Jodoh Sang Pendekar


Matahari bersinar terik, Prawira duduk berteduh dipinggir jalan, tangannya tak henti-henti mengipas-ngipas wajahnya yang bermandi peluh dengan selembar daun. Sudah satu tahun semenjak dia meninggalkan padepokannya menuntut ilmu silat, berbagai petualangan telah dialami, banyak tokoh sudah dihadapi. Sebagai seorang pendekar, ia tak pernah bisa berdiam diri melihat kejahatan atau ketidak adilan didepan mata, pasti segera ditindak dan ditumpasnya. Namanya makin terkenal kini, orang-orang menjulukinya Pendekar Hati Baik.

Selama melanglang buana dirimba hijau, Prawira makin sarat ilmu kepandaiannya, ia banyak berjumpa dengan orang-orang pandai yang tergerak untuk menurunkan ilmu, dasar memang bakatnya disilat, tak sulitlah baginya menyerap semua ilmu-ilmu yang diajarkan kepadanya.

Kurang lebih sembilan bulan yang lalu, pernah ia menghadapi musuh yang benar-benar tinggi ilmunya, bagaimana tidak tinggi, Pendekar golongan yang berjuluk Wadak Wesi itu benar-benar hebat. Iblis hitam yang dihadapinya waktu itu punya ilmu andalan yang sulit ditaklukkan, tubuhnya kebal akan segala senjata dan pukulan. Dalam pertarungan segala jurus dan pukulan sudah dikeluarkan, tapi nyata musuhnya sakti luar biasa, tak satupun dari serangannya mampu melukai tubuhnya yang kebal. Untung bagi Prawira, selagi tenaganya belum habis terkuras muncul jua ilham, tak nanti makhluk sekebal apapun kebal pula dibagian matanya, dan memang terbukti, dengan kecepatan gerak dan jurus tipuan, akhirnya ia berhasil menikam mata musuh dengan tombak trisula pendeknya sehingga jatuh terhumbalang dan maut mencabut nyawanya.

Selagi mengkipas-kipas wajahnya, dari jauh tampak oleh pandang mata Prawira debu yang mengepul, titik-titik  hitam dalam jumlah yang banyak bergerak cepat mendekat. Setelah lebih dekat jelas kelihatan, serombongan orang berkuda memacu kuda dengan terburu, mendekat kearah Prawira. Tak mau tubuhnya terkena semburan debu, Prawira segera bangun dan melompat kesamping.

Rombongan kuda melintas, debu memenuhi tempat semula Prawira berada, mereka terus bergerak keutara menginggalkan sisa-sisa kepulan debu. Prawira kembali kepinggir jalan dibawah pohon, dipandanginya arah lalu rombongan berkuda, matanya yang tajam telah dapat melihat, rombongan yang baru melintas bukan dari kalangan biasa, mereka seperti dirinya dari kalangan dunia persilatan. Hendak kemanakah? Penuh rasa ingin tahu Prawira berkelebat menuju arah rombongan kuda itu pergi.

Menjelang sore Prawira menghentikan larinya, didepan sudah mulai kentara pemukiman penduduk, Langkahnya bergegas, sampai di perkampungan Prawira dapat melihat sebuah rumah yang didepannya banyak kuda ditambatkan, segera ia menghampiri. Rumah yang ditujunya rupanya sebuah rumah makan, melihat jumlah kuda yang cukup banyak Prawira menduga kuda-kuda tersebut milik rombongan yang disusulnya.

Benar dugaan Prawira, didalam rumah makan meja dan kursi sudah hampir terisi oleh pengunjung, beberapa diantaranya masih dikenalinya sebagai penunggang kuda yang melintasi tempat berteduhnya tadi siang, orang-orang yang mengenakan berbagai macam pakaian, dan membekal bermacam senjata, orang-orang dari dunia persilatan. Prawira melihat dipojok masih ada meja dan kursi kosong, segeralah ia langkahkan kaki, dan mengambil tempat kosong itu.

Tak berapa lama dia duduk, seorang pelayan menghampiri, "Hendak pesan apakah tuan?" tanya si pelayan.

"Bawakanlah aku satu porsi ikan bakar," pinta Prawira.

"Minumnya tuan?"

"Air putih saja," jawab Prawira.

