Maut Si Rambut Api


Postur lelaki itu padat berisi, bertelanjang dada, mengenakan celana panjang berwarna hitam, sebuah kalung terbuat dari batu giok hijau melingkar dilehernya. Di tangan kanannya tergenggam sebuah tombak pendek dengan ujung yang runcing. Mukanya tertutup topeng keperakan separuh wajah hingga ke hidung.

Ia menyusuri jalan dengan langkah gagah, bibirnya terkatup dengan pandang mata bengis bagai penjagal dari neraka.

Yang paling unik dari penampilannya adalah pada warna rambutnya. Merah seperti api yang berkobar.

Sebuah desa yang ramai dengan penduduk yang lalu lalang dengan kesibukan di siang hari, terpampang tak jauh dari langkah si lelaki berambut merah. Hidungnya mendengus, kakinya terus saja masuk ke dalam desa. Beberapa orang yang berpapasan dengannya kontan menyingkir melihat perbawa yang diunjukkan si pendatang.

Di sebuah rumah besar yang di kelilingi pagar kayu, belasan pemuda tengah berlatih silat di halaman depan yang cukup luas, pembimbingnya seorang lelaki berusia lanjut yang memiliki jenggot panjang. Tangan lelaki tua itu berkali-kali memberikan tanda dengan gerakan-gerakan kecil yang di ikuti gerakan-gerakan silat yang mantap oleh para pemuda.

Tengah tekun mereka berlatih tiba-tiba...

Duarr!

Gerbang terbuat dari kayu yang kokoh meledak hancur bagai tersambar petir, membuat kaget semua yang ada di dalam, mereka sontak menoleh.

Diantara kepulan asap, berdiri seorang lelaki, tangan kirinya memercik kilatan-kilatan sinar putih kebiruan, kiranya dengan pukulan tangan itulah gerbang di buat hancur berkeping.

Setelah asap memudar, makin jelas tampilan si pembuat onar. Bertelanjang dada, dengan menggenggam tombak pendek ditangan kanan, memiliki rambut berwarna merah menyala.

Dengan perlahan namun pasti, lelaki berambut merah melangkah masuk. Melihat gelagat tidak baik beberapa pemuda melompat maju menghadang.

"Berhenti ditempat! Apa maumu nisanak!" tegur salah seorang pemuda.

Si rambut merah mendengus, tanpa mengeluarkan satu kata tangan kanannya berkelebat.

Crass!

Tubuh pemuda yang mengeluarkan suara teguran ambruk dengan kepala terpisah dari badan. Kejut bukan kepalang para pemuda yang lain mengetahui rekannya mati tanpa sanggup menjerit. Mereka lantas hendak menyerbu maju.

"Tahan!" Satu suara mencegah, berasal dari mulut si orang tua yang semula melatih para pemuda.

"Tapi guru.." salah seorang pemuda mencoba membantah. Si orang tua mengangkat tangan. Ia mendekat kearah si rambut merah.

Sesaat di usapnya jenggot putih yang memanjang, matanya tajam mengawasi sang pendatang. "Telengas sekali.. Aku Prawira Dirja alias Si Pedang Kilat dari Timur selamanya tak merasa bermusuhan denganmu, katakan apa maumu?"

Kembali hanya dengusan yang keluar dari hidung si rambut merah. Ia meludah kesamping, tangannya yang memegang tombak menuding, "Membunuhmu!"

Ki Prawira sudah kenyang makan asam garam dunia hijau, menghadapi manusia semacam ini tak mungkin baginya membuat lunak, maka tangannya melambai, "Ambilkan senjata."

Bergegas seorang muridnya berlari kedalam, tak lama keluar, kali ini dengan membawa sebuah pedang bersarung, yang langsung diserahkan ke gurunya.

"Baik, kau boleh melakukannya bila sanggup." Ki Prawira mengeluarkan pedang dari sarungnya, satu pedang tipis, pedang yang telah mengangkat namanya tinggi di dunia persilatan, Pedang Kilat.

