RIMBA BARA - Keluarga Harimau Perak


Mulanya saja Si Jabrik terkesan tak begitu berminat dengan ajakan Baskara mendirikan tempat berteduh, tapi begitu pondok atau lebih tepatnya gardu itu telah berdiri, tak dapat di sembunyikan rasa girangnya, itu terbukti kini ia lebih sering duduk atau rebahan di tempat itu bila berada di sekitar pondok utama, sedang dipan kayu di gesernya di samping gardu untuk meletakkan Pedang Raja.

Keberadaan pemuda berambut jabrik sangat meringankan buat Baskara, terutama soal persediaan makanan, hampir tiap hari ia selalu masuk hutan, dibawanya pulang hewan hasil tangkapan seperti rusa, kelinci, burung, ataupun ikan. Satu kali pernah pula ia membawa bongkah-bongkahan logam berwana kekuningan. Emas, itu perkiraan mereka, yang di peroleh jabrik di sekitar sungai. Maka di mintalah Laras dan Tanjung untuk menyimpannya.

Memang benar yang menyerang beberapa malam lalu adalah Para Gulot, si tua Raganata yang memastikannya, "Mata merah, cakar tajam, menyerang berkelompok, dan ganas. Merekalah Para Gulot, beruntung ananda Watu Aji tak terkena cakarannya, karena cakar-cakar mereka beracun, tubuh akan panas dingin biar hanya tergores olehnya."

Waktu Baskara menanyakan kenapa Para Gulot membawa kabur tiap kali ada anggota mereka yang terluka, jawaban Ki Raganata cukup mencengangkan. "Sekalipun tidak terlalu sulit bagi seorang ksatria melawan mereka, tapi Para Gulot termasuk golongan yang sukar mati, mereka memiliki daya pemulihan yang sangat tinggi, sekalipun luka yang di derita sangat parah, dalam waktu beberapa hari dapat sembuh dengan sendirinya."

Dan saat di tanyakan pula bagaimana cara membunuh mereka, si orang tua menjawab, "Penggal kepalanya, atau serang dengan energi berdaya agni."

***

Siang itu, di satu tempat belasan orang tampak sibuk mengerjakan sesuatu, mereka tengah bergotong royong menebangi pepohonan. Teriknya sinar matahari tak menyurutkan semangat untuk memangkasi batang dan ranting-ranting pohon yang telah tumbang. Ada dua orang yang tak ikut kerja, keduanya duduk diatas pelana kuda-kudanya, memakai baju zirah berwarna keperakan, dua-duanya berwajah tampan dan gagah. Wajah mereka hampir tak ada beda, hanya yang seorang memelihara kumis tipis, membuat pesona kelakiannya lebih terpancar. Ada semacam senjata unik bergantung di pinggang masing-masing, berbentuk cakar panjang terbuat dari logam, selain itu ada pula busur dan anak panah yang mereka bawa.

Selagi sibuk kerja, seorang dari rombongan itu satu ketika memisahkan diri, ia berlari ke arah semak-semak. Badannya yang gempal bergoyang-goyang karena langkah tergesa. Apa sebab? Kiranya tak tahan ia menahan untuk buang air besar. Selesai melepas hajat, kini dengan santai ia melangkah kembali ke tempat kawan-kawannya. Tapi tak di nyana, di sebalik pohon besar dekat tempat ia buang air besar, melingkar seekor ular sanca yang teramat besar, sedari tadi ular tersebut mengamati tubuh gemuk si pemuda. Begitu langkah si gempal kembali melewati pohon tempatnya melingkar, dengan gerak cepat di sambarnya tubuh si lelaki, dalam waktu singkat tubuh gemuk itu sudah terbelit.

Akhh!

Satu teriakan tercekik keluar dari mulutnya. Tidak terlalu keras, belasan rekannya yang tengah sibuk dengan pekerjaan masing-masing bahkan tak mendengar. Tapi tidak dengan dua orang pemuda gagah yang berdiri di atas kuda masing-masing. Seorang diantaranya yang memiliki kumis tipis menghela kudanya ke arah suara. Melihat apa yang terjadi, tak membuat si pemuda berzirah keperakan itu menjadi panik. Ia cepat bentang busur. Kejap lain, sebatang anak melesat bagai kilat.

