Sarikat Pisau Terbang


Di pinggir sebuah hutan, terkapar satu sosok manusia. Menilik wajahnya masih cukup muda. Tubuh pemuda itu berlumur darah. Goresan senjata tajam memenuhi hampir sekujur tubuhnya. Matikah ia?

Entah kesaktian apa yang ia miliki, tapi selang beberapa lama tubuh itu tiba-tiba bergetar. Urat-uratnya berpendar hijau seakan fosfor. Ajaib! Darah yang memenuhi bagian-bagian tubuhnya makin lama mengering.

Ukh!

Satu erangan terdengar. Tubuh yang semula diam itu bergerak, bangun terduduk. Matanya melek terbuka, tajam bagai mata elang. Sebuah pedang dengan sisi bergerigi tertancap ditanah tak jauh di depan si pemuda. Ia bangkit, langkahnya terlihat lemah.

Srekk!

Tangannya mencabut pedang. Memandanginya sekilas. Setelah puas, pandang matanya beralih ke ufuk timur. Warna putih kelabu menandakan hari menjelang pagi. Disampirkan pedang itu di pinggangnya, kemudian kakinya melangkah meninggalkan tepi hutan.

Bangunan besar itu dikelilingi pagar tinggi. Dibagian atas pintu gerbang dua buah pisau saling bersilang menjadi pengenal tempat itu. Sarikat Pisau Terbang. Sebuah perkumpulan orang-orang sesat berilmu tinggi, di pimpin seorang berilmu sakti bernama Subarka berjuluk Si Pisau Langit.

Sejak di bentuk kurang lebih satu tahun yang lalu, nama Sarikat Pisau Terbang sangat cepat membumbung di dunia persilatan, bagaimana tidak, sepak terjang Pisau Langit dan anak buahnya telah menggegerkan rimba hijau. Menculik, membunuh, dan memeras itulah yang telah mereka lakukan, apalagi Pisau Langitpun sering menantang jago-jago ternama, dan semua yang dihadapinya berhasil di kalahkan dengan mudah.

Bruak!

Satu buah meja besar dari kayu luluh lantak, terkena pukulan seorang lelaki berperawakan tinggi besar, kumisnya yang tebal membuat tampangnya makin angker.

Beberapa lelaki yang ada di dalam salah satu ruangan bangunan besar tampak pucat melihat kemurkaan pimpinan mereka yang tak lain si Pisau Langit.

"Bodoh!"

Mata Pisau Langit memandangi satu persatu anak buahnya.

"Membawa pulang satu perempuan saja kalian tak becus!" semprotmya keras.

"Tapi tuan.. seperti kami sampaikan, ada seorang pemuda merintangi tuan." jawab salah satu anak buahnya dengan takut-takut.

Mata Pisau Langit melotot. "Kalian bilang pemuda itu sudah mampus! Lantas mana Andini!?"

Semua anak buahnya menunduk, tak ada yang berani menatap mata pimpinan mereka.

"Jawab!" teriak Subarka.

"Iya tuan, kami memang membunuhnya, pemuda itu sungguh lihai, terpaksa harus mengerubutnya, dan.. dan setelah kami berhasil membuat pemuda itu bersimbah darah, Nona Andini sudah tak ada di tempat tuan. Semalaman kami cari, namun kami gagal menemukan jejaknya." Jelas salah satu anak buah Subarka sembari menunduk.

Nafas Pisau Langit kembang kempis, ingin ia tendang mampus mulut yang baru bicara itu, tapi ia urungkan niatnya. Akhir-akhir ini banyak tokoh yang coba-coba mencari seteru dengan Sarikat Pisau Terbang. Ia masih butuh tenaga mereka.

Hhh.. Sial! Tak pernah Ia menyangka akan mendapat tentangan dari kubunya sendiri. Apalagi dari darah kandungnya, Andini. Bagaimana ia tak kelimpungan mengetahui anak kandungnya itu minggat. Sejahat-jahatnya Pisau Terbang tak nanti tega dengan putrinya, gadis yang beranjak dewasa, dari rahim satu-satunya wanita yang dicintainya. Sesaat pikiran Subarka mengembara, mengenang sosok ibu Andini yang telah wafat saat usia anaknya masih kecil.