Si pendatang unjukkan senyum mengejek, ia angkat tombaknya di depan dada, dan dengan kecepatan sukar diikuti mata tubuhnya berkelebat menyerang.

Trang!

Dua senjata beradu, mengeluarkan percikan api. Tubuh Ki Prawira undur kebelakang, ia merasakan satu sengatan di telapak tangannya ketika berbenturan dengan senjata lawan. Si rambut merah hanya tergetar tubuhnya, menandakan tenaga dalamnya lebih kuat dari si orang tua.

Mengetahui kedahsyatan tenaga lawan, Ki Prawira enggan membenturkan pedangnya lagi, dengan kelincahan gerak dan kelenturan Pedang Kilat, ia bertarung mengincar bagian-bagian vital si musuh.

Tapi kali ini yang di hadapi si orang tua adalah pendekar sakti digjaya, yang bukan hanya berbekal ketinggian tenaga dalam, tapi pula di imbangi dengan kemampuan meringankan tubuh yang sempurna. Maka tak perlu lama, Ki Prawira lantas saja terdesak begitu hebat, yang bisa dilakukannya hanya melompat menghindar berkali-kali.

Lawannya merubah gaya bertarungnya, bukan cuma menyerang dengan bertubi-tubi, tapi juga melambari senjata berupa tombak pendek di tangannya dengan satu ajian yang mampu membuat senjata itu berpijar dan memercikkan kilat yang perbawanya panas menyengat.

Tak butuh waktu lama membuat si orang tua kehabisan langkah, sekalipun raganya telah dilambari dengan daya ketahanan tenaga dalam, tak urung ganasnya mestika di tangan lawan tetap menembus kulitnya yang telah renta, mengakibatkan hawa pedih menembus hingga tulang.

Crass!

Kejap berikutnya sebuah tusukan kilat mengenai dada Ki Prawira. Orang tua itu mengeluh dan undur ke belakang.

Melihat guru mereka terluka, belasan muridnya meluruk ke arah si rambut merah. Tapi entah dengan ilmu iblis darimana, belum sampai serangan murid-murid Si Pedang Kila sampai, pendatang yang bersenjatakan tombak pendek itu sekali berkelebat telah lenyap dari pandangan.

Rupanya bukan tanpa alasan si rambut merah meninggalkan lawan, ia kiranya tahu nasib Ki Prawira takkan tertolong begitu terkena tusukan tombaknya. Dan memang demikian yang terjadi, hawa panas dari senjata lawan bukan hanya menembus dadanya, tapi hawa panasnya juga langsung membakar bagian dalam tubuh si orang tua, maka begitu terhuyung kebelakang, kejap lain si orang tua ambruk ke tanah dan menghembuskan nafas terakhir.

***

Kematian Si Pedang Kilat dari Timur begitu menggegerkan dunia persilatan. Siapa tak kenal Ki Prawira pada dewasa ini, ia adalah satu dari empat pendekar yang di gelari Empat Perisai Langit. Bukan sembarang julukan, tapi karena Ki Prawira dengan tiga pendekar yang di sebut Empat Perisai Langit pada puluhan tahun yang lalu malang melintang di rimba hijau tanpa tanding, mereka berempat sangat di takuti oleh lawan, terutama para tokoh golongan hitam.

Tiga pendekar yang merupakan rekan Ki Prawira dan bagian dari Empat Perisai Langit langsung mengunjungi kediaman Ki Prawira begitu mendengar kabar duka. Mereka ialah Ki Subarja alias Si Tongkat Dewa, Ki Sukmana alias Si Cambuk Malaikat, dan yang terakhir Ki Permadi alias Si Rantai Cakra.

Kebetulan mereka sampai di rumah duka tak terpaut jauh, hingga diantara mereka masih sempat bertemu. Ki Sukmana yang terlebih dulu datang, menyambut dua rekannya yang datang belakangan.

"Kakang Subarja, Adi Permadi, sungguh satu takdir yang ditunggu bertemu dengan Andika berdua," sambut Ki Sukmana, ia kemudian merangkul bergantian dua sahabat yang layaknya saudara itu.