Si Pelayan mengangguk, mencatat pesanan Prawira dan segera kembali kebelakang untuk menyiapkan pesanan.

Suasana yang ramai dirumah makan menguntungkan bagi Prawira, karena ia bisa mencuri dengar apa-apa yang dibicarakan, karena memang tujuannya kemari didorong rasa penasaran akan maksud para pengendara kuda.

Dari pembicaraan rupanya mereka berasal dari perguruan-perguruan yang berbeda, bertemu dalam perjalanan karena memiliki tujuan yang sama keperkampungan ini. Ada satu sayembara yang akan berlangsung besok, sayembara dengan hadiah yang sangat menggiurkan, seorang puteri dari juragan kaya. Siapa yang bisa mengalahkan tukang pukul si juragan dalam adu ilmu silat, berhak menjadi suami siputeri yang konon cantik parasnya.

Pesanan datang, Prawira menghentikan aksi mengupingnya, dan fokus menikmati hidangan yang terlihat lezat mengundang selera, apalagi memang perutnya yang sudah keroncongan dari siang tadi belum diisi.

Malamnya Prawira bermalam dibawah sebuah pohon dipinggir kampung, memang ada satu rumah penginapan dikampung itu, tapi kamar sudah penuh terisi. Prawira mengumpulkan ranting-ranting kayu dan meyalakannya, matanya masih belum mengantuk alangkah nyamannya rebahan bersangga tangan didepan api unggun sambil memandang langit yang dihiasi bintang.

Angannya melantur, dulu dipadepokan tempat ia menimba ilmu silat, ia bisa dibilang cukup pandai, gurunya sering pula memuji-mujinya. Ada satu kenangan yang terus diingatnya sampai sekarang, yakni perasaannya pada cucu sang guru. Larasati namanya, gadis yang teramat cantik, tubuhnya yang semampai, kulitnya yang putih, dan rambutnya yang hitam panjang begitu halus. Tiap kali Larasati lewat, bau semerbak tubuhnya benar-benar memikat perasaan, Prawira merasa jatuh cinta kali pertama. Pucuk dicinta ulampun tiba, hasrat Prawira untuk mempersunting Larasati sepertinya bakal kesampaian, sang guru yang melihat cucunya sudah beranjak dewasa melihat dirinyalah yang pantas menjadi suaminya, terang-terangan sang guru mengungkapkan  hal itu padanya, dan meminta ia merayu Larasati untuk mendapatkan hatinya. Sedari itu ia mencoba mendekati Larasati, walau Larasati terkesan sering menghindar Prawira pantang menyerah, dipikirnya biasalah anak perawan, tentu masih malu-malu.

Tapi semua impian pupus ditengah jalan, Larasati yang di sangka lugu dan polos ternyata tak sesuai dengan gambaran. Seorang pelayan perempuan yang memergokinya, selagi sipelayan hendak menyimpan perbekalan digudang tengah malam, ia menjerit histeris, memergoki Larasati tengah main kuda-kudaan di dalam gudang dengan tukang kebun yang berusia dua kali dari dirinya. Marah, kecewa campur aduk perasaan gurunya waktu itu, tapi akhirnya ia hanya menyampaikan, semua sudah ditakdirkan, dan akhirnya situkang kebun dan Larasati harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka, dengan melangsungkan pernikahan.

Dada Prawira mendenyut mengenangkan peristiwa itu, tapi ia adalah lelaki, Prawira yakin bakal dipersuntingnya gadis yang pantas untuknya, gadis yang bukan hanya cantik parasnya, tapi juga cantik pribadinya. Mungkin saja peruntungannya ada pada sayembara besok, ia bertekad melihat, sekiranya puteri si juragan sesuai dengan gambaran orang-orang diwarung tadi, tak ada salahnya ia mencoba turut, siapa tahu dia mampu memenangkan sayembara. Memikir sampai kesitu, Prawira dapat terpejam dan tertidur pulas.

***

Rumah Juragan Wiloto ramai sedari pagi, ada panggung besar nan kokoh di pelataran rumah, orang-orang berkerumun di depan panggung, campur baur diantara mereka, ada yang datang karena ingin ikut sayembara, ada juga yang datang hanya sekedar untuk melihat saja.