Tangan Pisau Langit yang mengepal menggeletar. "Cari! Cari Andini sampai ketemu! Aku tak ingin melihat muka kalian sebelum membawa Andini dengan selamat!" perintahnya tegas.

Semua anak buahnya mengangguk-angguk, memberi hormat dan tergopoh-gopoh meninggalkan ruang.

Sungai kecil itu airnya begitu jernih. beberapa ikan tampak berenang kian kemari. Di bawah pohon dipinggir sungai duduk termenung seorang pemuda, berwajah tampan bertubuh tegap, tangannya sedang mengamati pedang bergerigi yang tergenggam ditangan. Ialah si pemuda yang fajar tadi terkapar bersimbah darah, Andara namanya. Sedang pedang ditangannya adalah Pedang Perenggut Nyawa warisan gurunya.

Pikiran pemuda itu kembali ke peristiwa semalam, betapa ia di keroyok belasan orang karena menyelamatkan seorang wanita. Siapa mereka? Dan kemana perginya si wanita? Ah, apes betul nasibnya semalam, tubuhnya habis tersayat oleh puluhan pisau. Benar-benar pisau edan pikirnya, baru kali itu Andara menghadapi pisau-pisau yang mampu terbang, bagai ribuan tawon yang mengerubut, mencabik-cabik kulitnya sesuka hati.

Untung ilmu warisan gurunya Serap Daya membuat ia pulih kembali, walau mengorbankan energi murninya.

Trak!

Kejut Andara lekas menoleh. Seorang gadis cantik berdiri tak jauh dibelakang pohon Andara berteduh. Gadis itu!? Gadis yang ia selamatkan semalam!

Andara bangkit dari duduknya. "Kau?"

Si gadis mengangguk. "Iya tuan, saya yang tuan tolong semalam."

"Oh, kusangka kita takkan berjumpa lagi nona, bagaimana nona sampai disini?"

Si gadis memandangi Andara, entah mengapa, melihat keperkasaan si pemuda, gadis yang adalah Andini putri Pisau Langit merasa kagum.

"Saya.. saya ikuti tuan sampai disini." jawab Andini. Gadis itu memang kabur saat si pemuda yang menolongnya dari sergapan anak buah ayahnya di keroyok. Namun setelah berlari cukup lama, ia memutuskan berbalik, saat ia sampai di tempat semula, Andini tak melihat anggota Sarikat Pisau Terbang, ia hanya melihat si pemuda yang tengah berdiri mencabut pedangnya, semenjak itu diam-diam ia mengikuti.

Andara terpana, tak di duganya si gadis selama ini ternyata mengikuti dia. Menghilangkan rasa canggung ia pun memperkenalkan diri dan menanyakan nama si gadis. Andini. Ah, nama yang indah, setelah gadis itu menyebutkan namanya.

"Hendak kemanakah nona?" tanya si pemuda.

"Entahlah" jawab si gadis.

"Eh? Kenapa begitu? Tidakkah nona memiliki keluarga?"

Si gadis terdiam tak menjawab. Tampaknya ada sesuatu rahasia yang tak ingin di katakan Andini, pikir si pemuda, maka iapun tak mau mendesak.

"Baiklah nona, akupun hanya berjalan dengan semau langkahku, tapi dunia luar cukup berbahaya bagi gadis sepertimu, apakah nona keberatan kalau sementara kita berjalan bersama?" ucap Andara kemudian.

Mata si gadis berbinar, sepertinya memang itulah yang diinginkannya, kepalanya lekas mengangguk.