Tak berpanjang lebar, dua sahabatnya menilik kondisi jenasah Ki Prawira. Jelas trenyuh hati mereka, melihat kematian sahabat karib seperjuangan. Dengam khusyuk mereka bertiga mengikuti ritual hingga jenasah Ki Prawira di semayamlan.

Setelah berbasa basi sebentar dengan sanak saudara dan para murid Si Pedang Kilat, mereka bertiga mohon diri.

Tentu ketiganya berjauhan tempat tinggalnya, tapi memang tak nanti mereka akan kembali ke tempat masing-masing. Sekalipun mulut mereka tak ada satupun yang membicarakan sebab musabab kematian rekannya di rumah duka, bukan berarti mereka berpangku tangan dan membiarkan si pembunuh bebas begitu saja.

Oleh dari itu, selepas meninggalkan rumah duka, mereka berjalan beriringan. Sekalipun tampak berjalan biasa, ketinggian ilmu membuat dalam satu peminuman teh ketiganya sudah jauh meninggalkan kediaman Ki Prawira, dan telah sampai di satu pinggiran hutan.

Seperti sudah sepakat, mereka bertiga menghentikan langkahnya.

"Kurasa tempat ini cukup tenang bagi kita bercakap-cakap kakang berdua," ucap Ki Permadi. Dua rekannya mengangguk.

Kini ketiganya saling berdiri berhadapan dalam jarak cukup dekat. Ki Subarja yang memiliki jenggot agak panjang berwarna putih mengusap-usap jenggotnya, kemudian mulutnya bersuara, "Sungguh kasihan Ki Prawira, padahal dia paling muda diantara kita."

"Betul kakang, sampai kinipun aku masih tak percaya dengan kematiannya," ujar Ki Sukmana masgul.

"Sudah adakah titik terang siapa pembunuhnya Adi?" Tanya Ki Subarja.

Ki Sukmana menggeleng-geleng, "Benar-benar belum kutemui satu petunjuk, ciri-ciri yang di sampaikan anak murid Ki Prawira tidak kukenali, dan menilik luka yang di deritanyapun masih serupa misteri bagiku."

"Kau Adi Permadi? Mungkin ada perkiraan yang melintas di hatimu?" Tanya Ki Subarja pada Ki Permadi.

"Entahlah Kakang, saudara kita Ki Prawira sudah belasan tahun mengasingkan diri dari dunia ramai, bila ada yang bersakit hati padanya tentu merupakan cerita lama," jawab Ki Permadi ragu.

Kembali Ki Subarja mengelus jenggotnya, "Akupun memikir sedemikian, tingkat kepandaian Ki Prawira sudah sampai puncaknya, apalagi dengan berbekal Pedang Kilat, kukira hanya hitungan jari pendekar yang mampu menandinginya. Sekalipun diantara kita berempat ia yang paling rendah tingkat tenaga dalamnya, tapi setahuku Ki Prawira memiliki mestika Gelang Purana, satu benda yang mampu mengempos tiga kali lipat tenaga dalam yang dimiliki pemakainya."

"Kau benar kakang, dengan memakai gelang itu, Ki Prawira bagai Dewa, kita bertiga dengan mudah pasti mampu disapunya, tapi sungguh heran, tak kulihat gelang itu ada pada jasadnya." Ujar Ki Sukmana.

"Mungkinkah sudah di wariskan ke orang lain Kakang? Atau bisa jadi sudah diamankan oleh keluarganya pada saat hendak di makamkan tadi?" Ki Permadi menerawang jauh kedepan setelah mengucapakan kata-kata itu.

"Mungkin saja sudah diwariskan, kalau di amankan oleh keluarganya aku ragu, sedangkan Pedang Kilatpun kulihat turut serta di kuburkan."

"Kuharap benar dugaanmu Adi, karena aku tak mampu membayangkan kesaktian lawan bila ternyata setelah mengenakan gelang itupun Ki Prawira mudah dikalahkan," kata Ki Subarja.

