Rumahmu Berhantu!


Selepas jam sekolah berakhir kami ada kegiatan eskul PMR. Karena beberapa hari akan mengikuti perlombaan, kamipun giat berlatih.

Menjelang sore baru kami selesai berlatih. Kamipun mengemasi peralatan yang di gunakan latihan barusan. Setelah menaruh peralatan di tempatnya semula, niatku ingin langsung pulang.

"Waduh, gimana nih!? Kalo jam segini sudah nggak ada angkot umum nyampe ke rumahku.." ujar Adun kawan sebangkuku satu kelas yang memang sama denganku mengikuti eskul PMR.

Aku menoleh padanya. Wajar Adun kebingungan, itu karena memang tempat tinggalnya yang agak jauh dari sekolah kami. Untuk sampai ke rumahnya harus dua kali ganti angkot, dan memang biasanya kami tidak pernah sesore ini pulang dari sekolah.

"Iya juga ya Dun," kataku. "Kalo enggak gini aja, kamu nginep aja di rumahku" lanjutku kemudian.

Adun tak langsung menjawab. Tampaknya dia sedang mempertimbangkan tawaranku.

"Ah, nggak enaklah Wan, ngrepotin kamu nantinya," jawabnya.

"Enggak enak kenapalah, kitakan dah lama berteman, udahlah, ayo ke rumahku," desakku.

Setelah ku desak, akhirnya ia mau juga nginep di rumahku. Kamipun berboncengan meninggalkan sekolah.

Tiba di rumah Ibu rupanya sudah menunggu, terbukti pintu rumah kami langsung di bukanya sebelum aku mengucap salam. Bahkan ia langsung melontarkan pertanyaan sebelum kami masuk ke dalam rumah.

"Darimana aja kamu Wan, sudah sore begini kok baru pulang?" tanya Ibu.

Aku tersenyum, "Maafkan kami Bu, tadi aku lupa bilang, kalau hari ini ada kegiatan eskul."

"Tumben sampai sore," ucap Ibu.

"Iya Bu, soalnya beberapa hari lagi mo ada lomba Bu," jelasku padanya.

Ibu mengangguk, pandang matanya beralih ke si Adun. Adun tersenyum sambil membungkukkan badan sedikit, di ulurkannya tangan untuk salaman. Ibu segera menyambutnya, "Kawan Iwan ya?" duganya.

"Iya Bu, saya Adun," jawab Adun.

Aku merangkul tangan Ibu, "Bu, si Adun rumahnya jauh, mo pulang sudah kesorean, tidak ada angkot lagi ke rumahnya jam segini, karenanya ku ajak Adun ke rumah, biarlah dia nginap di rumah kita malam ini Bu," terangku.

Ibu kembali tersenyum, "Oh gitu, ya udah gak pha-pha Wan, kalau gitu buruan kamu ajak si Adun kebelakang, ajak mandi sana, trus ganti baju."

Aku ajak Adun masuk ke dalam rumah, langsung ke kamarku. "Taruh tas kita dulu di kamar Dun."

Ku ambilkan satu stel pakaianku buat ganti baju, dan satu handuk bersih buat mandi.

"Kamu duluan aja Dun yang mandi, nti gantian, aku mo beres-beres kamar dulu," ucapku.

Sehabis mandi dan berganti pakaian kami pergi makan, Ibu telah menyiapkan makan malam di meja. "Ayo nak Adun, jangan malu-malu lho, kalian pasti laper betul habis kegiatan di sekolah tadi," kata Ibu ramah.

"Lho? Ngomong-ngomong ayah kemana Bu? Dari tadi Iwan kok belum liat?" tanyaku.

"Ayahmu ada lemburan di kantornya, mungkin sekitar jam sembilanan nanti baru pulang," jawab Ibu.

Setelah makan aku ingatkan pada Adun untuk menelpon keluarganya kalau ia nginep di rumahku. "Pakai aja telpon rumah Dun."

Di rumah Adun memang belum ada telpon yang ia telpon pamannya, yang tinggal di sebelah rumah orang tuanya.

Kemudian kami duduk-duduk santai di serambi depan. Pukul setengah sepuluh ayah pulang, ia tampak capek.

"Malam juga yah pulangnya, banyak pekerjaan rupanya," ujarku.

Ayah menggeleng, "Iya, tapi seharusnya ayah sudah sampai rumah sejam yang lalu Wan," ucapnya.

"Kenapa rupanya yah?"

"Mogok, entahlah kenapa, motor ayah macet di tengah jalan. Terpaksa ayah dorong tadi, untunglah masih ada bengkel yang buka," jelasnya.

Ayah memandang Adun, "Ini siapa Wan? Kawanmu?"

