Gaung Semangat di Kala Petang


Ruangan itu gelap. Meringkuk di dalamnya seorang pemuda. Gibran namanya. Walau hari menjelang sore, Gibran masih asyik dengan khayalannya, tak peduli ia biar hanya berbalut kain yang mulai usang, khayalannya tetap dibiarkan berkelana kemana-mana.

Dunia nyata terkadang membuat pemuda itu larut dalam kebingungan. Kebingungan bagaimana bersikap. Bagaimana tidak, manusia-manusia di sekitarnya terkadang selalu menyesuaikan perilaku sesuai dengan kemauan mereka. Maka bagi seorang Gibran yang selalu berusaha bersikap tampak baik, segala laku yang di perbuatnya nyata sia-sia, karena bagaimanapun ia bersikap, tentu akan ada komentar yang muncul mengkritisi polah upayanya.

Ia geliatkan tubuh, pegal ia rasa. Langit-langit ruang yang hitam bak media khayal tanpa batas. Angannya kembara pada kenyataan-kenyataan pahit yang pernah ia rasa. Dulu,  Gibran adalah pekerja yang bekerja sesuai dengan tugasnya, membina hubungan baik dengan sesama rekan dan pimpinan. Bahkan karena disiplin dan tanggung jawab yang ia unjukkan, hampir selalu bila ada tugas tambahan pimpinan menugaskannya, karena yakin ia pasti dapat menyelesaikan dengan baik.

Tapi siapa nyana, diantara rekan-rekannya yang tampak manis muka ternyata berhati busuk, menikam dari belakang. Mereka memburuk-burukkan dirinya, mengacau tugasnya, hingga membuat citranya amblas dimata pimpinan. Huh! Mengingat semua itu tak terasa Gibran mengepalkan tangan. Rasanya ia ingin membalas semuanya dengan amukan mematikan.

Gibran menggeleng. Tidak, itu bukan karakternya. Ia sudah terbiasa welas asih, mengalah dan respek dengan orang lain, jadi ya sudahlah, jiwa rapuhnya membiarkan semua sakit, kekecewaan dan ketidakbahagiaan ia rasa sendiri. Tak perlu berdendam.

Dunia nyata memang kejam. Dunia nyata penuh kemunafikan. Dunia nyata adalah dunia yang takkan mampu ia kendalikan. Itulah mengapa ia suka kesendirian seperti saat ini. Mengarungi dunia khayal. Dunia yang ia cipta dalam angan, dan semua alur peristiwa dapat ia gubah sesuai dengan kemauannya.

Gibran tersenyum sendiri.

Tahu! Tahu! Pisang Goreng! Bakwan! Gorengan!

Dahi Gibran mengerut, mendengar suara itu baru ia sadari sudah lama ia tak mencicipi jajanan gorengan. Dengan malas ia bangkit dan keluar.

Gorengan!

Suara panggilan Gibran membuat langkah si penjual berhenti, menengok ke arah si pemuda. Penjualnya seorang anak berusia kurang lebih sepuluh tahun. Dengan pakaian sederhana, bahkan terlihat beberapa tambalan di bajunya. Sejenak pemuda itu memandangi si penjual gorengan. Ah, kasihan betul anak ini, masih sedemikian muda harus bersusah payah berjualan gorengan. Tentu untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.

"Beli gorengan Tuan?" tanya si anak sambil tersenyum.

Gibran mengangguk.

"Berapa tuan?" tanya si anak kembali.

Pemuda itu mengangsurkan uang dua puluh ribuan ke si anak.

"Campur-campur atau pilih yang mana tuan?"

"Campur-campur." jawab Gibran.

Si anak mengambil sebuah kantong plastik, kemudian dengan cekatan memasukkan gorengan kedalamnya, lantas diangsurkannya plastik itu.

Gibran terdiam, ada sesuatu yang mengganggu fikirannya.

"Tuan? Ini gorengannya."

Ucapan si anak membuyarkan lamunannya. Diraihnya bungkusan plastik itu.

"Terimakasih tuan." ucap si anak, dan membalikkan tubuh.

"Eh, tunggu." cegah Gibran.

Si anak mengurungkan langkahnya. "Ada apa Tuan?"

Sejenak mulut Gibran terkunci, tapi kemudian ia bertanya, "Apakah kamu bahagia dengan apa yang kamu lakukan ini?"

Si anak mengangguk. "Tentu Tuan."

"Apa alasanmu?"

Si anak tampak agak bingung, "Karena Tuan, karena ini laku yang harus saya jalani."

Gibran termenung mendengar jawaban si anak. Si penjual gorengan itu melihat si pemuda hanya terdiam membalikkan badan, meninggalkan Gibran yang larut dalam fikirannya.

Beberapa lama kemudian mata Gibran seakan menyorotkan satu kegairahan hidup. Ia mengangguk-angguk dengan senyum kebahagiaan. Ah ya, kenapa ia mesti bersusah hati dengan semua yang ia alami? Bukankah ini semua sudah takdir-Nya, dan tiap-tiap dari kita memiliki peran dan jalan hidup yang berbeda? Jalani dengan penuh kesadaran, dan pasti takkan ada kekecewaan melanda hati.

Ia puas dengan kesimpulan yang baru melintas di benaknya. Gibran berbalik, langkahnya tidak lemah lagi, penuh semangat memaknai dunia.


Di pinggir jalan, si anak penjual gorengan menatap tempat terakhir ia menjual gorengan tadi. Siapa pemuda yang barusan membeli gorengannya? Dan, kenapa ia masuk ke arah situ? Bukankah di dalam itu... Walau suasana sudah menjelang malam, mata anak yang awas masih dapat membaca tulisan besar yang ada di pinggir pagar di seberangnya.. Tempat Pemakaman Umum....

Sekian.

Kumpulan Cerita Misteri, Cerita Silat, Cerita Horor, Cerita Remaja, Cerita Anak, Cerita Religi, Cerita Lucu, Cerita Sejarah, Cerita Petualangan, Cerita Detektif, Cerita Pendek, Cerita Serial, dll.

Post a Comment

Previous Post Next Post