Diatas panggung kini telah berdiri beberapa orang, satu orang dengan tubuh tambun dan berkumis tebal bepakaian mewah, dua orang berbadan tinggi besar bertelanjang mata dengan gelang akar bahar meilntang dipergelangan mereka yang berotot, dan seorang lelaki setengah tua bermuka tirus berjenggot dengan tubuh sedikit bungkuk.

Gunnngg...!

Suara gong dipukul  terdengar, lelaki bermuka tirus maju kedepan setindak. Kedua tangannya mengangkat keatas, memberi isyarat agar hadirin tenang.

"Salam hadirin yang kami hormati!" buka si muka tirus sambil merangkapkan kedua tangannya.

"Sungguh berbahagia kami atas kehadiran saudara-saudara semua, yang tentunya memenuhi undangan sayembara yang telah disebar luaskan oleh tuan kami Juragan Wiloto. Ijinkan saya Lawir mewakili tuan kami untuk menyampakan serangkaian kalimat kepada saudara-saudara sekalian. Seperti saudara-saudara ketahui, tuan kami Juragan Wiloto hendak menikahkan puterinya, tapi sungguh nyata beliau adalah seorang yang sibuk dengan segala urusan berniaga, hingga merasa lalai mencarikan jodoh yang sepadan. Dan oleh karena Juragan Wiloto sangat menghargai keberadaan orang-orang pandai, maka dari itu Juragan Wiloto berkenan untuk menikahkan puterinya dengan siapapun yang bisa mengalahkan dua jago yang menjadi andalan tuan Wiloto yaitu Blawor dan Gotar.!"

Ki Lawir berhenti sejenak, dipandanginya para hadirin didepannya, kemudian ia melanjutkan, "Blawor dan Gotar bukan sembarang pemuda, mereka adalah dua saudara seperguruan gemblengan orang sakti dari Gunung Lawu, sudah bertahun-tahun keduanya mengabdi pada tuan kami dan telah terbukti kesetiannya. Jadi bagi tuan-tuan yang hendak ikut sayembara, silahkan naik keatas panggung secara bergantian, boleh bertangan kosong atau bersenjata, yang jelas kami tidak menghendaki adanya pembunuhan, aturannya, siapa yang kalah, ialah yang terlontar keluar dari panggung! Apakah jelas aturan yang saya sampaikan!?"

Hadirin tampak ramai, ada yang bertepuk tangan, ada yang berceloteh.

"Tuan, kami jauh-jauh hendak ikut sayembara, tapi hingga kini belum jua kami liat puteri yang hendak disayembarakan, kami harap tuan rumah berkenan untuk menunjukkan puteri yang dijanjikan itu, hingga berlegalah hati kami setelahnya," satu suara terdengar dari kerumunan. Suara ramai makin terdengar, seakan menyetujui apa yang barusan disampaikan.

Ki Lawir kembali mengangkat tangannya, hadirin spontan terdiam. Ki Lawir kemudian menoleh pada lelaki tambun berpakaian mewah. Lelaki tambun yang adalah Juragan Wiloto mengangguk, dan melangkah setindak kedepan. "Tuan-tuan tokoh gagah dari delapan penjuru, dapatlah dipahami maksud hati tuan-tuan, saya selaku tuan rumah tentu tak ingin mengecewakan hati tuan-tuan sekalian, baiklah akan saya panggil puteri saya yang buruk rupa untuk barang sekejap naik kepanggung..." sehabis berucap tangan Juragan Wiloto melambai.

Gunnggg!

Kembali suara gong terdengar. Perlahan dari bawah panggung naik tiga sosok tubuh, tiga orang gadis yang cantik jelita, tapi sungguh yang tengah teramatlah cantik. Begitu mereka sudah berada di atas panggung kembali Juragan Wiloto berucap, "Inilah tuan-tuan, puteri kami bersama dua dayangnya, Diah Katmila namanya, saya harap penampilannya tidak terlalu mengecewakan tuan-tuan."

Begitu cantik Diah Katmila, matanya yang jernih tampak begitu elok, kulitnya yang putih halus, rambutnya yang hitam mengkilat rapi disanggul, ditambah tubuh rampingnya yang berlekuk indah, begitu menggiurkan hasrat lelaki normal. Hadirin dibawah tak kuasa mengeluarkan decak kekaguman, seorang lelaki yang sudah tuapun rasanya ingin pula sekarang untuk mengadu nasib, mendapatkan si gadis cantik yang aduhai rupanya.