Adun mengangguk  dan menjabat tangan ayah.

"Iya yah, Adun namanya, ia ku ajak menginap malam ini."

"Oh ya baguslah, kamu bisa ada kawan buat ngobrol, ya udah, ayah mo masuk dulu, rasanya badan ayah sudah penat betul."

Ayah lalu masuk ke dalam rumah.

Pukul sepuluh malam, aku dan Adun masuk ke dalam kamar. "Kita lanjutin ngobrol di kamar aja Dun, biar lebih enak."

Karena kami memang akrab, hampir semalaman kami ngobrol. Apalagi besok memang hari libur, jadi kami bisa tenang meluangkan waktu untuk berbincang. Terutama yang kami obrolkan seputar persiapan lomba yang akan kami ikuti.

Pukul setengah dua setelah puas ngobrol dan memang mata sudah mulai berat kami tidur. "Dah ngantuk berat ni Dun, mata rasanya mulai lengket susah di buka."

"Sama Wan, yok kita tidur dulu, besok kita lanjut obrolannya," balasnya.

Aku tidur lelap tanpa mimpi, mungkin karena saking capeknya. Paginya saat terbangun kulihat kawanku dah bangun duluan dan duduk melamun di samping meja kamar.

"Duluan bangun kamu Dun, dah mandi belom, kalo belom sana geh mandi gantian, trus kita nyarap," kataku.

Dia menoleh, "Wan, rumahmu ini berhantu," ujarnya tiba-tiba.

Lho? Kok lain soal yang keluar dari mulutnya, tapi ketika terlihat mimik serius di wajahnya aku balik tanya," Berhantu gimana maksudmu Dun?"

Dia diam sejenak, "Kau tahu, tadi malam jam setengah empatan aku terbangun karena ingin buang air kecil, waktu keluar dari kamar menuju belakang, aku dengar jelas suara denting gelas dan piring seperti orang lagi nyuci, kupikir semula ibumu, tapi waktu aku terus kebelakang, kau tahu apa yang kulihat?" jawabnya kemudian membeberkan kejadian yang dialaminya.

"Apa yang kau lihat?" Desakku penasaran.

"Tak ku lihat apa-apa..."

Aku terlongong, "Tak kau lihat apa-apa? Yang bener Dun?"

"Betul! Karena itu kubilang, rumahmu berhantu," tegasnya.

Aku berpikir sejenak. "Kau dengar suara itu dari cucian piring kami?" tanyaku meyakinkan.

"Iya betul Wan, aku pas dari ruang makan dengernya, habis ruang makankan ruang cuci piring sekaligus dapur, nah, jelas betul ku dengar suara-suara itu dari situ, tapi nyatanya aku nggak liat apa-apa.. Hiii.. Kok merinding nih jadinya," jawabnya lagi dengan wajah agak memucat.

Aku menggaruk daguku yang tidak gatal. Tapi sesaat jawaban melintas di benakku. Aku tersenyum, lalu kutepuk bahunya, "Kau salah duga, yang kau dengar memang betulan orang lagi nyuci piring, bukan hantu."

"Eh, kok bisa gitu? Sungguh tak kulihat satu manusiapun semalam di belakang," katanya menyanggah ucapanku.

Akhirnya kujelaskan padanya, "Gini lo Dun, rumah kami inikan berdampingan dinding dengan tetangga, satu tetanggaku di samping memang rajin orangnya, kalau pagi jam setengah empat sudah terbangun dan beres-beres rumah, termasuk mencuci piring."

"Memangnya cucian piringnya di samping cucian piring rumahmu?" tanyanya ragu.

"Iya betul Dun, akukan pernah berkunjung ke rumah samping, jadi tahu betul letak dapur dan tempat cuci piring mereka. Dan kami sekeluargapun sudah terbiasa dengan suara-suara dari rumah samping itu," jawabku menerangkan.

Setelah kujelaskan Adun mengangguk, "Oh gitu, sial betul, padahal aku sudah ketakutan, ku kira hantu sungguhan.."

Aku tertawa. " Gak pha-pha Dun, nanti bisa kau jadikan bahan cerita, titelnya Kengerian Teror Hantu Pencuci Piring.. he he he..."

Adun tampak mendongkol, tapi di mulutnya hanya satu kata yang keluar, "Asemm.."

S e k i a n. 

Kumpulan Cerita Misteri, Cerita Silat, Cerita Horor, Cerita Remaja, Cerita Anak, Cerita Religi, Cerita Lucu, Cerita Sejarah, Cerita Petualangan, Cerita Detektif, Cerita Pendek, Cerita Serial, dll.

Post a Comment

Previous Post Next Post