Rombongan itu mengendarai kuda, puluhan jumlahnya, menyandang berbagai senjata. Di bagian paling depan, tiga orang penunggang yang tampaknya pemimpin rombongan melambatkan laju kuda. Yang pertama seorang lelaki bertubuh langsing, berusia kurang lebih empat puluh tahunan, memiliki kumis tipis dan pakaian berwarna keemasan, sepasang pedang berhulu kepala burung rajawali bertengger dipunggungnya. Pedang Rajawali Emas gelarnya. Orang kedua seorang wanita, yang memiliki paras cantik tapi terkesan angkuh, usianya tak beda jauh dengan orang pertama, berpakaian perpaduan hitam dan putih, sebilah pedang tipis tergantung di pinggangnya. Ia adalah isteri si Pedang Rajawali Emas, berjuluk Dewi Pedang Bayangan. Orang ketiga terlihat cukup tua, mungkin berusia sekitar enam puluh tahun, walau begitu ia tampak masih gagah, pakaiannya serba biru. Sebelah tangan memegang kendali, tangan yang lain erat menggenggam sebuah tongkat pendek berwarna perak dengan kedua ujung runcing, sikapnya sangat berwibawa, rambut panjangnya yang separuhmya telah memutih berkibar tertiup angin. Namanya Raju Kala, ialah pemimpin dan guru dari rombongan berkuda itu, bergelar si Tongkat Petaka.

Raju Kala merupakan dedengkot rimba hijau yang memimpin perkumpulan Racun Kala. Bertahun-tahun perkumpulan ini menjadi satu dari perkumpulan besar yang di segani. Selain memiliki anak buah dan cabang yang cukup banyak, tiga pemimpin besar mereka si Raju Kala dan dua murid utamanya memiliki kepandaian yang sangat tinggi, untuk itulah sampai saat ini tak ada yang berani main-main dengan mereka.

Bukan tanpa sebab Raju Kala melakukan perjalanan di sertai rombongan muridnya, tujuan meraka satu, yakni menyambangi markas Sarikat Pisau Terbang.

Sepak terjang Perserikatan baru itu sudah memanaskan Raju Kala, beberapa wilayah yang di kuasainya di ambil alih oleh anggota Pisau Terbang, bahkan belasan anak murid perkumpulan Racun Kala yang berbentrok kena dilukai parah.

"Berhenti!" perintah Raju Kala sambil mengangkat sebelah tangannya yang memegang tombak. Sontak semua pengendara kuda memegang erat kendali.

Pandang mata Raju Kala yang tajam memperhatikan kanan kiri di depannya.

"Jangan sembunyi! Tampakkan hidung kalian sebelum menyesal!" teriaknya.

Tak ada jawaban.

"Huh! Orang-orang pengecut rupanya!" pancingnya nyaring.

Set! set!

Ucapan Raju Kala di jawab dengan berkelebatnya beberapa pisau ke arahnya.

Tring! Tring!

Kibasan tangannya mementalkan pisau-pisau itu, bukan hanya tak mengenai sasaran, pisau-pisau penyerang gelap sampai berpatahan terkena tangkisan tombak pendeknya.

"Hahahaa..! Raju Kala! Kau datang cuma untuk mengantar nyawa!" satu suara membahana memecah keheningan.

Dahi Raju Kala berkerut, rupanya kehadiran mereka sudah siap di sambut lawan.

Tapi bukan Raju Kala kalau gentar gertakan lawan. Ia membalas dengan tawa mengekeh.

"Hehehee.. bagus-bagus, rupanya cecunguk-cecunguk Sarikat Pisau Rombengan, bisa apa kalian dengan tongkatku!"

Belum lagi satu helaan suara si Tongkat Petaka, dari balik rerimbunan pepohonan berkelebat puluhan pisau, kali ini bukan cuma menyasar Raju Kala, tapi juga ke arah semua rombongan.

Berdentringan beradunya logam terdengar. Di serang secara gelap begitu rupa, orang-orang Racun Kala tidak menjadi gugup, apalagi yang di bawa sang pimpinan merupakan jajaran murid yang berilmu cukup tinggi.

Tapi bukan tanpa alasan Sarikat Pisau Terbang membumbung namanya dalam waktu singkat, boleh saja pisau yang di lempar pertama tadi gagal menemui sasaran karena dipukul Raju Kala hingga patah. Beda nasib dengan pisau-pisau yang ditangkis oleh anak buahnya, tenaga mereka hanya mementalkan pisau, saat mereka fikir ancaman sudah lewat, ternyata pisau-pisau itu mampu berbalik, kembali menyerang dengan ganas.

Trang! Tring!

Berkali-kali benturan kembali terjadi, walau sudah ditangkis, pisau yang menyerang terus kembali terbang mengincar bagian-bagian tubuh lawan bagai bermata.

