RIMBA BARA - Keluarga Pengembara


Sudah lewat tengah malam saat Baskara pamit. Dalam perjalanan kembali ke pondok benaknya masih diselimuti berbagai pertanyaan tentang berbagai hal yang barusan dikisahkan oleh Ki Raganata.

Tiba-tiba lamunannya terusik. Telinganya yang tajam mendengar gerakan halus dari rerimbunan pepohonan di sebelah kanannya.

Di depan, pondok tak jauh lagi, tinggal kurang lebih dua ratus tombak. Ia hentikan langkah, nalurinya yang tajam mencium adanya bahaya. Tanpa sadar tangannya menggenggam hulu pedang yang tersampir di pinggang.

Ia amati rimbunnya pepohonan yang terbalut kegelapan. Tak di dengarnya lagi suara yang mengusiknya, tapi ia yakin ada sesuatu yang mengintai di balik pepohonan itu. Apakah? Atau jangan-jangan....

Baskara menarik napas dalam, di emposnya keberanian diri. Perlahan ia alihkan langkah, kini yang ditujunya batang-batang pohon di bahagian kanannya itu. Nekad. Mungkin. Tapi ia bukanlah sembarang pemuda tanpa bekal. Bolehlah si orang tua menggambarkan tentang kengerian makhluk-makhluk mistik, namun bukan berarti nyali kependekarannya hilang begitu saja.

Belum lagi sampai pada pohon pertama, matanya yang awas melihat kilatan mencorong dari kegelapan. Baskara bersiaga dengan kuda-kuda tempurnya. Benar saja, satu sosok hitam menerjang diiringi raungan, seakan hendak menghantarkan sukma Baskara ke alam kematian dalam satu kali terjangan.

Upss! Baskara berguling kesamping, tak berani ia melakukan gerak serangan, selagi musuh belum jelas benar seperti apa rupanya.

Tapi rupanya sang lawan seakan hanya memiliki satu tujuan, yakni menjemput nyawanya. Karena begitu gagal pada serangan pertama, ia dengan cepat berbalik dan menerkam Baskara, disertai raungan yang makin menggila.

Harimau! Teriak si pemuda dalam hati.  Walau sang musuh tak jelas rupanya dalam gelap, dua kali di serang, dan dua kali ia dengar suara raungan, cukuplah sudah untuk mengenali siapa lawannya.

Bergegas kembali si pemuda menghindar. Kini ia tak segan lagi untuk balas menyerang, hewan semacam itu bila tak diberi sebuah pukulan yang menyakitkan, tak nanti akan mundur dari lagi. Maka dengan gerak Naga Menyusur Langit, sebuah kepalan bertenaga geledek di hantamkan kebagian bawah tubuh sang raja hutan.

Bughhk!! Auum..!!

Pukulan Baskara tepat sasaran, hewan buas yang menjadi musuhnya meraung dan terlontar jatuh. Hebatnya si penguasa hutan itu mampu bangkit. Tak ayal si pemuda kembali menyiapkan pukulan yang lebih dahsyat.

Tapi rupanya keperkasaan sang lawan tak genap lagi, karena begitu berdiri dari jatuhnya, bukan menyerang yang di lakukannya, melainkan dengan raungan lirih melesat lari meninggalkan arena.

Baskara bengong sejenak ditempatnya. Eh, sudah berakhirkah? Ia pandangi arah harimau melesat pergi. Baru kali ini ditemmuinya hewan buas selama di hutan ini, yang jelas kejadian barusan merupakan satu pertanda ia harus meningkatkan kewaspadaan.

***

Malam berganti pagi, dan pagi bergerak menuju siang, dari arah utara tampak dua kereta kuda di pacu dengan perlahan. Masing-masing kereta di tarik oleh empat ekor kuda. Sais kereta pertama seorang lelaki paruh baya, tubuhnya tampak besar dan kekar, mengenakan pakaian berbahan kulit tebal, memelihara kumis dan cambang yang tebal pula. Sebuah kalung manik-manik menghias lehernya. Disampingnya duduk seorang perempuan, dengan rambut hitam di sanggul. Wajahnya menyiratkan umur yang tak muda lagi, tapi kecantikannya masih mampu menggoda hati para pemuda.

Kereta kedua lebih menarik lagi, saisnya seorang dara yang cantik jelita, rambutnya yang panjang berwana hitam dibiarkan terurai. Ia memakai pakaian ringkas berwarna ungu, sebilah pedang bertengger di punggungnya. Satu ciri khas yang utama, yakni sebuah gelang batu berwarna hijau yang menghias lengannya. Sedang disampingnya, duduk pula seorang gadis lain, yang kecantikannya tak kalah dengan gadis pertama, berpakaian hijau, tak ada pedang di punggungnya, tapi di tangan kirinya tampak sebuah cambuk yang di gulung tergenggam erat, seakan benda itu merupakan nyawa keduanya. Dan yang memesona ialah, rambutnya yang berwarna pirang.

