RIMBA BARA - Menumpas Para Iblis


Di bagian timur, pertarungan antara kubu Abisa dan Pangeran Iblis masih berlangsung, beberapa waktu lalu Ki Raganata telah ikut bergabung, energi panas dari Kristal di tongkatnya menyebabkan sebagian iblis menyingkir tak mau berhadapan langsung.

Sang Pangeran yang terus mendesak Ketua Harimau Perak dibuat jengkel dengan kedatangan Sang Penjaga. Dia melompat tinggalkan Abisa, pedangnya dengan ganas membabat tubuh renta Ki Raganata.

Owh! Orang tua itu melompat mundur menghindari serangan mendadak tersebut.

Pyarr! Kristal di ujung tongkatnya pecah berkeping. Rupanya Pangeran Iblis memang berniat menghancurkan Kristal itu.

Sang Penjaga merutuk jengkel dengan siasat musuh.

Setelah Kristal berhasil di hancurkan, Sang Pangeran kembali meladeni Abisa, karena bagaimanapun di antara para ksatria dan para mistik, kekuatan Abisalah yang paling tangguh.

Makin lama keadaan Abisa makin mengkhawatirkan, baju zirah dan energi murninya tak mampu membendung kesaktian Pedang Elmaut apalagi tubuh Sang Pangeran Iblis di perisai Oleh Gelang Mestika. Beberapa kali sambaran tongkat pedangnya sempat hampir mengenai musuh, tapi dibuat terpental balik oleh perisai gaib yang terpancar dari tubuh lawan.

Edan! Rutuk Abisa dalam hati merasakan kehebatan Gelang Perisai Mentari.

Sang Pangeran memperhebat serangannya, sinar pedang bergulung-gulung mengurung tubuh Sang Ketua Harimau Perak. Malam semakin larut, ia ingin cepat-cepat menuntaskan pertempuran.

Trang! Percik api akibat benturan dua senjata sakti terdengar keras. Tongkat Pedang ditangan Abisa rompal, tubuh lelaki itu bergeletar, hawa dingin menyelusup dari batang tongkat, menembus benteng gaibnya.

Mengetahui lawan tepengaruh serangan, Pangeran Iblis memburu dengan tendangan secepat kilat.

Buaghh!

Tendangannya tepat mengenai dada lawan, Abisa tak mampu mempertahankan kedudukannya, tak ayal tubuhnya terpental kebelakang.

Gusrak!

Sang Ketua jatuh memuntahkan darah, tendangan lawan mengandung energi yang luar biasa, sekalipun baju zirah perak telah dikenakannya, tak urung luka dalam yang cukup parah ia derita.

Beberapa anggota Harimau Perak yang melihat ketua mereka dalam bahaya melenting menghadang lawan. Melihat beberapa lawan menghadang, Pangeran Iblis gerakan pedang setengah lingkaran.

Whuss! Crass! Crass! Akhh!

Nasib malang bagi lawannya, dengan sekali gerak beberapa anggota Harimau Perak yang menghadang ambruk bersimbah darah.

Biadab! Satu suara lantang terdengar. Seorang pemuda yang tak lain Baskara muncul dari arah barat bersama dengan belasan orang, diantaranya terlihat Watu Aji, Iliana, bahkan tampak pula Nindia, Tuan Kudeto dan Nyonya Syakilla. Ketiganya memang telah bergabung saat Baskara menghadapi para Gulot.

Sang Pangeran menoleh kearah suara, saat dilihatnya yang membentak hanyalah seorang pemuda yang tak dikenalnya, bibirnya menyunggingkan senyum sinis. Dengan pongah ia berdiri menanti.

“Bagus-bagus, rupanya kalian sisa para ksatria yang menjaga kota, majulah sekaligus, biar ku kirim keneraka berbarengan.” Ucap Sang Pangeran begitu rombongan Baskara telah dekat.

Baskara tak menimpali ucapan lawan, tak mau menganggap enteng, ia segera melolos pedang di punggungnya, sinar perak  memancar keluar.

Pangeran Iblis menyipitkan mata, sedikit kagum dengan senjata lawan. Sepertinya Pemimpin para iblis itu tak mengetahui sejatinya pedang yang ada di tangan lawan, karena ia terlihat tak gentar sedikitpun.

