigih ke atas dengan genteng. Berkali-kali terdengar suara mengaduh dan mengumpat-umpat.

Aku hanya mampu diam tak berdaya, pandanganku bolak balik ke arah ayah dan ibu. Ngeri kiranya membayangkan para perampok yang pasti bengis itu bila berhasil menangkap salah satu dari ayah atau ibu.

Suara teriakan ibu berbuah hasil. Para penduduk kampung kami mulai terbangun, ditandai dengan terdengar suara kentongan di pukul bertalu-talu, walaupun begitu ibu masih terus teriak-teriak minta tolong karena saking panik dan takutnya.

Dari jauh mulai terlihat cahaya-cahaya berdatangan, pasti itu berasal dari para warga yang bergegas mengarah sumber teriakan yang mereka dengar. Ku lihat ke bawah ayah sudah berhenti melempar, rupanya para perampokpun menjadi ketakutan.

Memang setelah warga datang kerumah kami, tak satupun perampok tersisa, semua sudah kabur, masih untung tidak banyak barang berharga berhasil di bawa, karena kawanan perampok sudah keburu khawatir akan terkepung oleh warga. Kami lalu dibantu turun oleh warga, setelah bahaya lewat, ayah memandangku penuh sayang, lantas ia gendong dan angkat tubuhku tinggi-tinggi dan memelukku sangat erat. "Kau tahu dek, yang paling ayah khawatirkan itu keselamatanmu," ucapnya sambil kembali memelukku. Tak Terasa akupun membalas pelukannya.

Esoknya ayah segera memanggil tukang untuk membetulkan kerusakan rumah. Selama beberapa malam selanjutnya rumah kami dijaga oleh saudara dan warga kampung, memastikan para perampok tidak kembali menyatroni. Dan agar lebih aman, ayah lantas memesan teralis besi untuk di pasang di tiap pintu dan jendela rumah kami.

S e k i a n. 

Kumpulan Cerita Misteri, Cerita Silat, Cerita Horor, Cerita Remaja, Cerita Anak, Cerita Religi, Cerita Lucu, Cerita Sejarah, Cerita Petualangan, Cerita Detektif, Cerita Pendek, Cerita Serial, dll.

Post a Comment

Previous Post Next Post