Gunnngg!

"Baik tuan-tuan, matahari sudah seperampat jalan, maka untuk itu saya nyatakan sayembara dimulai," buka tuan Wiloto. Selesai berucap ia beserta rombongan segera meninggalkan panggung, menyisakan Blawor dan Gotar.

Blawor dan Gotar bak kembar, kedua-duanya memiliki perawakan tinggi besar, kumis tebal menghiasa wajah mereka, berdiri dengan kaki kokoh diatas panggung, menciutkan nyali pendekar berkepandaian pas-pasan untuk menguji nyali. Yang membedakan dari penampilan mereka hanyalah, kalau Blawor mengikat rambutnya yang panjang, sedang Gotar membiarkan rambutnya tak terikat riap-riapan.

Beberapa lama menunggu, berkelebat satu sosok tubuh keatas panggung. Seorang lelaki berbaju biru kini berdiri dengan angkuh, sebuah golok besar ada digenggamannya.

Menoleh dia kearah penonton, "Perkenalkanlah, namaku Kumolo, dunia persilatan menggelariku Si Golok Kilat, biarlah hari ini aku yang pertama mencoba kepandaian tuan Blawor dan Gotar."

Orang-orang yang hadir kasak-kusuk, beberapa diantara mereka yang merasa kepandaiannya dibawah Si Golok Kilat jadi mengurungkan niatnya untuk mengikut sayembara.

Selesai berucap si Golok Maut kembali berhadapan dengan Blawor dan Gotar, ia menjura, dibalas oleh kedua calon lawannya. Kumolo segera memasang kuda-kuda, kemudian tubuhnya melesat melakukan serangkaian serangan.

Blawor dan Gotar sudah siap, mereka segera menghindari serangan Kumolo, kemudian berbalik menyerang. Mereka berdua adalah satu perguruan, dan sudah lama bahu membahu menghadapi. Gerakan mereka saling mengisi, bila Blawor menyerang bagian atas, Gotar menyerang bagian bawah Kumolo, tentu saja akibatnya kerepotan bagi Kumolo, dia harus berlompatan kesana-kemari menghindari serangan kedua musuhnya yang bertubi-tubi. Merasa terdesak ia loloskan goloknya, dan kembali merangsek maju. Tapi memang hebat dua jagoan Juragan Wiloto ini, sekalipun Kumolo sudah memainkan ilmu goloknya yang kemasyhur tetap saja Bawor dan Gotar mampu mendesak si Kumolo, hingga suatu saat satu tendangan Bawor tak bisa dihindari Kumolo.

Duess!

Tubuh Kumolo terlontar hingga keluar panggung. Sorak sorai terdengar dari para pengunjung, memuji pertarungan yang menarik barusan disuguhkan.

Kumolo bangkit dari jatuhnya, disekanya bibirnya yang mengeluarkan darah, lukanya memang tidak parah, tapi ia telah kalah, tanpa bersuara iapun segera berkelebat menginggalkan arena.

Begitulah, beberapa tokoh lain mencoba maju, tapi belum satupun yang berhasil mengalahkan Blawor dan Gotar, hingga akhirnya tengah hari pertandingan dihentikan sementara, mereka beristirahat sejenak untuk mengisi perut, dan mendinginkan keringat, terutama bagi Blawor dan Gotar.

Riuh suasana rumah makan siang itu, membicarakan hasil sayembara yang belum ketahuan siapa pemenangnya, kehebatan Blawor dan Gotar membuat banyak pendekar menyerah sebelum bertanding, apalagi setelah belasan pendekar berkepandaian tinggi sudah mencoba, tapi gagal..

Prawira tak menikmati makannya, sedari pagi diikutinya pertandingan di rumah Juragan Wiloto, melihat cantiknya wajah Diah Katmila, tak rela rasanya bila gadis secantik itu jatuh kepelukan lelaki lain, apalagi bila ternyata lelaki itu pendekar dari golongan hitam, namun untuk tampil di panggung Prawira merasa belum waktunya. Bilamana nanti bila keduluan orang lain? Ah, entahlah.