Crass!

Tepat menembus kepala ular yang siap menelan korbannya. Kontan si ular terkulai lemas. Si pemuda gempal menggelosoh jatuh dengan nafas terengah-engah.

Pemuda yang menolongnya membawa kuda mendekat. "Bangunlah, belum lagi remuk tulang-tulangmu bukan?"

Si gempal dengan susah payah bangun, tapi ia hanya mampu terduduk, wajahnya bersimbah peluh.

Sebuah wadah air minum di lemparkan, "Minumlah. bila sudah membaik, bergabunglah kembali dengan kawan-kawan."

Selesai berucap, ia menggerakkan kudanya ke tempat semula. "Apakah?" tanya pemuda penunggang kuda kedua.

"Ular," jawabnya singkat.

Tak lama, pemuda yang hampir tertelan ular kembali berkumpul dengan rekan-rekannya walau dengan langkah terseok.

"Kurasa kita sudahi untuk hari ini Kakang, ada yang menarik kulihat dari arah timur," ucap si pemuda berwajah klimis.

"Hal menarik?"

"Asap Kakang, kurasa perlu kita selidiki, siapa yang membuatnya."

Pemuda berkumis tak bertanya lebih lanjut, dari bibirnya yang terdengar satu siulan. Orang-orang yang tengah bekerja menoleh ke arah dua penunggang kuda.

"Cukup untuk hari ini, lanjutkan esok! Kami berdua ada urusan yang tak bisa ditunda!"

Mendengar apa yang di ucapkan. Para pekerja tak ada yang membantah, mereka segera membereskan peralatan yang di gunakan.

Dua pemuda di atas kuda itu adalah Wira Buana dan Arga Kesuma, merupakan kakak beradik yang tinggal di Hunian Cakra Dewa. Mereka bagian dari Keluarga Harimau Perak, yang merupakan Ksatria-ksatria Tingkat Satu. Tugas mereka adalah memastikan keamanan Hunian Cakra Dewa.

Setelah rombongan pekerja bergerak pulang. Mereka berdua memacu kudanya ke arah timur. Setelah melewati medan yang cukup sulit, akhirnya tibalah mereka berdua.di kawasan berumput, memang ada pepohonan, tapi jarang-jarang tumbuhnya.

Terlihat dari kejauhan kereta-kereta kuda, kiranya dari sanalah asal asap yang dilihat Arga Kesuma. Mereka melajukan kuda mendekat.

Kehadiran dua pengunjung sudah terlihat oleh Keluarga Pengembara. Nyonya Syakila yang mula-mula melihatnya, ia memberitahu suaminya yang tengah membelah kayu. Kudeto yang bertelanjang dada mengenakan pakaian yang di gantung pada sebuah batang pohon. Wajahnya tampak gembira melihat siap yang datang.

"Ah ah, tak dinyana hari ini kami kedatangan tamu istimewa, dua anggauta Keluarga Harimau, silahkan-silahkan," sambutnya.

Dua pemuda diatas kuda melompat turun, setelah menambatkan kuda, dengan santun menghormat pada Kudeto dan Syakila.

"Salam paman dan bibi," ucap Wira Buana.

"Mari-mari, kebetulan isteriku memasak sup spesial, kalian harus mencobanya." Kepala Keluarga Pengembara mempersilahkan keduanya duduk di kursi-kursi kayu yang ada. Nyonya rumah sibuk menyiapkan sajian buat para tamu.

"Tentu urusan yang penting hingga dua ksatria harimau menjelajah hutan hingga melintas siang," kata Kudeto memulai percakapan saat Nyonya Syakila telah menyuguhkan hidangan.

Wira Buana tersenyum, "Tidak juga paman, hanya rasa ingin tahu kami yang membawa hingga kemari, dan jujur kami heran ternyata paman sekeluarga yang kami temui, bukankah jalur ini tidak membawa ke hunian manapun paman?"

Kudeto mengangguk, "Dari sini ke Cakra Dewa tidaklah terlalu jauh, dan jalur ke selatan tak ada lagi hunian, dan untuk saat ini kami memang tidak berniat kemana-mana?"