Kedua rekannya mengangguk-angguk.

Selagi mereka berbincang, tiba-tiba terdengar suara siulan nyaring, dan tak selang lama, tersengar satu ketawa terbahak yang begitu keras.

Ha ha ha ha ha....

Seandainya bukan anggota Perisai Langit yang mendengar suara yang dilambari tenaga dalam tinggi itu, tentu akan langsung pingsan karena tak kuat dengan kerasnya tawa yang sanggup memecah gendang telinga.

Tapi tiga orang yang ada di situ adalah tiga pentolan rimba hijau yang sarat ilmu. Mendengar tawa membahak, ketiganya tetap kalem, dan bahkan Ki Subarja membuka mulut. "Orang asing di atas pohon, hentikan tawamu, dan turunlah bila kau ada kepentingan dengan kami."

Si pendatang kaget dengan tingginya ilmu Ki Subarja karena mengetahui keberadaan dirinya, tak mau di anggap pengecut, ia segera melompat turun.

Hup!

Kini di depan mereka berdiri sesosok lelaki, berbadan tegap, tak mengenakan baju, wajahnya mengenakan topeng, dan menggenggam sebuah tombak di tangan kanannya. Yang menarik adalah rambutnya berwarna merah menyala.

Dengan tatapan setajam elang, si lelaki berambut merah menyapukan pandangan kearah tiga orang tua yang ada di hadapannya, hidungnya mendengus.

Ki Sukmana tertegun sejenak, melihat tampilan si pendatang yang ciri-cirinya sama persis dengan apa yang didengarnya dari anak murid Ki Prawira, kontan mulutnya sesaat kemudian membentak. "Pembunuh jahanam! Kau rupanya biang keladi terbunuhnya sahabat kami! Benar-benar tak tahu tingginya Gunung Merapi!"

Dua kawannya yang belum mendengar ciri si pembunuh amat terkejut mendengar bentakan Ki Sukmana.

"Ha ha ha! Lelaki tua yang sudah bau tanah berani umbar ancaman, kalau nama kalian menggentarkanku, tak nanti ku unjukkan hidung di depan tikus-tikus macam kalian!" Balas si rambut merah tak kalah gertak.

Selagi empat orang berdiri berhadapan, tak jauh dari situ tampak seorang pemuda. Tampan dan gagah, di pundaknya tersampir sebuah pedang dengan hulu berukiran kepala burung garuda. Sejatinya pemuda ini hendak melintas arah dimana beberapa orang yang dilihatnya untuk sampai ke tempat yang di tuju, namun melihat gelagat ada semacam pertikaian ia memilih menunggu dalam jarak yang cukup jauh, karena tak mau mencampuri masalah yang ia belum tahu duduk persoalannya.

"Benarkah begitu kisanak, benarkah kau yang telah membunuh sahabat kami?" Desak Ki Subarja meminta penjelasan.

"Kalau iya kau mau apa!?" Balik tanya si lelaki bertopeng.

Gusar hati Ki Subarja, selamanya ia dipandang sebagai tokoh kenamaan yang pantas di segani, baik tokoh putih maupun hitam semuanya mengunjuk hormat bila bersua dengannya, dan hari ini, seorang lelaki tak dikenal berani berlantang suara di depannya. Apakah benar bernyawa rangkap? Kontan meledak suaranya, "Lancang!" Dan bergerak hendak menubruk lawan, tapi cepat di cegah Ki Sukmana, "Tunggu kakang, kita perlu tahu sebab ia melakukan tindakan keji itu."

Ki Subarja mengendurkan langkah.

"Baik Kisanak, kami bertiga adalah sahabat lelaki yang kau bunuh, melihat sikap yang kau unjukkan, dugaanku pasti kau memiliki niat yang sama kepada kami, tapi sebelum kau laksanakan niatmu, jelaskan sebab tindakan yang telah kau perbuat bila kau memang lelaki jantan," kata Ki Sukmana bertanya sekaligus memancing jawaban dari si rambut merah.