“Tetap berwaspada Baskara!” teriak Ki Raganata di sela-sela kesibukannya menghadapi gempuran para siluman dan iblis.

Melihat Baskara telah siap menghadapi lawan, Watu Aji, Keluarga Pengembara beserta belasan ksatria lain langsung bergabung dengan anggota Harimau Perak menghadapi para pengacau.

Setelah pedang mantap di tangan, Baskara mendahului serangan dengan cepat, pedang ditangannya mengeluarkan bunyi bergemuruh dan larikan sinar keperakan.

Tak mau kalah Sang Pangeran Iblispun memapaki serangan lawan. Perkelahian sengit terjadi antara keduanya.

Belasan jurus berlalu, Pemimpin Iblis mulai menyadari ada sesuatu yang menakutkan di balik senjata lawan, karena ia merasakan energi iblis yang dimilikinya seperti tersedot tiap kali berdekatan dengan si pemuda.

Percaya dengan keampuhan Pedang Elmaut, ia terus menerjang, di keluarkan seluruh energi yang dimilikinya, pedang ditangan mengeluarkan hawa sedingin salju yang membekukan.

Untung bagi Baskara telah berbekal dengan senjata mustika Pedang Kosmos, pedang itu benar-benar istimewa, sekalipun setara dengan Pedang Elmaut, namun memiliki kelebihan menaklukkan segala biang energi kegelapan, maka semakin musuh mengeluarkan energi, makin dahsyat pula daya sedot pedang ditangannya menetralkan energi lawan.

Uwahhh! Sang Pangeran Iblis tak habis pikir ketika makin lama energinya makin melemah, seperti air yang tumpah, daya iblis dalam tubuhnya banjir keluar. Wajahnya yang pucat makin tambah pucat, serangannya makin kacau, hanya Gelang Mestika Mentari yang kini melindunginya dari serangan lawan.

Di saat keadaan Sang Pangeran sangat kritis, tiba-tiba muncul lima sosok tubuh mengenakan jubah hitam. Mereka langsung masuk ke arena pertempuran bersikap melindungi Sang Pangeran Iblis.

“Para Penasihat Agung! Jangan biarkan mereka membawa kabur Pangeran Muda!” Teriak Ki Raganata, selesai berucap tubuh lelaki tua itu melompat mendekat ke arah pertarungan Baskara.

Pihak Iblis sebenarnya sudah hampir dikatakan kalah, apalagi beberapa waktu kemudian muncul pula rombangan Tonggak Dewa dari arah barat membantu, hingga jumlah lawan hanya tinggal puluhan saja. Karena itu mendengar teriakan Ki Raganata, Watu Aji langsung melompat pula ke arah Para Penasihat Agung, Pedang Raja ditangannya menyambar tanpa ampun.

Sedianya Para Penasihat Agung hendak melarikan Sang Pangeran yang terdesak, tapi kali ini mereka tak sempat melakukannya, karena belum sempat tubuh Pangeran Muda tersentuh beberapa lawan sudah mengganggu.

“Asap Hitam!” teriak salah satu dari Penasihat Agung.

Dar! Satu ledakan terdengar, asap hitam memenuhi arena pertarungan.

Mengetahui lawan hendak melarikan diri, Baskara pukulkan telapak tangan ke kedepan, segulung angin puting beliung menerabas asap, itulah salah satu pukulan warisan gurunya, yakni Telapak Badai.

Begitu asap tersapu bersih si pemuda cepat sambitkan pedang ditangan saat dilihatnya Sang Pangeran Iblis yang tampak berdiri bingung hendak di sentuh oleh salah seorang Penasihat Agung.

Siing! Jleb! Ukhh! Tak mampu di hindari, Pedang Kosmos menembus tubuh lawan.

Mata Pangeran Muda Iblis mendelik seakan tak percaya, kejap lain tubuh itu ambruk ke tanah.

Jerit kaget terdengar dari mulut Para Penasihat Agung, mereka memutar badan hendak melarikan diri. Tapi Watu Aji dan Ki Raganata tak mau membiarkan musuh kabur. Pedang Raja berkelebat. Sekalipun memiliki kemampuan mistik yang tinggi, Para Penasihat Agung tak memliki kepandaian silat yang mumpuni, karenanya tak kuasa menghadapi keganasan Watu Aji, apalagi Ki Raganata turut ambil peran memagari dengan kekuatan mistiknya agar musuh tak mampu kabur secara ajaib.