Akhh! Ukhh!

Terdengar beberapa kali suara mengaduh, pisau-pisau terbang mulai memakan korban. Melihat anak muridnya kena dilukai, Raju Kala murka, tubuhnya berkelebat, sapuan tongkatnya merontokkan pisau-pisau hingga tak mampu menyerang kembali. Begitu juga Rajawali Emas dan isterinya, bahu membahu mereka berkelebat kesana kemari membendung tangkisan pisau.

"Hahahaa.. baru serangan awal kalian sudah kalang kabut! Baiknya menggelindinglah kembali kesarangmu Raju Kala!" satu suara meledek terdengar.

Muka Raju Kala memerah. Menghadang di tengah jalan belasan tombak di depan mereka seorang lelaki berperawakan besar memiliki kumis lebat, tangannya bersidakep dengan menggenggam dua buah pisau. Sang Ketua Sarikat Pisau Terbang, Subarka. Dari balik pepohonan kanan kiri puluhan orang berlompatan, mereka mengambil posisi di belakang si Ketua.

Cuih! Raju Kala meludah saking kesalnya. "Ku kira kau akan selamanya bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan Subarka!" umpatnya.

Subarka tersenyum sinis. "Akan menjadi sebuah kehormatan melihatmu mengejang nyawa dari jarak dekat Raju Kala."

Ucapan terakhir Subarka membuat pemimpin Perkumpulan Racun Kala tak dapat lagi menahan geramnya. Sembari memberi aba-aba menyerang, tubuhnya berkelebat ke arah Subarka.

Teriakan gemuruh mengiringi serbuan kelompok Raju Kala, dalam sekejap mereka sudah terlibat pertempuran seru.

Semula pertarungan berjalan seimbang, tapi tak lama mulai terdengar jerit kesakitan dari anak murid Raju Kala, sebagian mereka tak mampu menahan kelincahan pisau-pisau terbang lawan, selain perkelahian jarak jauh, pisau-pisau itu ternyata bisa di gunakan untuk perkelahian jarak dekat, bahkan lebih berbahaya, karena dengan mudah anak buah Subarka mengendalikan senjata, menangkis, menyerang, meliuk menghindar dan kembali menyerang.

Disisi lain, pertarungan antara Subarka dengan Raju Kala berjalan sangat sengit. Tapi kepandaian Subarka memang luar biasa, tubuhnya yang besar sangat lincah bergerak. Dua tangannya yang memainkan pisau begitu cepat.

Brett! Pisau di tangan Subarka merobek pakaian yang dikenakan Raju Kala. "Keparat!" teriak lelaki itu sembari melompat mundur, untung cuma kainnya yang robek.

Konsentrasinya memang sangat terganggu, karena mendengar jerit kematian anak muridnya.

Di depan Subarka menyeringai, "Siap menyambut kematianmu Raju Kala?"

Sepasang suami isteri Pedang Rajawali Emas dan Pedang Bayangan yang melihat guru mereka kena dipecundangi lawan berbareng melompat mendekat meninggalkan kawan-kawan mereka. Kini mereka bertiga berdiri berdampingan siap menghadapi Subarka.

"Hahahaa.. majulah-majulah!" tantang Ketua Pisang Terbang lantang.

Hiaat! Si Pedang Rajawali Emas tanpa menunggu perintah maju menerjang. Tak lama mereka berempat sudah terlibat pertempuran seru.

Raju Kala dan dua murid utamanya saling bahu membahu mencecar Subarka, mereka tak peduli dengan teriakan dan erangan kesakitan anggota Racun Kala.

Memang pertarungan hampir dikatakan tinggal antara Subarka dan ketiga lawannya, sedang anak-anak Perkumpulan Racun Kala sudah bergelimpangam mandi darah, memang ada sebagian anggota Pisau Terbang meregang nyawa, tapi tak sebanding dengan jumlah korban dari pihak Raju Kala. Kelebihan anggota Racun Kala ialah racun yang ada pada senjata-senjata mereka, sekiranya lawan tergores, dapat di pastikan nyawa lawan takkan tertolong, sayang yang mereka hadapi Sarikat Pisau Terbang, orang-orang yang memiliki kemampuan melukai dan membunuh lawan tanpa tersentuh.

