RIMBA BARA - Menyelamatkan Si Jabrik


Baskara telah kembali dari kunjungannya ketempat Keluarga Kudeto. Ia kini duduk termenung di atas dipan kayu. Matanya masih enggan untuk terpejam. Ada beberapa hal yang berkelebatan di fikirannya, terutama dengan keberadaan Para Gulot. Menurut penuturan Kudeto, makhluk-makhluk ini merupakan bagian terendah dari Pasukan Iblis yang pernah merajalela belasan tahun silam, tapi mereka jarang mengusik manusia, tapi herannya beberapa bulan ini Para Gulot mulai acap mengganggu, hingga tiap-tiap hunian memperketat penjagaan.

"Kenapa tuan tidak tinggal di salah satu hunian bila keadaan memang begitu mengkhawatirkan?" tanyanya tadi.

"Mungkin memang seharusnya demikian, sayangnya jiwa kembara kami tidak mengijinkan, tinggal di alam terbuka, sungguh satu kenyamanan tersendiri bagi kami," jawab Kudeto. "Namun satu hal yang bisa saya simpulkan saat ini, Para Gulot yang semula lebih nyaman di tempat-tempat gelap jauh di dalam hutan dan kini mulai berani mengganggu manusia, menandakan ada satu kekuatan besar yanv mungkin bermain di belakangnya," lanjutnya.

"Maksud tuan apakah pemimpin?"

"Bisa jadi demikian."

Ada juga ia tanyakan tentang siapa yang telah menebar pagar mistik di wilayah itu, Kudeto menjawab, "Pertanyaan tuan tidak mampu saya jawab, hanya Para Mistik yang mampu menjawabnya."

"Siapakah Para Mistik tuan?"

Kudeto tak langsung menjawab, dahinya tampak mengerut seakan pertanyaan si pemuda begitu berat. "Itupun secara jelas tak bisa ku jawab tuan, hanya setahuku mereka-mereka ini yang menekuni kepandaian bersifat gaib, " jawab Kudeto akhirnya.

Baskara merebahkan badannya, ia teringat akan Ki Raganata, orang tua itu dengan gerak anehnya, mungkin ia bisa menanyakan pada si lelaki tua itu, siapa Para Mistik, dan kenapa Para Gulot mulai mengganggu manusia.

***

"Kakang.. Kakang..."

Baskara membuka matanya, kejut ia suasana sudah terang rupanya. Seorang gadis cantik berdiri di samping dipannya. Tanjung.

Si pemuda bangkit dengan cepat, "Astaga, hari sudah begini siang, kenapa kau tak membangunkanku Tanjung?"

Si gadis tersenyum. "Kakang terlihat lelah dah tidur begitu nyenyaknya, mana berani kami bangunkan."

Baskara memggeleng-geleng, "Sial betul, betul-betul sial. Kalau orang jahat atau binatang buas yang menghampiriku, tentu kini aku tinggal nama."

Tanjung tertawa lirih, "Kau terlalu berpikiran macam-macam Kakang," ujarnya.

Si pemuda tak membalas, memang ia tak ceritakan tentang serangan harimau kemarin malam, karena tak ingin para gadis cemas. "Benar juga, maklumlah, nyawaku belum kumpul semua kiranya, hingga berpikiran macam-macam."

Siang itu ia membantu Tanjung dan Laras bercocok tanam, dan sebagai permintaan maaf pada dua gadis, ia bahkan ikut membantu mereka memasak di dapur.

"Hei, tak pantas Kakang memasak, tunggulah saja, biar kami yang mengurusi dapur Kakang," seloroh Laras.

"Mana bisa begitu, dari pagi kalian sibuk berberes pondok, bahkan tugas mengambil airpun sudah kalian kerjakan, tak tahu diri aku kalau cuma tinggal makan," balasnya.

Si gadis hanya tertawa, dan membiarkan si pemuda membantu mereka.

Sorenya Baskara berencana mengunjungi si tua Raganata, tapi niatnya di urungkan saat dilihatnya stok daging kering tinggal sedikit, maka ia pamit pada dua gadis untuk berburu. "Doakanlah kubawa pulang hewan buruan yang gemuk."

Membekal sebuah tombak kayu yang di runcingkan ujungnya, si pemuda bergegas masuk ke dalam rerimbun pepohonan hutan, ia musti cepat mencari hewan buruan karena langit sudah menunjukkan senja.

Tapi nahas, sudah di sisirinya beberapa tempat, belum jua di lihatnya hewan buruan, sedangkan seekor rusa, satu kelincipun tak terlihat di mata. Tak terasa ia makin jauh dari pondoknya. Dengan tubuh yang ringan, mudah saja bagi Baskara melintasi rapatnya hutan.