Kembali si rambut merah mendengus, tangan kirinya bergerak, ia renggut topeng diwajahnya. Wajah yang masih muda, tapi satu bekas luka yang melintang menggores wajahnya yang semestinya cukup tampan.

"Kalian lihat! Ulah siapakah ini!?"

Ketiga lelaki tua itu sama mengerenyit.

"Lima belas tahun yang lalu, yah, lima belas tahun yang lalu, kalian empat pendekar yang sok suci begitu pengecut! Mengeroyok dua orang suami isteri dan bahkan membunuh mereka tanpa ampun! Ingatkah kalian!? Dan bahkan menyobek wajah anak lelakinya yang masih kecil berumur tujuh tahun!? Ingatkah kalian!?" Lelaki berambut merah menjelaskan dengan nada tinggi, tangan kirinya mengepal kencang hingga bertonjolan urat-urat memenuhi lengannya.

Ketiga lelaki di depannya melengak, mereka saling berpandangan, apa yang di ucapkan si lelaki rambut merah langsung mengembarakan ingatan di masa lampau. Bagaimana tak ingat, ada satu pertarungan sengit hidup dan mati terjadi antara mereka dengan sang musuh dua belas tahun yang lalu.

Yang di hadapi mereka pada waktu itu dua tokoh hitam yang meresahkan dunia persilatan, Sepasang Tangan Beracun, dua pasangan suami isteri yang melanglang menebar teror dengan nafsu membunuhnya, yang mengakibatkan puluhan nyawa melayang, dan pula banyak tokoh sakti yang jadi korbannya.

Mereka dengan menggabungkan kekuatan memanglah berhasil menumpas pasangan hitam itu, tapi ada satu peristiwa yang sedikit mencoreng nama besar mereka, yakni tanpa sengaja Ki Prawira melukai anak lelaki pasangan iblis yang kala itu dalam gendongan ibunya. Kejut Ki Prawira pada waktu itu, ia masih sempat mengurangi laju dari tenaga pedangnya, namun tal urung ujungnya tetap menggores wajah si bocah.

Mungkin bisa dibilang menguntungkan bagi mereka, karena akibat terlukanya si anak, gaya bertempur musuh menjadi kocar kacir, sehingga akhirnya mereka berhasil memenangkan pertarungan.

Dulu mereka sangka si anak tewas akibat goresan si Pedang Kilat, siapa sangka, kini si anak telah tumbuh dewasa dan bersiap menuntut balas.

Ki Sukmana memandangi pemuda di depannya, "Ah, rupanya engkau putra Pasangan Tangan Beracun, ketahuilah, yang terjadi atas engkau itu bukanlah kesengajaan, dan apa yang terjadi atas ayah dan bundamu itu dikarenakan jalan salah yang mereka tempuh. Janganlah kau perturutkan dendam anak muda."

"Ha ha ha... Sudah pantas kubilang tadi kalian memang manusia-manusia sok suci, berdalih membasmi angkara murka, tapi nyata tangan kalian keji menebar maut pembunuhan. Cukup kita berbasa basi, dan bersiap-siaplah untuk mampus!"

Tiga orang lelaki tua kembali saling menoleh. "Tahan anak muda, pikirkan baik-baik tindakanmu, dengan kesaktian yang kau miliki, akan sangat bermanfaat kau pergunakan di jalan kebenaran," ucap Ki Subarja bijak.

Cuhh! Si pemuda meludah, kemudian dia membuat gerakkan menyilang di dadanya, dan tanpa berkata, tubuhnya melesat menerjang tiga orang di depannya.

Pertarunganpun terjadi. Pada mulanya Ki Sukmana yang meladeni si pemuda, tapi melihat dalam waktu cepat dapat di desak si pemuda, mau tak mau dua kawannya ikut maju.