Kini sebagian besar anak buah Subarka hanya berkumpul menyaksikan dahsyatnya pertarungan empat orang tersebut, mereka tak berani terjun membantu bila tak diperintah oleh ketua mereka.

Tring! Tring! Cras! Cras! Akhh!

Pisau ditangan Subarka bagai ular, setelah mematuk, meliuk menerobos ruang kosong, dua anak murid Raju Kala memekik dan terhempas kebelakang, dada mereka tertembus dengan pisau terbang milik Subarka. Raju Kala tertegun melihat murid kesayangannya mati begitu cepat.

Hahahaa! Tawa Subarka kembali terdengar membahana, girang hatinya karena kemenangan sudah di depan mata.

Wajah Raju Kala tiba-tiba kaku membesi. Dua tangannya menyelusup ke bagian belakang pakaiannya, diangkatnya tangannya tinggi-tinggi.

"Mampus kalian!"

Dluar! Dhuar!

Dua ledakan terdengar hebat, asap kelabu memenuhi area pertarungan, mengurung Subarka dan anak buahnya. Asap Racun Kala!

Dalam tempo singkat anak buah Subarka bergelimpangan, tubuh mereka mereka menghitam dengan mulut berbusa. Itulah kehebatan Racun Kala, siapa yang terkena langsung meregang nyawa.

Sebenarnya tak pernah satukalipun Raju Kala menggunakan senjata racun peledak andalannya, kematian dua murid kesayangannya itulah yang membuatnya gelap mata. Tubuhnya sendiri yang kebal racun tetap berdiri tegap walau asap kelabu masih mengelilinginya. Ganti ia yang tertawa mengekeh melihat anak buah Subarka bergelimpangan tak ada yang selamat.

Subarka sendiri jatuh terduduk, mati-matian ia menahan hawa beracun, namun kuatnya racun tak mampu ia bendung, matanya melotot, dan kemudian dengan lunglai tubuhnya ambruk ketanah.

Ayah!

Satu teriakan histeris menggema. Teriakan seorang wanita.

Subarka menoleh. Seorang gadis tampak hendak berlari mendekat, tapi dicegah oleh seorang pemuda. Mereka adalah Andini dan Andara.

Mereka berdua yang memutuskan untuk melanjutkan perjalanan bersama terganggu dengan suara-suara pertarungan, begitu mereka mencari sumber suara. Tampak empat orang yang sedang seru bertarung, ditonton oleh belasan orang lainnya, mayat-mayatpun mereka lihat bergelimpangan di mana-mana.

Tak tahu permasalahannya, Andara memutuskan untuk menanti kelanjutan pertarungan, sedang Andini yang tahu kalau ayahnya di depan sana terlibat pertarungan, menyaksikan dengan perasaan was-was. Semula ia girang melihat ayahnya berhasil mengatasi dua lawannya, tapi spontan ia menjerit histeris ketika melihat ayahnya ambruk ketika terdampak asap kelabu akibat ledakkan senjata lawan. Bagaimanapun rasa sayang masih melekat pada diri Andini, yang ia tak suka dari ayahnya adalah perilakunya yang sewenang-wenang menggunakan ilmu kepandaiannya.

"Jangan Andini! Asap itu beracun!" cegah Andara.

"Ayah kakang, itu ayahku!" jerit Andini dengan air mata berlinang.

"Tunggulah disini," kata Andara saat di lihatnya lelaki yang meledakkan asap beracun hendak mendekat, dengan sigap pemuda itu menghadang.

"Siapa kalian!? Ada hubungan apa dengan si Pisau terbang?" sentak Raju Kala

"Kami bukan siapa-siapa tuan, kebetulan lewat." jawab si pemuda.

"Jangan bohong! Kau kira aku bodoh! Jelas-jelas ku dengar teriakan gadis itu memanggil  Ayah!"

Sia-sia menghindar dari cecaran, Andara membuka mulutnya, "Tuan, apapun hubungan gadis itu dengan lawan tuan sudahlah, lagipula tuan sudah memenangkan pertarungan."

"Hehee.. Kau pikir begitu ya!? Si Pisau Terbang sudah menghabisi dua murid kesayanganku! Sudah sepantasnya kuhabisi semua orang yang ada hubungan dengannya!" tegas Raju Kala.