***

Selepas waktu makan siang, sayembara dibuka lagi, dimulai dengan suara gong berbunyi.

Gunnggg!

Beberapa jago kembali unjuk gigi, tapi mentah ditangan Blawor dan Gotar, gabungan ilmu silat keduanya belum ada tandingnya. Setelah seorang pendekar lelaki separuh baya terlempar keluar, melompat keatas panggung seorang pemuda gagah nan tampan diatas panggung, pakaiannya perlente, ditangan kanannya menyandang kipas. Ia perkenalkan dirinya sebagai Kilan, berjuluk Kipas Penakluk Naga, hadirin dibawah banyak yang berbisik, siapa tak kenal dengan Kipas Penakluk Naga, seorang tokoh beraliran putih yang bertahun-tahun ini namanya menjulang di dunia persilatan, tapi kelemahannya satu, tak tahan melihat perempuan cantik.

Blawor dan Gotar rupanya tahu dengan siapa mereka berhadapan, kali ini keduanya mendahului menyerang, tak main-main, serangan mereka rapat dan kuat. Kilan tertawa lirih, kipasnya menyapu, tubuhnya melenting, kelebatan tubuhnya begitu cepat merangsek kedepan mengimbangi serangan Blawor dan Gotar. Bukan main hebatnya gerak silat Kilan, dua jago tuan Wiloto bak dipermainkan, tubuh Kilan berkelebat kesana kemari diantara serangan keduanya.

Merasa tak unggul bertangan kosong, Blawor dan Gotar untuk pertama kalinya mengeluarkan senjata, keris hitam yang panjangnya setengah tombak. Kedua senjata itu merupakan senjata mustika, jarang sekali mereka keluarkan kecuali menghadapi lawan kelewat berat.

Begitu Blawor dan Gotar mainkan kerisnya, pertarungan mulai berimbang. Melihat kedua keris yang memiliki perbawa memerihkan tulang, Kilan merubah jurus bertarungnya, ia putar kipasnya makin cepat dan gerak tubuhnya makin hebat, salah satu jurus andalan dikeluarkannya, Jurus Kipas Pengguncang Jagat, hasilnya, keris ditangan Blawor tersapu kipas maut Kilan, disusul tendangan menghantam punggungnya, tubuh Blawor terlempar keluar. Gotar yang kalut coba memanfaatkan dengan membokong Kilan, tapi punggung Kilan seperti bermata, ia merunduk, memutar kakinya menyapu kaki Gotar hingga terjengkang, lantas saja Kilan menendang perut jago tuan Wiloto itu dengan keras hingga memekik dan terlempar keluar panggung.

Sorak sorai terdengar dari penonton, Kilan telah memenangkan sayembara.

Diatas panggung Kilan tersenyum-senyum sambil merangkapkan tangan diatas dada, dari bawah panggung Ki Lawir naik. Dia menyalami Kilan mengucapkan selamat. Kemudian mengangkat tangan Kilan keatas menghadapa para hadirin, "Saudara-saudara, kini telah kami dapatkan pemenang sayembara ini, tuan Kilan alias Si Kipas Penakluk Naga yang berhak mempersunting puteri tuan kami!'

"Tunggu!"

Satu teriakan menggema, sekejap berkelebat sesosok tubuh diatas panggung, seorang lelaki tua berkepala nyaris botak bertelanjang dada hanya mengenakan celana hitam komprang berdiri jumawa diatas panggung.

"Sayembara belum selesai!" teriaknya.

"Dengan sebelah tanganku aku mampu melempar dua orang yang katanya jago tadi ke laut selatan, akulah yang pantas mempesrunting puteri jelita si Wiloto, ha.. ha.. ha!" lanjutnya congkak disusul tawa.

Ki Lawir maju, "Tuan besar, sesuai peraturan, siapa yang telah mengalahkan jagoan kami dialah yang memenangkan sayembara.."

"Aku mampu sepuluh kali mengalahkan dua cecungukmu!" gertak si lelaki tua.

"Tapi tuan ini telah terlebih dulu, memenangkan sayembara tuan.."

"Kalau begitu, dia lawanku! Kalau dia berhasil mengalahkanku baru kuakui dia sebagai pemenang sayembara!"