Dua anggota Harimau Perak saling pandang, "Apakah paman berhenti berdagang?" tanya Arga Kesuma.

"Tentu tidak, keadaan sedang tidak aman, tiap hunian kini terlalu ketat penjagaannya, tiap kali kami masuk selalu di periksa, orang-orang itu bagai tak mengenali kami sekeluarga, menyebalkan," jawab Kudeto setengah menggerutu.

"Bukannya tak mengenali, itu sekedar berjaga-jaga paman," Arga Kesuma merasa tidak enak.

"Ha ha.. ya ya aku tahu tuan muda, untuk itulah kami memutuskan bermukim di sini sementara waktu."

"Kenapa paman sekalian tidak tinggal saja di Hunian Cakra Dewa? Bukankah itu lebih baik?" ujar Wira Buana.

"Kalian tentu mengenali kami, kaum bebas yang tak betah terkurung berlama-lama di keramaian." Sehabis berkata ia mempersilahkan dua tamunya mencicipi hidangan yang telah di sediakan. Merekapun menghentikan percakapan untuk menikmati sup spesial buatan Nyonya Syakila.

Dari arah selatan terlihat dua gadis mendekat. Nadia dan Iliana. Dua puteri Kudeto itu habis mengunjungi pondok Baskara atas perintah ayah mereka, membalas ramah tamah yang di unjukkan si pemuda beberapa waktu lalu. Sayangnya si pemuda tak mereka jumpai, hanya ada dua gadis yang mengaku rekan Baskara. Setelah bercakap panjang lebar serta menyerahkan bingkisan dari ibunya berupa kue-kue kering, merekapun pamit.

Melihat dua gadis ini, dua anggota Keluarga Harimau Perak tak mampu menyembunyikan perasaan mereka, jelas terpancar kegirangan di wajah masing-masing. Semenjak mengenali Keluarga Pengembara, dua puteri Kudeto itu telah menarik hati banyak pemuda, termasuk Wira Buana dan Arga Kesuma. Selain memiliki kecantikan luarbiasa, pandai bertempur pula, siapa yang tidak jatuh hati? Apalagi dua gadis ini terkenal ramah dan mudah akrab, sehingga setiap pemuda yang diajak bercakap, terbuai hayalannya.

Nadia dan Iliana tersenyum senang melihat siapa yang hadir. "Kakang Wira dan Kakang Arga, sudah lamakah berdua tiba?" kata Nadia menyapa keduanya.

Berbunga hati dua pemuda mendengar sambutan Nadia. "Belum lama adik. Baru darimanakah kalian berdua?"

Nadia dan Iliana unjukkan salam hormat begitu dekat. "Sekadar jalan-jalan Kakang, jawab Iliana. Mereka berdua lantas ikut duduk bersama kedua orang tuanya.

Kehadiran dua puteri Kudeto membuat suasana lebih ceria. Banyak hal yang di bicarakan, mulai kabar masing-masing, beberapa kejadian yang mereka temui, hingga perkembangan di hunian Cakra Dewa.

"Selalu berwaspada paman, begitu juga dengan nyonya, serta adik Nadia dan Iliana, desas desus banyak beredar, Para Iblis tampaknya akan menunjukkan taringnya kembali."

"Seberani itukah mereka, bukankah pemimpin mereka kabarnya terluka parah dan tak memiliki daya kembali seperti sedia kala?" tanya Iliana.

"Memang begitulah yang kita sama tahu adik Lia. Tapi segala kemungkinan bisa terjadi, satu kabar penting yang kami sirap, yakni tentang munculnya pemimpin baru," jawab Wira Buana

"Pemimpin baru? Maksud tuan muda Pemimpin Para Iblis?" Nyonya Syakila yang bertanya.

"Benar Bibi, kami dengar, ia disebut-sebut sebagai Pangeran.."

"Pangeran? Pangeran Iblis..?" desis Kudeto.

Bersambung.



Kumpulan Cerita Misteri, Cerita Silat, Cerita Horor, Cerita Remaja, Cerita Anak, Cerita Religi, Cerita Lucu, Cerita Sejarah, Cerita Petualangan, Cerita Detektif, Cerita Pendek, Cerita Serial, dll.

Post a Comment