Bukan main kesaktian si pemuda, tenaganya begitu kuat, ditambah senjata tombak pendek yang mampu memercikkan kilat petir, membuat serangannya ganda berbahaya. Saking kuatnya energi yang berasal dari gempuran tombaknya, Perisai Gaib Kumala yang di miliki Ki Sukmana rontok seketik terkena hantaman tombak pendek. Lelaki tua itu memekik sambil lontarkan badan undur kebelakang.

Beruntung dari samping menderu angin menghalangi laju serangan si pemuda. Itulah hantaman bak badai dari Tongkat Dewa milik Ki Subarja. Rupanya lelaki itu sudah merasa tak ungkulan menghadapi lawan hanya bertangan kosong.

Di sisi lain, Ki Permadipun tak mau kalah, ia telah melolos Rantai Cakra miliknya, senjata ini bergulung seakan seekor naga yang hendak melibas lawan.

Tapi sungguh hebat si pemuda, sekalipun dua lawannya telah mengeluarkan senjata, tak terlihat ia jerih ataupun merasa kerepotan, bahkan serangannya semakin menguat, tombak ditanganya mencecar diantara kepungan dua senjata lawan.

Melihat dua kawannya tetap tak mampu mendesak walau telah mengeluarkan senjata andalan, Ki Sukmana ikutan melolos senjatanya yang berupa cambuk, yakni Cambuk Malaikat.

Ctar!

Lecutan cambuk menandai hadirnya ancaman baru bagi si pemuda berambut merah. Hebatnya si pemuda malah ganda tertawa, seakan ingin menunjukkan ketiga senjata lawan tak lebih mainan baginya.

Pertarungan makin sengit. Tiga anggota Perisai Langit makin penasaran dengan keuletan lawan, berkali kali di sela serangan senjata, mereka selingi pula dengan lontaran pukulan-pukulan sakti, walhasil lawan menjadi cukup kerepotan. Selagi mereka mengangankan kemenangan, tiba-tiba si pemuda mengibaskan rambut panjangnya yang berwarna merah.

Ahh! Ki Subarja menjerit, rambut yang menyambar kearahnya begitu panas bagai api dari neraka, dengan cepat ia tangkis dengan tongkatnya, hampir-hampir ia lempar senjata andalan ditangan karena dijalari hawa panas, seandainya tidak di tolong oleh dua rekannya yang langsung merangsek si pemuda.

Dengan di bantu rambut apinya, kini posisi si pemuda di atas angin, tiga lawannya keripuhan menghadapi perbawa hawa tersmat panas dari rambut dan sengatan panas dari tombak. Perlahan namun pasti, ketiga tokoh mulai kehilangan kendali atas permainan silat mereka, karena hanya meloncat kesana kemari menghindar, tanpa sanggup membalas.

"Ha ha ha.. sudah kubilang kalian hanya tikus tikus tua bagiku, bersiap-siaplah, sebentar lagi nyawa kalian akan menyusul Si Prawira alias Pedang Kilat keneraka.. ha ha ha!"

Ucapan terakhir si rambut api mengagetkan si pemuda yang sedari tadi menonton pertempuran. Bila mulanya tak ada niat untik mencampuri urusan, mendengar nama Prawira alias Pedang Kilat di sebut, bergolak perasaannya. "Apa yang di ucapkan si pemuda berambut merah tadi? Menyusul Prawiran alias Pedang Kilat keneraka?" Batin si pemuda. Terlihat kecemasan meliputi wajah si pemuda. Menuruti rasa ingin tahunya, ia akhirnya melompat kearah pertempuran.

Trang!

Bunga api memercik akibat benturan dua senjata yang dilambari tenaga dalam tinggi.

Si rambut api kaget, ia mundur kebelakang. Di antara ia dan tiga musuhnya tampak berdiri seorang pemuda tampan yang menggenggam pedang dengan gagahnya.

Si Rambut Api melotot gusar, mulutnya membuka menyemprot hebat, "Jahanam, ingin lekas mampus kau rupanya!"

Pemuda di depannya memberi hormat, kejap lain mulutnya menjawab, "Maaf telah mengganggu pertempuranmu nisanak, tapi ucapan tuan yang menyebut nama Prawira si Pedang Kilat sungguh membuat rasa penasaran tak tertahan."

