Sepenggal Kisah Kang Asnawi


Selesai memijit ibu, Kang Asnawi duduk dikursi ruang tamu. Dinyalakan satu batang rokok kretek yang ia bawa.

"Diminum Kang airnya," kataku.

Ia mengangguk sambil tersenyum lebar, giginya tampak masih utuh, hanya terlihat agak kehitaman, mungkin pengaruh seringnya ia menghisap rokok.

Asap putih mengepul dari bibirnya. Di hulurkan tangannya meraih gelas berisi air teh dan meminumnya.

Beberapa saat ia memandangku. "Apa ibu ada masalah?" tanyanya tiba-tiba.

Aku heran dengan pertanyaannya. "Masalah apa kang, maksud saya kalopun ada masalah saya nggak tahu Kang."

Kembali ia mengangguk dan menghisap rokoknya. Tangannya menunjuk sekejap ke arah ibu yang masih berbaring di ruang tengah. "Waktu kupijit bagian kepala, ada yang berdesir," ujarnya.

"Maksudnya kang?"

"Penyakit yang biasa di derita ibu itu biasanya ada dua, yang karena kesehatan dan yang tidak," jelasnya.

"Tadi waktu kupijit kepalanya, ada yang berdesir, biasanya itu ciri disebab ada yang mengganggu," lanjutnya kemudian.

Mengganggu? Ah, aku makin tak mengerti.

Ibu memang sudah tiga bulan kena penyakit. Berdasar pemeriksaan kesehatan di diagnosis terkena stroke, separuh bagian tubuhnya lumpuh. Sudah beberapa kali rawat inap dan jalan, belum juga pulih kondisinya. Karena itulah kami sekeluarga mencoba jalur alternatif, dengan mengundang ahli pijat. Maka dari itulah kini Kang Asnawi berada di rumah kami.

"Saya tak paham hal-hal semacam itu Kang, sekiranya sakit ibu bukan karna kesehatan terus gimana Kang?" tanyaku akhirnya.

"Ya nanti telaten saya pijat, ada minyak juga yang perlu rutin di oleskan, nanti saya beri. Kalaupun ada yang sengaja mengganggu, itu nanti urusan saya. Saya yang akan bertempur," jawabnya panjang lebar. 

Agak lega aku mendengar penjelasannya. Kemudian kembali kami bercakap-cakap, tak lupa kuminta ia mencicipi kue-kue yang telah di siapkan isteriku di atas meja.

Berdasar penuturannya, ia berasal dari daerah Serang. "Serang itu asal kata dari Serangan, jangan ngaku orang Serang kalo masih gampang kena serang," ujarnya setengah berkelakar.

"Darimana Akang pandai memijat?" tanyaku di sela obrolan kami.

"Terbiasa, sering mijit-mijit sendiri kalo lagi sakit, lama-lama ya paham juga selanya."

"Tapi Akang tadi juga bisa tahu soal penyakit-penyakit yang non medis," ucapku.

"Iya, dari belajar, ada gurunya. Dulu juga saya mah pernah lumpuh, sakit yang nggak wajar," jelasnya.

"Pernah Kang? Bagaimana ceritanya?"

***

Kang Asnawi menuturkan.

Pada waktu berusia kurang lebih 25 tahun, ia merantau dari tanah kelahirannya. Mengadu nasib. Biar masih muda, rasa percaya dirinya tinggi. Apalagi sebelumnya sudahlah banyak bekal yang ia dapat dari orang yang ia sebut guru. Jadi tak ada rasa takut atau khawatir akan kejahilan orang lain.

Untuk mencukupi kebutuhan hidup, di daerah rantauan ia coba berjualan tahu. Tahu kopong katanya. Alhamdulillah, jualannya cukup laris. Bersikap ramah dan tak segan menolong sesama. Itu resepnya.

Di usia menginjak dua puluh tujuh, masih juga ia membujang. Belum ada yang sreg, itu menurutnya. Sampai satu saat tanpa di duga datang mengunjungi rumahnya seorang tokoh lingkungan yang berusia cukup jauh darinya. Bang Warsikun namanya.

