RIMBA BARA - Penakluk Iblis


Bukan tanpa alasan Baskara meninggalkan pondok kala Nadia dan Iliana datang berkunjung. Kabar yang di sampaikan Watu Aji yang membuatnya tertarik. Pemuda berambut jabrik itu mengatakan melihat pemandangan yang unik di sungai. "Seorang tua Kakang, bertubuh tinggi dan kurus. Mengenakan celana komprang berwarna hitam, bertelanjang dada. Uniknya, ia membawa dayung untuk mengayuh dan bergerak menjelajah di atas sungai, tapi di bawah kakinya tidak ada rakit ataupun sampan, hanya air sungai yang merendam kedua mata kakinya."

Ajaib bila begitu. Ataukah si orangtua yang di gambarkan oleh Si Jabrik punya ilmu mukjizat?

Di dorong rasa penasaran merekapun berangkat ke alur sungai di mana Watu Aji pernah melihat keberadaan tokoh kosen itu.

Sesampai di sana, tak langsung mereka temui si orang tua, perlu beberapa lama menunggu sampai mereka lihat pemandangan aneh tersebut. Dari arah hilir, terlihat sesosok tubuh bergerak perlahan, dua tangan mendayung. Dan seperti yang di ceritakan Si Jabrik, tak ada apapun di bawah kakinya selain air.

Selagi mereka terbengong, dari seberang sungai bermunculan puluhan sosok-sosok tubuh. Jarak sungai yang tidak terlalu lebar membuat Baskara dan Si Jabrik dapat melihat bentuk-bentuk sosok yang muncul. Wujud mereka seperti manusia, tapi rambutnya berwarna putih dan panjang. Wajahnyapun purih pucat. Apakah mereka Para Gulot? Ah, tidak mungkin, bukankah pasukan iblis itu hanya keluar di malam hari?

Puluhan sosok tubuh yang baru muncul melompat kesungai, hebatnya tidak tercebur, melainkan melayang di udara. Di tangan-tangan mereka kini mengenggam senjata berupa pedang. Saat telah dekat dengan si orang tua aneh, satu bentakan terdengar.

"Hentikan lajumu Tonggak Dewa!" Yang mengeluarkan suara satu dari puluhan pendatang, melayang paling dekat dengan si orang tua yang di panggil Tonggak Dewa. Bila yang lain berpakaian serba putih, ia berpakaian serba biru. Mungkin inilah pemimpinnya.

Gerak si lelaki tua terhenti. Ia memandangi sosok tubuh yang barusan membentaknya. "He he he he... kawanan siluman rupanya, tidak bosan kalian mengganggu aku. Apakah masih dengan urusan yang sama?"

"Jangan memandang remeh orang tua! Yang bakal kau hadapi ini Pasukan Inti Penguasa Kuil Salju," gertak si baju biru.

"Ha ha ha... lucu.. sangkamu orang semacam aku takut dengan siluman ingusan. Tetua-tetua kalian yang datang sekalipun akan ku gebuk dengan mudah," koar si Tonggak Dewa penuh percaya diri.

Ucapan yang bernada mengejek membuat si baju biru murka, "Tua bangka laknat! Serahkan Kristal Pembeku Api! Atau kau memilih mampus!"

"He he he... aku ingin lihat bagaimana kalian membuat aku mampus."

Pedang di tangan si baju biru memendar cahaya, seakan wujud amarah yang memuncak pemiliknya. Tangannya memberi isyarat, dan puluhan makhluk yang di sebut Para Siluman merangsek maju.

Puluhan pedang menyerbu ke arah Tonggak Dewa, namun kejadian berikutnya sungguh luarbiasa. Begitu melihat lawan menyerbu, ia pukulkan gagang gayung ke bawah kakinya.

Byar! Satu moncong yang demikian besar dan lebar keluar dari sungai, memuncratkan air keberbagai arah. Buaya! Seekor buaya yang besarnya empat kali dari ukuran buaya biasa muncul kepermukaan air, makhluk buas ini langsung menerkam para pengeroyok Tonggak Dewa. Keganasan makhluk ini tak urung membuat para penyerang berlompatan menghindar.

Selanjutnya pertarungan seru terjadi, Para Siluman sekalipun menghadapi makhluk buas tak lari mundur, mereka setelah berlompatan menyelamatkan diri kembali menerjang maju, berkali-kali bergantian mencari sela dan kelengahan si pemangsa di air itu. Tapi tidaklah mudah mengalahkan si makhluk, sabetan pedang berkali-kali yang menghantam tubuh si buaya, sekan membentur tembok baja yang keras, sama sekali tak membuat hewan iti terluka, bahkan mereka di buat kerepotan oleh balasan serangan, baik dengan sergapan moncong dengan gigi-gigi yang tajam, ataupun sabetan ekor yang dahsyat.