Melihat gelagat tak baik, Ki Lawir segera memberi isyarat pada Blawor dan Gotar. Melihat isyarat, keduanya segera melompat kepanggung hendak meringkus. Tapi si lelaki tua rupanya sesuai dengan ucapannya, dengan satu kali kibasan, dua jago Juragan Wiloto terlempar kembali kebawah, terguling-guling, kali ini tak mampu bangkit kembali, pingsan.

Kilan melambai tangan kearah Ki Lawir memintanya menepi, "Tuan, sungguh telengas tanganmu, kalau boleh tahu, siapa gerangan tuan yang mulia?" tanyanya sopan pada si lelaki tua.

"Hee.. punya adat juga kau anak muda, namun tak nanti ku urungkan niatku untuk mempersunting puteri jelita itu! Kalian dengar! Dunia persilatan puluhan tahun yang lalu menjulukiku Tapak Halilintar! Kalian dengar!?"

Orang-orang yang hadir kontan diam, siapa yang tak kenal dengan tokoh satu ini, tokoh golongan hitam yang puluhan tahun lalu malang melintang tanpa lawan, salah satu dedengkot iblis yang tak mampu diukur ketinggian ilmunya, sangat sadis dan telengas, karena terkenal sering menghabisi lawan-lawannya tak kenal ampun.

Kilan terkejut setelah mengetahui lawannya, segera ia mengatur kuda-kdua terbaik untuk menghadapi lawan. Melihat Kilan sudah bersiap si Tapak Halilintar yang memiliki nama asli Ki Waru ganda tertawa, "Majulah!" teriaknya kemudian.

Kilan berkelebat, hanya bayangan pakaian birunya yang terlihat, jurus-jurus dan pukulan tertinggi langsung dilontarkannya, ia tak ingin musuh keburu menguasai kedudukannya.

Tapak Halilintar bukannya terkenal tanpa alasan, ratusan musuh besar sudah dihadapi, dari sekian ratus pertarungan tak satupun yang berhasil mengalahkannya, sekiranya puluhan tahun ia menepi dari dunia ramai karena ia bosan, tapi kini nafsu duniawinya kembali muncul, sekalinya keluar disaat itu pula ia dengar tentang sayembara, sebuah kesempatan untuk menguji ilmu sekalian melampiaskan hasrat kelelakiannya.

Tubuh Ki Waru bergerak, tangannya memainkan gerak jurus Halilintar yang dilambari Pukulan Halilintar, disekeliling tubuhnya memercik sengatan petir yang memerisai. Kilan kejut melihat ilmu yang diunjukkan Ki Waru, lantas ia pukulkan tangannya, itulah Pukulan Irisan Bayu, pukulan angin yang tak kelihatan tapi bisa mencabik-cabik tubuh musuh yang terkena pukulan.

Drrrt!

Tubuh Ki Waru bergetar, benturan perisai petir dan pukulan yang dilontarkan Kilan membuat suara yang menggiriskan. Tangan Ki Waru membuka, pukulan Kilan hancur berantakan, melihat musuh tak terpengaruh dengan pukulannya, Kilan memutar badan, melompat dan hantamkan kaki kebawah, itulah gerak Godam Dewa Melantakkan Bumi, batu sekeras apapun pasti hancur terkena hantaman kaki yang sudah dilambari dengan ajian itu. Tahu ganasnya pukulan Ki Waru melompat, hantaman kaki Kilan mengenai panggung, menimbulkan ledakkan yang luar biasa, satu lobang dengan asap mengepul tercipta setelahnya.

Keduanya kembali saling berhadap-hadapan, Ki Waru mengangkat tangannya, suasana yang semula panas jadi meredup, dari tangan Ki Waru keluar percikan-percikan petir, makin lama makin kuat, bibirnya tersenyum mengejek, "Aku sembah pantatmu kalau kau bisa menahan pukulanku ini anak muda," ucapnya.

Kilan terperangah, pukulan yang akan dilontarkan Ki Waru dirasa sangat dahsyat, pecikan petir yang menggumpal di kedua tangannya sangat kuat, bahkan dari tempatnya berdiri, ia merasa seperti tersengat kulit tubuhnya. Walau tak yakin mampu menahan, Kilan pantang mundurkan langkah, segera ia merapal pukulan, itulah pukulan paling diandalkannya Pukulan Badai Menggusur Gunung.