Mengetahui pertarungan tak mungkin dihindarkan, Andara melolos pedangnya. "Kalau memang itu mau tuan, baiklah, mari kita tentukan siapa yang akan bertahan."

Raju Kala tersenyum, memandang sekilas pedang bergerigi ditangan si pemuda, "Bagus, kau benar-benar ksatria rupanya, mulailah."

Tak sungkan Andara memutar pedang, mengeluarkan suara berkeredapan, ia menghentak dan memulai serangan.

Pertarungan kembali terjadi, kali ini antara Andara dan Raju Kala. Tombak di tangan pemimpin Perkumpulan Racun Kala memang hebat, namun pedang ditangan lawan yang bernama Pedang Perenggut Nyawa juga tak kalah hebat, pertarungan ini berjalan sangat seru.

Setelah puluhan jurus, tekanan serangan Raju Kala meningkat, tongkat pendek ditangannya seakan berubah jadi banyak, Andara mati-matian coba bertahan.

Cras! Sebuah sabetan mengiris lengan si pemuda. Tak ada pekikan, pemuda itu seakan tak merasa sakit. Raju Kala tersenyum sinis, ia fikir dalam hitungan menit pemuda itu pasti terkapar, ujung tombaknya sangat beracun. Selang beberapa menit dahi Ketua Racun Kala mengerut, tak ada tanda-tanda si pemuda keracunan, bahkan luka di lengan si pemuda tampak mengering. Gila!? Apakah pemuda lawannya ini kebal racun? tak habis pikir Raju Kala.

Ia perhebat serangan, tikaman tombak bertubi-tubi, mengincar bagian-bagian tubuh si pemuda. Andara sendiri sebenarnya sudah cukup lelah, memang ia mampu menetralkan racun yang menyerang tubuhnya, tapi terpaksa ia harus mengorbankan sebagian energinya, sehingga geraknya tak lagi selincah semula.

Satu ruang terbuka dilihat Raju Kala, tombaknya menusuk cepat. Crass! Tusukan tombak menembus pinggang Andara. Tapi kaget bukan kepalang Raju Kala, karena begitu ia hendak tarik pulang tangannya keburu tercekal genggaman sipemuda.

Dhuagg!

Tendangan keras melanda lambungnya, ia mengeluh. Selagi menahan mulas terkena tendangan, suara berkeredep pedang bergerigi tepat di sampingnya.

Crass! Akhrh!

Pedang Andara menggorok leher lawan, tubuh Ketua Racun Kala terjerambab dengan nyawa tak tertolong.

Ukhh! Pandang mata Andara berkunang-kunang, ia terpaksa memancing lawan dengan mengorbankan tubuhnya untuk memenangkan pertarungan, kalau tidak tak nanti ia bakal menang menghadapi lawan selihai Raju Kala.

Bruk! Tak mampu menahan berat badannya, Andara ambruk ke tanah.

"Kakang!" Satu teriakan khawatir terdengar.

Andini yang menyaksikan pertarungan berlari menghampiri tubuh Andara yang tergeletak. Air matanya kembali tak mampu dibendung saat melihat luka di pinggang si pemuda. Betapa kejamnya dunia, bila harus menerima kenyataan kehilangan dua orang yang melekat di hati di hari yang sama.

Walau kabur, Andara masih mampu melihat Andini yang duduk bersimpuh di dekatnya dengan wajah sedih.

"Jangan khawatir Andini, aku berjanji takkan meninggalkanmu," hiburnya dengan tersenyum sembari meraih tangan Andini dan menggenggamnya. Ya, ia takkan mati semudah itu, sudah banyak luka yang pernah ia alami, yang harus dilakukannya hanyalah mengorbankan sebagian energi untuk memulihkan lukanya.

Sekian.

Kumpulan Cerita Misteri, Cerita Silat, Cerita Horor, Cerita Remaja, Cerita Anak, Cerita Religi, Cerita Lucu, Cerita Sejarah, Cerita Petualangan, Cerita Detektif, Cerita Pendek, Cerita Serial, dll.

Post a Comment

Previous Post Next Post