Si orang tua alias Tonggak Dewa bergerak kesana kemari di atas punggung buaya, tampaknya ia sudah terbiasa dengan guncangan-guncangan di punggung hewan itu, malah iapun sibuk menyerang para musuh-musuhnya dengan gempuran dayung di tangan.

Melihat perlawanan sengit, si pemimpin rombongan siluman ikut menerjang maju, pedang ditangannya mengarah ke tubuh ceking si orang tua.

Blarr!

Tonggak Dewa menangkis dengan dayungnya, menimbulkam suara ledakan keras. Akibatnya, si baju biru terlempar kebelakang, ia hampir tercebur kesungai kehilangan keseimbangan, untuk beberapa anak buahnya cekatan, dan dengan gerak cepat menyambar tubuh pemimpinnya.

"Ha ha ha.. sudah kubilang kalian belum ada apa-apanya bagiku. Cepat menggelindinglah! Atau Raja Sungai kuperintahkan menggeragot tubuh kalian!" lantang si tua bersuara dengan tetap melanjutkan serangannya.

Beberapa siluman telah ada yang terhantam oleh sabetan ekor buaya, dengan pekik  kesakitan tubuh mereka terjungkal ke air. Begitu juga dayung di tangan si tua, berkali kali menggedor dada Para Siluman.

Di saat keadaan Para Siluman yang mulai kewalahan, tiba-tiba suasana di sekitar sungai menggelap. Awan seakan hanya menutup di bagian tempat pertarungan terjadi, ada semacam kabut tipis yang menyelimuti. Dan samar di atas sungai terselindung kabut, terbentuk satu sosok tubuh, seorang perempuan, rambutnya berwarna abu keputihan, ada sebatang tongkat berukir ditangannya, matanya berwana putih keseluruhan. Ia memakai jubah ungu. Pakaiannya menunjukkan lekuk tubuh dan transparan.

Tonggak Dewa terkejut dengan kehadiran perempuan ini. "Kau.."

Zzzrrtt! Glarr!!

Orang tua itu tak mampu melanjutkan ucapnya, begitu si perempuan yang melayang di udara menggerakkan tongkatnya, selarik sinar berwarna putih berkelebat menghantam, menimbulkan suara ledakan bagai halilintar.

Tubuh Tonggak Dewa yang tersengat pukulan tak mampu bertahan, tubuhnya mengejang dan roboh. Sambaran yang menghantam barusan bukan hanya membuat si lelaki tua terkapar, tapi juga mengenai buaya raksasa, terdengar suara menggerung sebelum hewan menggeliat sesaat dan diam tak berkutik, menyisakan kepulan asap, seolah baru di rebus dalam air yang teramat panas.

Perempuan bertongkat melayang turun, berdiri di samping tubuh Tonggak Dewa tangannya membuat sebuah gerakan. Dan dari batang dayung yang masih tergenggam di tangan si tua, muncul seberkas sinar berwarna putih. Sebuah batu kristal melesat, dan beralih di genggaman si perempuan. Seringai puas tampak di wajah perempuan berwajah pucat itu. Dan tanpa mengucap kata ia kembali melayang ke udara.

Seperti kedatangannya, sosok perempuan itu mengabur terselimut diantara kabut, kejap laim sosoknya hilang tak berbekas. Suasana yang semula menggelap berangsur normal keadaan sekitar sungai kembali biasa, tak ada sesiapa. Rombongan siluman penyerang yang semula berlompatan kepinggir sungai melihat kemunculan perempuan bertongkat tak tampak lagi, entah kapan raibnya.

Baskara dan Si Jabrik yang melihat kejadian tadi dengan perasaan tegang mulai tersadar. Melihat sosok buaya raksasa yang mulai bergerak hanyut oleh arus sungai, Baskara dengan cepat melompat, menyambar tubuh si tua dan membawanya ketepi.

"Matikah ia?" tanya Si Jabrik.

Baskara meletakkan tubuh si tua dengan hati-hati. Jarinya menyentuh pergelangan tangan si lelaki tua. "Masih kurasa denyutnya. Hebat betul ketahanan tubuhnya. Coba ku empos energi murni, siapa tahu masih tertolong nyawanya." Mereka dudukkan tubuh tonggak Dewa hingga dalam posisi duduk bersila. Selagi Watu Aji menahan tubuh si orang tua agar tidak ambruk, Baskara menempelkan dua telapak tangan kepunggung, menyalurkan hawan murninya.