Tiba-tiba di dengarnya suara riuh lolongan. Suara apakah itu? Serigalakah? Dipasangnya pendengarannya baik-baik, kini makin yakin ia, yang didengarnya suara-suara lolongan serigala. Bila memang benar tentu akan sangat berbahaya. Baskara menggeser langkahnya. Telinganya masih saja mendengar suara-suara lolongan itu, mungkin kawanan serigala yang berburu mangsa.

Ditatapnya ufuk barat, mentari mulai tenggelam, semburat jingga menghias langit. Bila semula hendak kembali pulang, rasa penasaran meliputi diri si pemuda. Pasalnya semenjak tersesat di Rimba Bara, baru kali ini ia mendengar suara serigala. Lantas saja ia iseng hendak melihat, sebenarnya apa yang di ributkan kawanan hewan buas itu.

Di satu padang rumput, tampak seorang pemuda, ia tengah berjibaku mempertahankan sehelai nyawanya. Dengan gesit melompat kesana kemari, dikelilingi hewan-hewan ganas yang bernafsu mencabik-cabiknya. Di tangan kanan pemuda tergenggam sebuah pedang. Hebat betul pedang itu, panjangnya sama dengan sebuah tombak, dan lebarnya sejengkal orang dewasa, tapi terlihat begitu ringan, dengan cepat di putar dan di sabet-sabetkannya pedang itu. Di tangan kiri, ia memanggul sesuatu, tampak besar dan berat, bila diamati betul, nyata yang di panggulnya adalah seekor hewan, rusa yang telah tak bernyawa. Mungkin saja para serigala tengah berusaha merebut si rusa dari pemuda itu, namun tampaknya si pemuda enggan melepas hewan miliknya sekalipun mempertaruhkan nyawanya.

Ciri yang menarik si pemuda adalah rambutnya, panjang melampaui bahu, tapi tampak kasar dan kaku. Ia kini makin kesulitan, yang di hadapinya bukan satu, tapi belasan serigala, dan serigala-serigala itu gesit-gesit pula geraknya, tiap kali si pemuda membabatkan pedangnya, dengan lincah dapat di hindari, dan di saat yang sama serangan lain datang dari arah berbeda. Sekiranya ia sedikit bermurah hati dengan melepas hewan di atas panggulannya, mungkin kawanan serigala akan membiarkannya pergi dengan damai.

Selagi si pemuda jabrik berkutat dalam pertempurannya, dari dalam lebatnya pepohonan meletup sebuah nyala api, itulah api yang berasal dari obor buatan Baskara. Memang pemuda itu telah sampai, saat melihat apa yang terjadi, ia bertindak cepat, di sobeknya bagian kain di lengannya, di libatkan pada batang kayu kering, dan dinyalakannya. Dengan teriakan keras ia berlari kearah pertempuran. Hasilnya sesuai dugaannya, kawanan serigala terkejut mendengar teriakannya, apalagi melihat nyala api berkobar di tangan kiri si pemuda. Mereka spontan lari tunggang langgang meninggalkan calon mangsa.

Pemuda jabrik melengak melihat kedatangan Baskara, satu semprotan keluar dari mulutnya, "Gila! Kenapa kau merusak kesenanganku!"

Giliran Baskara yang melengak. Edan! Ditolong malah ia yang di maki, pikirnya. Di lemparnya batang obor hingga menancap di tanah. "Rupanya aku melakukan langkah yang salah Kisanak."

Si pemuda jabrik terdiam, menggumamkan sesuatu kemudian ia pandangi Baskara, "Apakah sudah dekat tepian hutan?"

Yang di tanya kebingungan, "Maksudmu?"

"Kau. Bukankah keberadaanmu menandakan sudah dekat dengan perkampungan?" Si Jabrik menyelidik Baskara dari kepala sampai kaki.

Baskara mulai mafhum, sepertinya pemuda jabrik ini mengalami nasib yang sama dengan dirinya, berasal dari dunia luar dan kini tersesat tanpa tahu juntrungnya di rimba yang penuh misteri ini.

"Apakah kau tersesat?" tanyanya memastikan.

Si Jabrik memutar pedangnya dan menaruhnya di bahu, "Itulah, sudah hampir satu minggu, tak jua kutemui tepian hutan."

"Kalau begitu kita teman senasib Nisanak, marilah, ikut denganku, hari sudah menjelang malam, di pondok akan lebih leluasa untuk berbincang," ajak Baskara akhirnya.

Bersambung.

EPISODE SEBELUMNYA | EPISODE SELANJUTNYA

Baca SERIAL RIMBA BARA lainnya.

Kumpulan Cerita Misteri, Cerita Silat, Cerita Horor, Cerita Remaja, Cerita Anak, Cerita Religi, Cerita Lucu, Cerita Sejarah, Cerita Petualangan, Cerita Detektif, Cerita Pendek, Cerita Serial, dll.

Post a Comment