"Apa pedulimu dengan Si Pedang Kilat!? " Kembali si Rambut Api membentak.

Sesaat si pemuda diam, tapi lantas ia menjawab, "Aku putranya... "

Sontak jawaban si pemuda bukan hanya membuat kaget si Rambut Api, tiga tokoh lain yang ada di situpun ternganga.

Ki Rukmana melompat ke samping si pemuda, " Ananda, benarkah yang barusan kau ucapkan? "

"Benar paman..."

"Ohh. kami tidak tahu kalau saudara kami memiliki putra.. " ucap Ki Rukmana.

Ki Subarja dan Ki Permadi mendekat, ada rasa bahagia dan haru di hati mereka. Bahagia karena bertemu dengan putra dari sahabat seperjuangan, dan haru mengingat orang tua si pemuda yang telah tiada.

"Siapa namamu Ananda?" Tanya Ki Subarja lembut.

"Seta Kumala paman," jawab si pemuda.

Disisi lain si Rambut Api makin murka merasa di acuhkan, "Hoi pemuda ingusan, rupanya kau anak si Prawira, bagus, pasti kau ingin lekas menyusul ayahmu ke neraka hahahaa! "

Ucapan yang di lontarkan si pemuda berambut merah kontan mengagetkan Seta Kumala. Semula ia sudah merasa gusar dengan ucapan si pemuda di tengah pertempuran tadi, kini kembali si rambut merah mengucapkan hal yang sama tentang ayahnya.

"Apa yang kau lakukan dengan ayahku nisanak!?" tegas Kumala.

Si Rambut Api menyeringai, kemudian menjawab dengan setengah mendesis, "Aku telah bunuh ayahmu.. heheee"

Sontak ucapan itu membuat muka Kumala memerah, "Bersungguhkah kau dengan ucapanmu!?"

"Hehehee.. kalau kau kurang yakin, bertanyalah pada tiga cecunguk dibelakangmu."

Seta Kumala setengah meragu menoleh pada tiga lelaki tua yang ada dibelakangnya. Tiga anggota Perisai Langit yang tersisa menunduk pilu melihat tatapan Kumala ke arah mereka.

Tundukkan itu seakan sebuah jawaban bagi Kumala, lantas saja ia berbalik, tanpa ragu di loloskannya pedang yang tersampir di punggungnya, Pedang Garuda Angkasa.

Si Rambut Api ganda tertawa, "hahaa.. sudah siap bertempur kau rupanya.. mari mari... kalian berempat sekaligus maju, biar cepat selesai urusan!"

Ki Subarja bergerak mendekat, "Tahan raden, biar kami yang tua-tua ini yang menyelesaikan urusan, musuh di hadapanmu punya kesaktian yang luar biasa." ucapnya karena khawatir dengan keselamatan putra sahabatnya.

"Mundurlah paman, tak layak aku hidup di muka bumi bila tak sanggup membalaskan kematian ayah." Tegar ucapan Kumala, walau di dalam hati kesedihan hebat melanda. Bagaimana tidak, tujuannya hari itu pulang setelah menyelesaikan pelajaran silat dari gurunya yang bergelar Si Manusia Dewa selama delapan tahun, siapa nyana begitu ia kembali, ayahnya telah tiada, dan yang paling menggiris ialah, karena ajal sang ayah di sebab terbunuh oleh orang. Ayah yang sangat dikasihinya, satu-satunya orang tua yang dimilikinya setelah ibunya sendiri meninggal beberapa tahun setelah ia di lahirkan karena menderita sakit.

Lamunan Kumala terputus, musuh di hadapannya tanpa peringatan melesat menyerangnya dengan hebat. Tombak pendek si Rambut Api seolah berubah menjadi ratusan mengincar seluruh bagian vital tubuh Kumala, benar-benar jurus yang kejam tiada ampun.

Kumala gerakkan pedang ditangannya, menyapu setiap serangan, selanjutnya dua pemuda itu sudah terlibat pertarungan yang sengit.