Ki Waru masih tersenyum memandang rendah pukulan lawan, kemudian dihentakkannya kedua tangannya kedepan, selarik snira putih menyilaukan menyeruak menggebubu melesat kearah Kilan. Di seberang Kilanpun menghentakkan tangannya, selarik angin yang dengan suara gusur menggusur menderu kearah pukulan musuh.

Bledarrr!

Suara keras memekikan telinga terdengar, diiringi jeritan Kilan, tubuhnya terlempar kebelakang bagaikan daun kering, pukulan andalannya tak mampu menahan Pukulan Halilintar Ki Waru yang telah matang.Tubuhnya terhempas ketanah dalam keadaan melepuh memerah. Sang Pendekar Kipas Penakluk Naga harus menyerahkan nyawanya pada Tapak Halilintar.

"Ha ha ha ha....!" Ki Waru tertawa lebar, puas ia melihat musuhnya terkapar hangus akiabt pukulannya. Kedua tangannya melintang diatas pinggang, "Ha ha ha ha... Ayo! Siapa yang berani maju! Jangan dikata aku tak adil, sekalipun sekarang aku pemenangnya boleh saja yang tak suka maju kedepan! tak segan-segan sekalian ku plintir kepalanya! Ha ha ha ha...!" tawa Ki Waru yang pongah terdengar susul menyusul.

Semua yang menyaksikan kehebatan Ki Waru mana berani mengadu ilmu, kecuali ingin mengantar nyawa, kecuali satu orang, ya.. orang itu si Prawira, semula ia ingin mengurungkan maksudnya setelah tahu yang memenangkan pertarungan pendekar dari golongan putih Si Kipas Penakluk Naga, tapi setelah muncul si orang tua jahat yang mengaku berjuluk Si Tapak Halilintar hatinya jadi panas, ia tak rela seorang lelaki  kejam seperti itu yang mempersunting Diah Katmila yang jelita, maka lantas saja ia melompat kedepan.

Semua mata memandang ke arah Perwira, sedari tadi diantara mereka memang banyak yang sudah tahu keberadaan Perwira sebagai pengunjung sayembara, tapi menduga bahwa pemuda dengan pakaian sederhana itu bakal berani maju ambil bagian dalam mimpipun mereka rasa tak bakal mengalaminya.

Prawira menjura dihadapan Ki Waru, "Orang tua, ijinkan aku menjajal ilmuku yang tak seberapa."

Ki Waru melengak dengan kehadiran Prawira, sama sekali tak diduganya masih ada yang berani menantangnya setelah dahsyatnya ilmu yang ditunjukkannya, tapi kembali ia tertawa dan berucap, "Orang muda bodoh! Kematianmu bakal sia-sia! Tapi kuacungi keberanianmu, ha ha ha ha...!" Ia lantas mendengus, "Sebutkan namamu sebelum nyawa lepas dari ragamu!?"

"Aku terlahir dengan nama Prawira."

"Baik! Bersiaplah menerima ajalmu Prawira!"

Segera mereka berhadap-hadapan, Ki Waru mencoba menyelidik, seorang muda sederhana berani menantangnya, apa pula yang diandalkannya, pasti walau terlihat sederhana anak muda dihadapannya ini membekal ilmu yang tak dibawah Si Kipas Penakluk Naga pikirnya. Tak mau berlama-lama segera ia lambari tubuhnya dengan ajian petir, percikan-percikan petir melingkari tubuh kurusnya.

Mereka bertarung dengan serunya, masing-masing pihak mencoba menjatuhkan lawan, kepala penonton yang memiliki ilmu tanggung terasa berkunang-kunang menyaksikan pertarungan yang sedemikian cepatnya.

Sampai berpuluh-puluh jurus rupanya mereka berdua berimbang, Ki Waru melompat menjauh ia kesal dengan kenyataan lawan yang dihadapinya betul-betul alot. Segera kembali ia mengangkat tangannya, disiapkan Pukulan Halilintar yang tadi telah merenggut nyawa Si Kipas Penakluk Naga, mulutnya kembali tersenyum mengejek.