"Laris jualanmu Asnawi?" tanya Bang Warsikun saat telah dipersilahkan duduk olehnya.

"Berkat doa Abang," itu yang ia jawab, sambil benaknya menerka, apa tujuan si tamu.

Bang Warsikun yang memiliki wajah tirus itu mengangguk, ujung telunjuknya mengetuk-ngetuk meja pelan.

"Berapa usiamu Asnawi?" 

"27 jalan 28 Bang," kembali ia menjawab. Waktu itu menurut Kang Asnawi ia bertambah heran dengan pertanyaan tamunya.

"Sudah lebih dari cukup itu." ucap Bang Warsikun.

"Maksudnya Bang?" kini ia yang bertanya.

"Menikah.." 

Lalu Bang Warsikun menyampaikan tujuan kedatangannya, bahwasannya ada satu kerabatnya, seorang gadis yang diam-diam menaruh hati pada dirinya, maka kedatangannya secara tidak langsung menginginkan ia dan si gadis untuk di satukan dalam ikatan perkawinan.

"Lamarlah ia, baik rupanya baik pula adatnya, juga termasuk dari keluarga baik-baik, tak rugi kau berpasangan dengannya, aku jamin kehidupanmu bisa lebih mapan," pungkas Bang Warsikun.

Tentu ia tak bisa langsung menjawab. Ia pikir bagaimana ini, seorang gadis meminta untuk di lamarkan, satu hal yang sulit dimengerti. Lagipula belum juga ia tahu tentang si gadis, bagaimana pula perangai aslinya. Itukan sama saja seperti memilih kucing dalam karung. Padahal selama ini ia selalu ingin mendapatkan pilihan hati atas usaha dan kemauannya sendiri, bukan karena permintaan orang.

Cukup lama ia termenung, akhirnya mulutnya 

menjawab, "Saya merasa tersanjung sekali Bang, atas apa yang Abang sampaikan, tapi sebelumnya saya minta maaf, hati saya menolak Bang."

Bang Warsikun melengak. "Maksudmu apa Asnawi, belum juga kau ketemu dengan calonnya sudah menolak, apa kau sudah ada gadis sebagi calon isterimu?"

"Tidak Bang, cuma saya sudah membulatkan tekad Bang, karena urusan jodoh ini bukan main-main, jadi saya tidak mungkin menerima saja apa yang orang sarankan," ucapnya menjelaskan apa yang ia maksud.

Bang Warsikun menggeleng-geleng, "Kau memalukanku Asnawi, kau tahu siapa aku, di daerah ini namaku banyak di hormati, seharusnya kau bersyukur aku datang dan menyampaikan satu perihal sebaik ini."

"Iya Bang, tapi saya tetap tidak bisa."

"Jadi apa maumu? Apa penolakanmu itu berarti tanda kau tak suka padaku?" ujar Bang Warsikun dengan nada meninggi.

"Mana saya berani Bang, tapi soalannya itu tadi Kang, menikah itukan kalo bisa untuk selamanya Bang, kalo belum kenal biasanya bisa berakhir kurang baik," jawabnya coba meredam emosi sang tamu.

"Hah! Jelas kau menghina aku, jangan kira kepandaianmu mengobati orang menciutkan aku Asnawi!"

"Saya tidak menghina Bang," ucapnya.

"Sekarang kau mau apa? Kalau cara halus kau tidak tunduk apa mau cara kasar!" semakin meninggi suara Bang Warsikun.

Melihat tamunya tak bisa di ajak kompromi, ia tentu tak mau tinggal diam, apalagi memanglah waktu itu usianya masih muda, masih mudah tersulut  emosi.

"Terserah Abang, saya tidak akan merubah pendirian saya, mau cara halus cara kasar saya ladeni," ucapnya kemudian.