Rombongan dua kereta itu bergerak kearah timur, menyibak rerumputan yang menghijau. Begitu sampai di batas padang rumput dan lebatnya pepohonan, sais kuda pertama menarik tali kekang, kereta kuda perlahan berhenti.

"Hela!" teriak lelaki bercambang. Begitu keretanya berhenti sempurna, ia melompat turun, berjalan memutar dan membantu pendampingnya turun dari kereta.

Kereta kedua berhenti dibelakangnya. Dua gadis penumpangnya turun dengan sekali loncatan. Tak berapa mereka tampak sibuk. Kuda-kuda di lepaskan dari kereta dan digiring ke daerah lapang berumput. Mengatur posisi kereta. Mengeluarkan perkakas, kursi-kursi pendek terbuat dari kayu, mengumpulkan batang-batang kering. batu-batu dan menatanya menjadi tungku. Sepertinya rombongan itu sudah terbiasa menginap di alam terbuka.

Menjelang sore satu gadis yang berambut pirang memancangkan sebuah obor dan menyalakannya, kesibukan mereka berlanjut dengan menyiapkan kuali dan mulai menyalakan tungku, sepertinya hendak menyiapakan makan malam.

Dari jauh Baskara dapat melihat kedatangan rombongan berkuda, apalagi pondoknya berada di dataran yang lebih tinggi. Siapa rombongan berkuda itu? Tapi rasa penasarannya terpaksa musti di tahan, seharian ia lagi sibuk membantu Laras dan Tanjung. Sudah diceritakannya keberadaan si orang tua, mereka girang mendengarnya, karena ternyata mereka tidak sendirian.

"Kalau demikian kita mesti masak lebih banyak kakang, bukankah kasihan orang tua itu sendirian, setidaknya setiap hari satu kali kita mengiriminya makanan." ucap Tanjung.

Baskara setuju, maka dari itu sibuk juga ia, dari yang mengisi air, mengumpulkan kayu, menangkap hewan buruan. Di tambah janjinya mendukung ide Laras pagi itu, yakni keinginannya menanam sayur dan tumbuhan di sekitar pondok.

"Kita tidak tahu Kakang, berapa lama akan tinggal di sini, setidaknya mesti jaga-jaga, kalau bisa menghasilkan sayur dan tumbuhan yang bisa di konsumsi, bukankah meringankan dan bisa jadi stok kita dimasa sulit?" alasan Laras waktu itu.

Akhirnya Baskara mulai menggemburkan tanah di bagian samping pondok. Memang semua pekerjaan dapat di selesaikan menjelang sore. Iapun yang mengantar makanan untuk Ki Raganata, yang di balas ucapan terimakasih oleh si orangtua.

Malamnya setelah menikmati makan malam, ia ijin pada dua gadis. "Ada pendatang baru di arah timur, kurasa ada baiknya kusambangi, siapa tahu dapat informasi yang menggembirakan."

"Apakah kami boleh ikut Kakang?" tanya Tanjung.

Baskara menggeleng, "Jangan sekarang, kita belum tahu siapa mereka, kalian tinggallah dulu di pondok, sekiranya mereka orang baik-baik, tentu lain kali kalian kuajak."

Walau terlihat kecewa, Laras dan Tanjung tidak membantah.

Baskara kemudian keluar dari pondok. Dari depan kini dapat dilihatnya dua cahaya, satu di barat dan satu di timur. Di barat berasal dari kristal kuning milik Ki Raganata, dari timur berasal dari tempat rombongan berkereta.

Tak butuh waktu lama bagi Baskara untuk sampai di tujuannya, ia dapat melihat asal cahaya dari obor yang di pancangkan. Nyala lain berasal dari perapian, ada beberapa orang tampak duduk melingkar.

Satu orang di antaranya terlihat berdiri, sepertinya sadar akan kehadiran Baskara.

"Salam tuan," ucap Baskara pada lelaki tinggi besar yang kini berdiri tak jauh di hadapannya.

Si lelaki tersenyum dan membalas salam si pemuda.

"Ah, senangnya hati kami kedatangan tamu, darimanakah tuan muda ini!" tanya si cambang kemudian.

"Saya Baskara tuan, seorang pemuda pengembara, kebetulan membangun pondok tak jauh dari sini, di sebelah selatan," jawab Baskara di iringi gerak tangan menunjuk arah pondoknya berada.

"Oh demikian kiranya, maaf tuan, seharusnya kami yang berkunjung ke pondok tuan kalau begitu, tapi sedari tadi kami masih di sibukkan dengan berberes, hingga belum sempat berkeliling di wilayah ini. Perkenalkanlah keluarga kami, aku Kudeto, dan itu, nyonya yang cantik di sebelah sana ia isteriku, Syakila, dan dua gadis yang bagaikan bidadari, merupakan buah kasih kami, Nadia dan Iliana," balasnya dengan ramah, memperkenalkan diri dan anggauta keluarganya. Berkali-kali Baskara tersenyum, membalas senyuman ramah dari keluarga pendatang baru ini.

