Melebur Aji Brajamusti


Selesai sholat Isya', aku beranjak menuju pintu depan rumah, sesaat kupandang suasana di atas langit, malam belumlah larut, tapi langit di luar tampak begitu gelap, tak ada rembulan, bahkan satu bintangpun tak tampak. Setelah mengunci pintu, aku menuju ruang tamu, dan duduk di satu kursi. Ku ambil sebatang rokok, dan mulai kunyalakan. Sambil mulai menghisap rokok, lamunanku kembara pada peristiwa yang kualami.

Aku tinggal di desa yang terletak di kaki sebuah bukit, mata pencaharianku adalah dari bertani. Walau hidup sederhana, tapi semua itu kujalani dengan kebahagiaan batin, apalagi dapat kupersunting gadis dambaan hati, Sumarti namanya. Sudah lima tahun aku menikah dengan Sumarti, selama itu sudah tiga kali istriku mengandung. Tapi sungguh belum rezeki, karena tiap kali hamil, ternyata anak yang di kandung Sumarti harus keguguran sebelum waktunya melahirkan.

Yang lebih menyedihkan hatiku, kemudian yang terjadi adalah, seringkali dalam perhubungan dengan Sumarti, acapkali terjadi percekcokan diantara kami. Padahal pada awal pernikahan, tak ada permasalahan berarti terjadi, semua di jalani dengan saling pengertian. Dan puncaknya beberapa bulan yang lalu, aku harus merelakan Sumarti berpisah denganku. Sesungguhnya perasaan sayang masih mendalam pada Sumarti, tapi apa mau di kata, istrikulah yang berkeras hati inginkan perpisahan.

Dan kini aku sendiri, meratapi kesepian yang ku rasa.

Kembali ku hisap rokok di jariku, dan menghembuskan asapnya keatas, mencoba menghapus kegalauan yang melanda.

Entah apa salah dan dosaku, kenapa jalan hidup kini terasa berat, sedang kalau di pikir selama ini ia selalu menjaga perilaku dalam keseharian. Ah, makin pusing bila dipikirkan, kuraih gelas kopi pahit di meja samping, dan meneguk habis isinya.

Assalamu'alaikum....

Terdengar suara salam dari luar. Siapa yang bertamu malam-malam begini? Pikirku.

Waalaikumsalam....

Lantas aku bangkit dari dudukku seusai membalas salam, kakiku melangkah kepintu depan, dan membuka daun pintu.

Begitu membuka pintu dan melihat siapa yang ada di depan, aku kaget dan seakan tak percaya.

Seorang lelaki tua berjanggut panjang dan membekal tongkat ditangan kiri berdiri tampak gagah di depan pintu sambil tersenyum penuh wibawa.

"Kiai..!" Panggilku setengah terpekik senang.

Lelaki tua itu tersenyum, senyumannya begitu teduh kurasa.

"Prana, ini memang aku. Hemm... kau begitu gembira melihatku, tapi kulihat pancaran wajahmu begitu tak bercahaya, boleh aku masuk..?" Balas lelaki tua itu.

"Oh, tentu, maaf Kiai, silahkan.. mari masuk ke gubuk hamba..." sambutku mempersilahkan masuk.

Sungguh memang tak ku duga guruku akan hadir malam itu. Kiai Tubagus namanya, seorang lelaki tangguh dimana belasan tahun yang lalu aku pernah mondok di rumahnya selama beberapa tahun.

Setelah Ki Tubagus duduk di kursi terbaik yang kupilihkan, bergegas aku kebelakang. Teh tubruk dengan sedikit gula, itu kesukaannya.

Kuletakkan gelas teh itu dihadapannya, "Silahkan Kiai, maaf hanya ini yang mampu saya suguhkan, hari begini larut, besok pagi biarlah saya masak khusus buat Kiai..."

Ki Tubagus kembali tersenyum, kini bahkan sampai terlihat gigi-giginyanya yang putih terawat baik. "Kau selalu sungkan dan menyusahkan diri untukku Prana."

Aku hanya tertunduk mendengar ucapannya, tak berani kupandang mata hitamnya yang tajam, mata spesial yg seakan mampu menembus ruang batin yang terdalam.

"Kau tahu kenapa aku datang malam ini?" Ucap Ki Tubagus, setelah menyeruput teh hangat yang kusuguhkan.

Aku memandang wajahnya, "Tidak Kiai."

Ki Tubagus mengangkat tangannya menunjuk ke dadaku, "Batinmu, aku merasakan getar kesedihanmu beberapa waktu ini..."

Aku tak terkejut dengan kemampuan yang dimiliki orang tua di depanku, bertahun-tahun aku berguru padanya, sudah banyak hal di luar akal sehat ditunjukkannya.

Aku mengangguk, "Kiai memang Maha Tahu."

"Huss... Maha itu milik Allah Penguasa Semesta.. aku hanyalah debu di padang ilmu yang luas, seandainya aku punya kemampuan, itu hanyalah titipan, sesungguhnya segala kuasa hanyalah milik-Nya," lanjut Ki Tubagus mengingatkanku.