Bang Warsikun bangkit dari duduknya, "Baik Asnawi! Tunggu saja lengahmu, jangan anggap kau saja yang punya ilmu!" Selepas mengucapkan ancaman, Bang Warsikun meninggalkan rumah tanpa pamit.

Semenjak itu ada-ada saja kejadian yang menimpanya, dari tahu bikinannya yang sering gagal, beberapa kali ia mengalami sakit, sampai asap putih yang tampak menggebu sering ia lihat tengah malam coba merangsek ke kamar tidurnya.

Jelas perbuatan orang jahil, itu yang ia rasakan. Untung ia selalu jaga dan waspada. Berbekal ilmu yang di ajarkan gurunya, dapat ia menghalau ancaman-ancaman tak kasat mata yang mengintainya.

Waktu berlalu, satu ketika ia mengenal gadis yang benar ia suka. Beruntung pula, karena si gadispun membalas perasaannya. Mengingat umur yang tak muda lagi, segera ia niatkan untuk melamar gadis.

Dijemputnya kedua orang tuanya untuk melamarkan. Tapi nahas, ia lengah, satu peristiwa terjadi pada saat hendak dilamarnya si gadis.

"Tepat di depan pintu hendak masuk ke rumah si gadis untuk melamar, kaki saya mendadak bergetar, tiada daya, dan langsung ambruk di tempat," itu yang Kang Asnawi rasakan.

Ternyata ia menderita lumpuh, benar-benar lumpuh tak mampu berjalan.

"Terus bagaimana Kang?" tanyaku yang penasaran karena ia agak lama diam tidak melanjutkan ceritanya.

"Ya lumpuh, nggak bisa ngapa-ngapain," jawabnya.

"Tapi bagaimana Kang Asnawi sekarang bisa jalan?"

Ia tersenyum, senyuman yang khas.

"Buat saya yang terjadi ya sudah biar terjadi, saya tahu sakit yang saya alami bukan sakit biasa, ada yang menjahili, dan sayapun tahu orangnya, tapi tak ada niat untuk membalasnya." sesaat ia terlihat tengah berpikir, kemudian melanjutkan. "Awalnya saya pijat-pijat sendiri, sayang belum sembuh total, kemana-mana saya jalan di bantu tongkat. Sampai satu saat, saya terpikir untuk mancing, ya mancing. Karena memang itu hobby waktu belum lumpuh. Maka pergi mancinglah saya. Dan joran pancing saya jadikan tongkat untuk berjalan," ia berhenti kembali sejenak. Di sruputnya air teh di depannya.

"Sampai tiba waktu itu di sawah, saya ada lihat seekor burung yang terbang rendah seperti melompat-lompat. Timbullah keinginan kuat untuk menangkapnya. Dan mulailah agak mempercepat langkah di bantu dengan joran hendak menangkap burung itu. Burung yang terlihat mudah di tangkap ternyata bolak balik terbang rendah menghindar. Akhirnya saya kejar-kejaran dengan si burung. Nah disitulah, entah kenapa tiba-tiba saja karena hasrat untuk menangkap burung, saya lupakan joran pancing, dan mampu berlari-lari." lanjutnya.

"Jadi Akang sembuh waktu itu?"

Kang Asnawi menggeleng. "Ada kawan yang melihat dan berucap; Wah si lumpuh sudah bisa berlari! Dan kau tahu apa yang terjadi? Saya jadi ingat kembali kalo saya lumpuh, dan saat saya ingat itu, tiba-tiba saja tubuh saya kembali menggelosoh tanpa daya.."

Aku terbengong. "Jadi, bagaimana Kang Asnawi bisa sembuh?"

"Semangat. Tekad yang kuat membuat orang sakit bisa sembuh, itu yang saya alami.."

Sekian.

Kumpulan Cerita Misteri, Cerita Silat, Cerita Horor, Cerita Remaja, Cerita Anak, Cerita Religi, Cerita Lucu, Cerita Sejarah, Cerita Petualangan, Cerita Detektif, Cerita Pendek, Cerita Serial, dll.

Post a Comment

Previous Post Next Post