Mengetahui kehebatan ilmu lawan, Prawira segera menyiapkan satu pukulan andalannya, pukulan yang selama ini bahkan tak pernah dikeluarkan saking ganasnya, pukulan yang baru beberapa waktu lalu didapatnya dari guru dalam perjalannya, Si Malaikat Tanpa Raga, yakni Pukulan Rantai Petaka.

Clang!

Suara seperti logam terdengar ketika dua tangannya dibenturkan, dan entah darimana datangnya, tiba-tiba muncul rantai dari kanan dan kiri Prawira, itulah rantai gaib, sekali Rantai Petaka dikeluarkan, tak nanti akan pergi sebelum nyawa musuh direnggut, tapi musuhnya ini bukan main-main telengasnya, karena itu mencabut nyawa biang kejahatan seperti Ki Waru bagi Prawira saat itu adalah keharusan.

Ki Waru mendelik melihat munculnya sepasang rantai gaib, baru ini dihadapinya pukulan aneh sedemikian, tangannya mengibas menahan rantai yang mulai melingkari tubuhnya, tapi apa ayal, rantai itu seperti memiliki kekuatan raksasa, tak terpengaruh dengan sengatan halilintarnya. dalam sekejap tubuhnya sudah terbelit. Tangan Ki Waru menegang menahan laju rantai, percikan petir terlontar dari sepasang tangannya.

Glarr!

Ledakan riuh terdengar, rantai gaib bersinar terbalur percikan petir, namun hebatnya sepasang rantai itu terus melaju, membelit tubuh kurus Ki Waru dengan kencang, mata Ki Waru melotot tak percaya dengan kenyataan yang dihadapinya.

Krek!

Terdengar suara tulang belulang remuk terlilit rantai, tubuh Ki Waru mengejang, dari kepalanya mengepul asap putih. Tak lama rantai yang membelit tubuhnya mengendur dan kemudian lenyap, kembali kealam gaib, sedang tubuh Ki Waru, ambruk ketanah dengan tulang belulang remuk, nyawanya tak tertolong.

Prawira menarik turun tangan yang semula di acungkan kedepan, dipandanginya mayat Ki Waru yang teronggok di depan, sayang sekali orang berkepandaian tinggi yang menyalah gunakan ilmunya.

Semua yang menyaksikan diam tak bersuara, seperti terhipnotis dengan hasil pertarungan diluar dugaan, pertarungan yang begitu hebat.

Plok! Plok Plok!

Terdengar suara tepukan menyadarkan semua, Tuan Wiloto kini telah berada diatas panggung, ialah yang bertepuk barusan. Melihat tuan Wiloto bertepuk tangan, seluruh yang hadirpun akhirnya bertepuk tangan dengan gemuruh.

Setelah beberapa lama tepukan berkumandang, Tuan Wiloto mengangkat tangannya, "Harap tenang tuan-tuan sekalian! Syukur pada hari ini, sayembara yang telah berlangsung walaupun terganggu dengan kehadiran seorang perusuh, tapi berhasil pula diatasi, dan tentu, saya selaku tuan rumah mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada tuan muda yang telah berhasil mengembalikan keadaan sehingga tercipta kedamaian.." Juragan Wiloto menghampiri Prawira yang masih terdiam, menyalami tangan dan memeluk tubuhnya, kemudian diangkat tinggi tangan anak muda itu.

"Dan kunyatakan, yang berhak memenangkan sayembara ini adalah Prawira!" lanjutnya.

Pernyataannya kembali di sambut dengan tepuk tangan yang meriah, seakan semua hadirin menyetujui, Prawiralah yang pantas mempersunting puteri Juragan Wiloto, sudah tampan, sakti, dan seorang pemuda yang rendah hati pula.

Prawira tak tahu harus bagaimana, ia cuma berkali-kali mengangguk dan tersenyum, sedang dalam dadanya berbunga-bunga, ada semacam kebahagiana ia rasa.

S e k i a n. 

Kumpulan Cerita Misteri, Cerita Silat, Cerita Horor, Cerita Remaja, Cerita Anak, Cerita Religi, Cerita Lucu, Cerita Sejarah, Cerita Petualangan, Cerita Detektif, Cerita Pendek, Cerita Serial, dll.

Post a Comment

Previous Post Next Post