Semula tiga Perisai Langit mencemaskan keselamatan Kumala, tapi begitu melihat kelihaian si pemuda meladeni serangan lawan,  mereka dapat bernafas lega, karena menyadari, tingkat kepandaian putra si Pedang Kilat sudah melampaui kepandaian mereka. Apalagi saat mereka lihat di tangan kiri si pemuda ada sebuah gelang, Mestika Gelang Purana.

Arena pertempuran makin seru, si Rambut Api di buat jengkel dengan kelincahan gerak Kumala, sudah beragam jurus ia lontarkan, lawan di hadapannya tetap tenang mengatasi semua serangan. Bahkan perbawa rambut apinya seakan luntur tiap kali terkena sapuan pedang berhulu kepala garuda lawan.

Heaa!

Suara menggeledek keluar dari mulut si Rambut Api, tiba-tiba tubuhnya melompat ke atas, cahaya putih dengan percikkan petir membungkus tombak pendeknya, tangannya kemudian membuat gerakkan melempar selagi di udara, hawa panas dengan larikan sinar putih berbentuk tombak melabrak Kumala. Itulah Pukulan Tombak Halilintar andalan si Rambut Api.

Seta Kumala, berteriak kaget, pedang ditangannya berputar di lambari tenaga dalam penuh.

Dhuarr!!

Ledakan dahsyat terdengar, tubuh Kumala terpental kebelakang dengan hebat, Pedang Garuda ditangannya terbanting jatuh mengepulkan asap putih.

Si Rambut Api sendiri terdorong kebelakang, tapi ia masih sanggup menjejak bumi dengan keadaan berdiri. Setetes darah keluar dari mulutnya, bibirnya tersenyum tipis melihat lawan jatuh tak kuasa menahan pukulannya. Sesaat kemudian tubuhnya berkelebat kedepan.

Tiga Perisai Langit bergerak memburu saat dilihat Si Rambut Api kembali melesat seakan tak membuang kesempatan menghabisi lawan.

Tapi kecepatan Si Rambut Api seperti kilat, sekejap ia telah sampai di depan Kumala sembari menghujamkan tombaknya.

Tapi seringai di wajah Rambut Api pupus, ia lihat Kumala entah kapan telah berdiri, walau dengan baju yang tampak kotor berdebu, si pemuda dorongkan tangan kirinya, pendar cahaya biru membulat keluar dari genggamannya, itulah keramat Gelang Mestika Purana, dengan petunjuk gurunya, gelang sakti itu bukan hanya mampu menambah tenaganya menjadi berlipat, tapi juga bisa mengeluarkan energi dahsyat mematikan.

Glegarr!

Benturan dahsyat kembali terjadi.

Aakhh!! Brughh!

Dengan satu pekikan, tubuh tegap Si Rambut Api terhempas kebelakang dan menghantam tanah, tombak pendek ditangannya patah tak kuasa menahan tenaga raksasa yang keluar dari Gelang Purana.

Darah segar melontak dari mulutnya, tekad kuat memaksa Si Rambut Api hendak bangkit, tapi sesaat matanya melotot, dan tubuhnya kembali terbanting ke tanah, tak mampu bangkit lagi.

Seta Kumala yang memenangkan pertempuran menggelosoh ketanah, keringat membasahi seluruh tubuhnya, harus di akui lawan yang di hadapi barusan benar-benar sakti luar biasa.

Tiga Perisai Langit terperangah melihat kesudahan perkelahian. Ki Subarja mengelus-elus jenggotnya berkali-kali, tapi senyuman sama tersungging dari bibir mereka, satu bahaya besar telah teratasi.

Sekian.

Kumpulan Cerita Misteri, Cerita Silat, Cerita Horor, Cerita Remaja, Cerita Anak, Cerita Religi, Cerita Lucu, Cerita Sejarah, Cerita Petualangan, Cerita Detektif, Cerita Pendek, Cerita Serial, dll.

Post a Comment

Previous Post Next Post