Diraihnya gelas, dan menyeruput isinya dengan nikmat. Ditaruhnya kembali gelas di meja, matanya kembali menyelidik kearahku.

"Ceritakan secara jelas, sebab kesedihanmu Prana, sebagai gurumu aku akan berikhtiar untuk membantu." Pintanya kemudian.

Aku menarik nafas dalam-dalam dan melepaskannya, sebenarnya tak enak hati kusampaikan apa yang menjadi bebanku, tapi akhirnya kuberanikan diri, dan lantas ku ceritakan dengan perlahan, sebab musabab kesedihanku, terkadang aku harus berhenti karena tak mampu menahan haru, mengingatkan gugurnya calon anak-anakku, mengingat kehilangan istri yang kucinta.

Setelah semua kutumpahkan, agak lega rasaku, sedang Ki Tubagus manggut-manggut sambil mengusap-usap jenggot panjangnya yang memutih.

"Kau ingat Prana, dulu ada satu ilmu yang kau pelajari, ilmu yang aku sendiri tak mempelajarinya?"

Aku terdiam coba mengingat. Memang dulu banyak amalan diberikan oleh Ki Tubagus, melihat kesungguhanku berkenan pula ia meminjamkan sebuah kitab kuno warisan leluhur. Banyak amalan ilmu-ilmu di dalamnya, dan waktu itu aku tertarik dengan sebuah ilmu di kitab itu, ilmu yang bila seseorang dapat sempurna memilikinya, maka ia akan menjadi manusia sakti pilih tanding karena ilmu itu memiliki daya pukul yang mematikan, yakni Aji Brajamusti.

Hasratku untuk mempelajarinya sebenarnya bukan untuk agul-agulan, tapi sekedar sebagai bekal seandainya harus mempertahankan diri, itu saja. Aku sampaikan keinginanku untuk mempelajarinya. Ki Tubagus terkejut dengan pilihanku, "Yakin kamu ingin mempelajari ilmu ini Prana?" Tanyanya waktu itu, dan kujawab dengan anggukan pasti. Kemudian Ki Tubagus menyampaikan, "Ilmu Brajamusti memang luarbiasa hebat, tapi ada efek sampingngnya, yaitu menebar hawa panas tak kasat mata, kalau kelak kau memiliki pendamping yang tak kuat mengimbangi, akan mengganggu rumah tanggamu, terus terang aku sendiri tak mendalami ilmu ini."

Waktu itu aku masih muda, jadi tetap kumantapkan niatku. Melihat tekadku, Ki Tubagus akhirnya mengijinkan.

Mengingat semua itu mulutku membuka, "Brajamusti Kiai?"

"Benar Prana, menurut pandanganku semua yang kau alami karena hawa panas yang tak kau sadari keluar dari ragamu, dan wanita yang kau peristri ternyata tak memiliki kelebihan secara batiniah, walhasil semua kesedihan menimpamu," jelas Ki Tubagus.

"Tapi Ki, dari aku mempelajari hingga sekarang, belum pernah sekalipun aku menggunakan ilmu itu?" Kataku coba berkilah.

"Memang, namun yang musti kau ingat, ilmu itu sudah menyatu dengan ragamu, maka kau gunakan atau tidak, hawa panasnya terus mengalir melalui pembuluh darahmu."

"Terus apa yg harus saya lakukan Kiai?" Tanyaku pasrah.

"Agar kedepan tidak terulang kesedihan yang sama, kau harus melepas ilmu itu Prana," tegas orang tua di depanku.

"Bagaimana caranya Ki? Saya sungguh-sungguh tak tahu cara memudar ilmu ini?"

"Untuk itulah aku disini Prana, aku akan membantumu. Sampai Aji Brajamusti lepas dari tubuhmu, aku akan tinggal di rumahmu."

Ki Tubagus memang bersungguh-sungguh dengan ucapannya, selama beberapa hari ia tinggal bersamaku, dan meruwat tubuhku untuk melebur Aji Brajamusti.

Dan setelah ia melihat tubuhku sudah bersih dari ilmu tersebut, iapun pamit.

Syukur tulus kupanjatkan kepada Allah SWT, dan terimakasih tak terhingga kepada Ki Tubagus, semenjak Ajian itu lepas dari ragaku, aku merasa gairah kembali dalam hidup. Berselang satu tahun kemudian kupinang seorang gadis cantik yang memesona hati, dan di tahun berikutnya, lahirlah anak pertamaku, seorang bayi laki-laki yang mungil dan sehat.

S e k i a n. 

Kumpulan Cerita Misteri, Cerita Silat, Cerita Horor, Cerita Remaja, Cerita Anak, Cerita Religi, Cerita Lucu, Cerita Sejarah, Cerita Petualangan, Cerita Detektif, Cerita Pendek, Cerita Serial, dll.

Post a Comment

Previous Post Next Post