Sepeminum teh terdengar suara batuk dari mulut Tonggak Dewa. Melihat usahanya mulai membuahkan hasil, makin mantap si pemuda memberikan tambahan energi pada si orang tua.

Nafas Tonggak Dewa mulai kembali berangsur normal. Baskara melepas telapak tangannya. "Biarkan ia berbaring dulu," ucapnya.

Si Jabrik kembali membaringkan tubuh si orang tua. Mereka menunggu dengan sabar. Beberapa lama akhirnya si orang tua membuka matanya. Baskara tersenyum, ia ambil wadah minum yang menggantung dipinggang. "Minumlah orang tua." Ia dekatkan benda itu kemulut, Tonggak Dewa merespon dengan meneguk isinya sedikit demi sedikit. Setelah di rasa cukup, si pemuda mengembalikan wadah minum ke asalnya.

"Dudukkan aku," pinta si orang tua walau dengan suara lemah. Watu Aji segera memenuhi permintaannya.

"Siapa kalian?" tanyanya begiti telah duduk mapan.

"Kami hanya para pemuda perantau tuan."

"Kalian mengenaliku?" tanyanya lagi.

"Tidak Ki," jawab Baskara sembari menggeleng.

Lelaki tua itu mengamati Baskara dan Watu Aji dengan cermat. "Aneh, hampir semua penghuni Rimba Bara mengenaliku. Apakah kalian para perantau dari luar?"

"Begitulah adanya Ki, kami berdua termasuk bagian dari orang-orang yang tersesat," terang si pemuda.

Tonggak Dewa mengangguk-angguk. "Sudah kuduga."

"Kalau boleh tahu, siapakah Aki ini sebenarnya?" kini Baskara yang ganti ajukan pertanyaan.

Si orang tua menatap tajam mata si pemuda. "Aku Tonggak Dewa, alias Si Penakluk Iblis," jawabnya mantap.

Julukan yang menakutkan pikir pemuda itu. Dikala mulutnya hendak menanyakan satu soalan lagi, terdengar rutuk dari mulut si orang tua. "Sial! Mereka berhasil membawa  barang itu!" tangan kurusnya menggoyang-goyang dayung yang dipegangnya, dimana ada sebuah lubang seperti tercongkel pada bilahnya.

"Apa yang hilang Ki? Kami melihat kejadiannya, semacam batu kristal, perempuan itu yang mengambil, sangat berhargakah benda itu?"

Tonggak Dewa melempar tongkatnya jauh-jauh dengan kesal, "Perempuan itu! Wanita Siluman!" umpatnya.

"Siapakah dia Ki?"

"Siluman Penguasa Kuil Salju, dia yang berjuluk Tongkat Petir Kematian! Sial! Benar-benar sial! Kita harus merebut kembali Kristal Pembeku Api, kalau tidak gawat!" Ia lantas berusaha bangkit, namun tubuhnya terhuyung hampir jatuh kalau tidak segera di pegang oleh Watu Aji.

"Apanya yang gawat Ki?" tanya Baskara ikut merasa cemas.

"Kristal itu penakluk segala hewan buas dan monster! Bila di tangan yang salah, akibatnya akan luar biasa! Pemiliknya akan mampu mengendalikam seluruh hewan-hewan buas dan monster sebagai senjata pembunuh!" jelasnya dengan menggebu.

"Ki, kami siap membantu, tapi keadaanmu begini lemah, marilah istirahat dulu di pondok kami untuk memulihkan tenagamu, nanti sama akan kita fikirkan upaya merebut kembali benda mestika itu," bujuk Baskara.

Orang tua itu menyadari keadaannya yang tidak memungkinkan mau tidak mau terpaksa menuruti bujukan si pemuda. Dengan dipondong mereka berduapun membawa Si Penakluk Iblis meninggalkan tempat itu.

Bersambung.

EPISODE SEBELUMNYA | EPISODE SELANJUTNYA

Baca SERIAL RIMBA BARA lainnya.

Kumpulan Cerita Misteri, Cerita Silat, Cerita Horor, Cerita Remaja, Cerita Anak, Cerita Religi, Cerita Lucu, Cerita Sejarah, Cerita Petualangan, Cerita Detektif, Cerita Pendek, Cerita Serial, dll.

Post a Comment