Crass! Crass! Crass! Akhhh! Tubuh-tubuh Para Penasihat Agung satu persatu menyusul Sang Pangeran, terbanting ke tanah, dan harus rela melepaskan nyawanya.

Setelah tumpasnya Para Penasihat Agung, tak ada perlawanan berarti dari sisa para iblis, dalam waktu singkat mereka dapat dapat dilumpuhkan.

Kekacauan berakhir menjelang pagi, para ksatria telah berhasil mempertahankan Hunian Cakra Dewa, sekaligus membasmi angkara murka kegelapan. Dengan badan penat, Baskara beserta rombongan kembali ke gedung Harimau Perak, membawa Sang Ketua yang terluka. Para awam yang semula bersembunyi di rumah masing-masing kini berani keluar, setelah ancaman dapat di atasi, mereka membantu para ksatria yang terluka, dan membereskan dampak kekacauan.

Esok siangnya Baskara mengunjungi Watu Aji, Laras dan Tanjung di penginapan. Kini ia bersama Ki Raganata.

“Kau tak apa-apa  Kakang?” Tanya Laras cemas.

Si pemuda mengangguk. “Aku baik-baik saja,” sesaat pemuda itu diam seperti memikirkan sesuatu, ia menoleh Ki Raganata sejenak, kemudian memalingkan wajah kea rah tiga rekannya.

“Urusan kita sudah selesai, para iblis telah berhasil di kalahkan, berat memang, tapi kurasa kita harus pulang.”

“Pulang? Maksud kakang ke pondok?” Tanya Tanjung. Baskara menggelengkan kepala.

“Bukan, tapi meninggalkan Rimba Bara.”

“Ohhh.. tapi bagaimana caranya kakang? Bukankah kita tak bisa menemukan jalan pulang?”

Baskara menoleh kembali ke arah Ki Raganata.

“Aku telah membuka jalan keluar dari Rimba Bara, langkahkan kaki kalian kearah barat, pasti akan menemukan jalan pulang.” Kini Ki Raganata yang bersuara.

“Bagaimana? Atau kalian ingin tinggal di sini?” kini Baskara yang bertanya.

Dua gadis tersenyum, “Tempat ini memang indah Kakang, tapi tentu saja kalau ada jalan, kami akan senang ikut Kakang kembali pulang.” Jawab Laras.

“Kau Watu Aji?” Tanya Baskara pada pemuda jabrik yang sudah di anggap saudaranya.

Si Jabrik garuk kepalanya, “Tentu aku ikut denganmu Kakang Baskara.”

Baskara tersenyum. “Baiklah, kalau begitu mari ikut denganku ke Markas Harimau Perak, Tuan Abisa mengundang kita sebelum pulang.”

Sang Ketua Harimau Perak sebenarnya menyayangkan sang pemuda harus meninggalkan Hunian Cakra Dewa, berkali-kali dia membujuk Baskara untuk bertahan, tapi pemuda itu kukuh pada pendiriannya untuk pulang. Akhirnya Tuan Abisa menyerah. “Datanglah kemari sebelum kalian pulang, kami ingin menyiapkan hidangan perpisahan untuk kalian." Baskara tak menolak undangan Sang Ketua.

Begitu kembali kemarkas Harimau Perak, malamnya puluhan ksatria dan para mistik berkumpul, Sang Ketua benar-benar menyiapkan acara spesial untuk Baskara dan rombongan, berbagai masakan lezat telah di sediakan, dan juga pelbagai hiburan tari-tarian pun di suguhkan. Ucapan terimakasih di ucapkan berulangkali dari para anggota Keluarga Harimau Perak pada si pemuda.

Setelah hampir semalaman menerima penghormatan dari tuan rumah, Baskara pamit keesokan paginya, Sang Ketua membekali rombongan Baskara dengan kuda-kuda terbaik, makanan dan uang.

“Ah, kami hanya merepotkan,” ujar si pemuda menerima segala kebaikan tuan rumah.