"Silahkan tuan, bergabung dengan kami, duduklah, biar kita bisa bercakap dengan baik," ucap Kudeto selanjutnya.

Baskara tak menolak, memang ia sengaja datang untuk mengorek informasi, siapa tahu ada hal menarik yang bisa di dapatnya.

Belum lama duduk, Nyonya Syakila menyuguhkan nampan berisi minuman dan penganan di hadapannya. "Silahkan tuan muda, jangan sungkan-sungkan."

"Terimakasih Nyonya," balas Baskara.

"Ha ha.. tuan Baskara, isteriku pandai sekali memasak, sungguh beruntung bila tuan disuguhi hasil masakannya," ujar Kudeto riang.

Si pemuda tahu sikap, ia lalu meminum air yang disuguhkannya dan mencomot sebuah roti dan memakannya, "Luarbiasa tuan, betul adanya Nyonya Syakila memang pandai memasak, roti bikinannya ini begitulah lezat rasanya," puji si pemuda.

Kudeto kembali tertawa, Nyonya Syakila sendiri tersenyum kemalu-maluan mendengat pujian si pemuda.

Setelah memakan roti kedua, mulut Baskara berucap, "Maaf tuan Kudeto, melihat kereta kuda semacam ini, dan ternyata tuan berkendara satu rombongan keluarga, sebenarnya hendak kemanakah tuan?"

Yang ditanya tak langsung menjawab, matanya mengerling ke arah isterinya. "Menurut tuan?" ucapnya bertanya balik.

Baskara terdiam. Apa pertanyannya tak pantas? Ia memandang Kudeto, "Maaf bila pertanyaanku barusan kurang layak tuan."

"Ha ha ha.. tuan adalah orang baik, belum-belum minta maaf. Tidak tuan, sekali lagi tidak, pertanyaan tuan adalah sewajarnya. Harap jangan salah sangka. Ini disebabkan baru pertama kami bertemu tuan, adalah wajar kalau kami berhati-hati, karena di luar sana sudah sering kami temui manusia-manusia berhati kurang baik."

Baskara mengangguk mencoba memaklumi

"Kami adalah keluarga pengembara tuan, rumah kami adalah kereta-kereta ini, di mana kami menggunakannya untuk berkendara, bekerja, dan beristirahat. Kemana tujuan kami? Itu sesuai dengan langkah kuda-kuda dan takdir membawa kami. Siang atau malam bukan halangan kami melakukan perjalanan. Sebenarnya biasanya kami berkeliling dari satu hunian ke hunian yang lain. Tapi keadaan lagi tidak aman akhir-akhir ini, beberapa kali kami di sergap dalam perjalanan..." tutur Kudeto.

"Di sergap? Oleh siapa tuan?" tanya si pemuda.

"Tuan belum tahu?"

"Saya belum lama tinggal di sini tuan," jawab Baskara.

Kudeto mengerutkan dahi, "Pendatang dari dunia luar?" tebaknya.

Baskara mengangguk.

Kudeto memelintir kumisnya yang tebal. "Pantas," ucapnya sambil kembali mengerling pada isterinya. "Kalau tuan belum tahu, tuan perlu berwaspada. Terutama di malam hari, karena makhluk-makhluk itu mengintai dan menyerang dalam gelap."

"Makhluk-makhluk apa tuan?"

"Kami menyebutnya para Gulot," jawab Kudeto singkat.

Baskara makin tertarik percakapannya dengan Kudeto. Kemarin Ki Raganata menyebutkan tentang para iblis, dan kini pemimpin keluarga pengembara menyebut para Gulot. Dan dua-duanya perlu di waspadai.

"Seperti apakah para Gulot ini tuan?" tanyanya penasaran.

"Mereka seperti manusia, memiliki kepala, tangan, dan kaki, tapi selalu keluar di malam hari, bergerombol, memiliki cakar-cakar yang runcing. Kegemarannya menyerang dan memakan manusia," jawab Kudeto gamblang.

"Memakan manusia?" tanya si pemuda tak percaya.

"Benar tuan, karena itu berhati-hatilah..."

Bersambung.

EPISODE SEBELUMNYA | EPISODE SELANJUTNYA

Baca SERIAL RIMBA BARA lainnya.

Kumpulan Cerita Misteri, Cerita Silat, Cerita Horor, Cerita Remaja, Cerita Anak, Cerita Religi, Cerita Lucu, Cerita Sejarah, Cerita Petualangan, Cerita Detektif, Cerita Pendek, Cerita Serial, dll.

Post a Comment