“Ha haa, jangan berkata begitu, kalian adalah Dewa penolong kami,” balas Tuan Abisa dan kemudian memeluk tubuh Baskara. Ki Raganata tak urung berkaca-kaca matanya menyaksikan perpisahan yang penuh emosional, iapun gantian memeluk erat tubuh si pemuda. “Semoga selalu terjaga keselamatanmu, Anakku.” Ucapnya sendu.

Akhirnya mereka berempat meninggalkan Hunian Cakra Dewa. Hari sudah beranjak siang saat  mulai memasuki kawasan dimana sebelumnya mereka tinggal, pondok kayu yang mereka tempati terlihat dari jauh. Baskara memalingkan wajah pada tiga rekannya, “Jangan katakan kalian ingin menginap barang semalam di pondok itu,” ucapnya berkelakar.

Laras dan Tanjung tertawa kecil, sedang Si Jabrik tersenyum masam.

Belum lagi memasuki kawasan hutan, Baskara menghentikan langkah kudanya saat dilihatnya dua sosok tubuh menunggang kuda mengejar dari arah belakang.

“Nadia, Iliana? Kalian..?” ucap si pemuda, saat tahu yang datang dua putri Kudeto yang cantik.

Dua gadis cantik itu tersenyum masam, “Teganya Kakang meninggalkan kami,” ujar Nadia.

Baskara tak langsung menjawab, memang sengaja ia tak mengabarkan niat kepulangannya pada dua gadis itu, karena tiap kali memandang mereka berdua, dadanya langsung berdebar, entahlah, dipikir-pikir sungguh keterlaluan ia menyukai dua-duanya sekaligus.

“Bukan begitu, karena bagaimanapun kami harus pulang, Rimba Bara bukanlah kampung halaman kami.”

“Lantas, dimana kampung Kakang?” Tanya Iliana.

Si pemuda terpegun, bingung ia dengan pertanyaan itu, “Aku pengembara Iliana, kemana aku pergi sesuai dengan arah kakiku. Syukur bertemu kalian di sini, karena aku bisa pamit pula pada kalian.”

“Kami ikut,” celutuk Nadia tiba-tiba.

Baskara terkejut, “Eh, ikut kemana? Bagaimana bisa begitu, ayahmu bisa ngamuk kalau kalian ikut denganku.”

Nadia mengerling ke arah Iliana, “Kami sudah ijin Kakang.” Ucap Iliana.

“Ah yang benar, tak mungkin Tuan Kudeto membiarkan gadis-gadisnya ikut dengan pemuda yang tak karuan juntrungnya sepertiku.” Balas Baskara.

“Kenapa Kakang berkata seperti itu, Kak Baskara pemuda baik, ayah malah senang kami memutuskan ikut bersama Kakang. Atauu? Kakang tak suka kami ikut bersama?”

Otak Baskara terasa ngadat. Lama ia terdiam.

“Kakaang, apa Kakang tak suka kami ikut?” Tanya Iliana sekali lagi bernada merajuk.

Si pemuda tundukkan kepala, garuk-garuk dagunya yang tak gatal, kemudian pandangi dua gadis di depannya, “Ya.. sebenarnya aku suka,” ucap Baskara akhirnya.

Nadia dan Iliana tersenyum girang. “Jadi Kakang suka kami?” ucap Nadia memastikan.

“Eh iya, aku suka kalian, oh maksudku, anu, aku suka kalian mau ikut bersama kami,” jawab si pemuda kikuk.

Watu Aji yang sedari tadi tak tahan melihat sikap Baskara yang serba kaku tertawa terbahak sambil pukul-pukul pahanya sendiri, “Ha haaa, sudahlah Kakang, ayo kita lanjut, makin banyak teman, makin seru!” tanpa menunggu jawaban, Si Jabrik memukul pinggul kudanya.

Sedikit menggumam, Baskara menoleh pada empat gadis, “Ayolah.” Merekapun bergerak meninggalkan Rimba Bara.

Tamat. 

EPISODE SEBELUMNYA

Baca SERIAL RIMBA BARA lainnya.

Kumpulan Cerita Misteri, Cerita Silat, Cerita Horor, Cerita Remaja, Cerita Anak, Cerita Religi, Cerita Lucu, Cerita Sejarah, Cerita Petualangan, Cerita Detektif, Cerita Pendek, Cerita Serial, dll.

Post a Comment