Si Panah Bintang


Adalah seorang pemuda bernama Baruna, tinggalnya di sebuah desa di kaki bukit, ia di panggil oleh orang-orang desa dengan sebutan Si Panah Bintang, karena memiliki kemampuan memanah yang sangat cepat dan selalu tepat pada sasaran, tapi walau demikian ia bukanlah pemuda yang sombong, ia memiliki hati yang baik, karena tidak sungkan-sungkan membantu penduduk desa yang membutuhkan bantuannya, dan iapun akrab bergaul dengan pemuda-pemuda lain seusainya, karena itulah penduduk desa mencintainya dan karena kelebihannya itu ia selalu dikatakan pula sebagai Anak Dewa.

Baruna gemar berburu, tiap minggu sering ia kehutan untuk berburu rusa, dan setiap mendapat hewan buruan, tak lupa ia bagikan ke penduduk desa. Begitu juga minggu itu, pagi-pagi sekali Baruna sudah menyiapkan anak panahnya, ia berniat berburu hari itu. Sesampai di hutan ia segera mencari hewan buruan, tapi sungguh aneh, sudah hampir beranjak sore tak satupun hewan buruan ia temui, padahal biasanya tak membutuhkan waktu lama ia untuk berburu, dan segera pulang membawa hasil. Akhirnya walau dengan hati sedikit kesal diputuskannya untuk pulang, ditengah perjalanan pulang ia agak kaget saat di jumpainya seekor ular sebesar paha orang melintang di depan jalan, bergerak pelan-pelan, perasaan Baruna yang tengah jengkel karena tidak mendapat hewan buruan bangkit kembali, lantas saja tanpa berpikir panjang ia pentangkan busurnya dan di lepaskan anak panah kearah si ular.

Crass!

Ular itu menggeliat sesaat dan kemudian terdiam mati. Tapi kemudian Baruna kaget, saat tiba-tiba bangkai ular tersebut di selimuti asap kelabu, dan sesaat kemudian ular di depannya sirna, berganti sesosok tubuh orang tua yang mengerang kesakitan karena dadanya tertancap panah.

Baruna terdiam bingung menyaksikan keanehan tersebut. Orang tua itu coba merangkak tapi tak mampu, kepalanya di tolehkan kearah Baruna dengan pandangan marah.

“Anak muda kenapa kau berlaku keji kepadaku?” Tanya orang tua itu dengan tatap tajam.

“A..aku, pikir kau hanya seekor ular orang tua,” jawab Baruna gugup dan dengan muka pucat.

“Jika aku ular apa lantas kau pantas membunuhku padahal aku tak menyakitimu?” Tanya orang tua itu kembali. Baruna terdiam tak mampu bersuara.

“Tidak layak sesama makhluk membunuh tanpa sebab yang jelas, kau lepaskan panahmu tanpa sebab, bukan karena bermaksud memburuku, tapi karena sekedar menuruti hawa amarahmu.”

Baruna heran, orang tua itu seakan tahu apa yang dialaminya.

“Dengar anak muda,” lanjut orang tua itu, ”Karena kecerobohanmu membunuh makhluk tanpa sebab, aku akan melontarkan kutuk padamu! Pada saatnya nanti kau akan memiliki kulit seperti kulit ular, dan tubuhmu akan berbau amis!”

Baruna kaget mendengar ucapan orang tua itu, mulutnya terbuka ingin berucap, tapi asap kelabu muncul kembali menyelimuti tubuh orang tua tersebut, dan saat asap kelabu hilang, tubuh orang tua itu raib, menyisakan seonggok abu.

Baruna gundah, ia segera bergegas pulang, dan berusah melupakan kejadian yang menimpanya.

Keesokan harinya betapa terkejutnya ia saat melihat perubahan pada dirinya, kedua tangannya bersisik dan saat ia bercermin ternyata seluruh tubuhnya bersisik, dan mengeluarkan bau amis.

Saat penduduk desa mengetahui perubahan yang terjadi pada dirinya, orang-orang desa lantas menjauhinya karena merasa jijik. Baruna yang menyadari keadaan dirinya memilih lebih banyak tinggal di dalam rumah.

Suatu hari, dikala matahari belum lagi tinggi, terdengar suara-suara teriakan dari luar memanggil dirinya. Ketika Baruna keluar ternyata puluhan orang-orang desa telah berkumpul di depan rumahnya.

“Saudara-saudaraku ada apakah ini?” Tanya Baruna.

Seorang tua yang adalah kepala desanya maju menghampiri, ”Baruna aku mewakili seluruh penduduk desa yang hadir disini, bahwa apa yang kau alami bagi kami adalah kutukan dari Sang Kuasa, dan kami takut akan tertular sepertimu mendapat kutuk bila kau masih tetap berada di desa kami,” ucapnya.

“Maksud bapak?” tanya Baruna.

“Maksud kami demi kebaikan seluruh desa sebaiknya kau segera pergi meninggalkan desa ini,” ucap kepala desa, didiring teriakan-teriakan mengiakan dari segenap penduduk desa.

Baruna sesaat terdiam, seandainya ia memilih tingal tentu tak ada satupun dari penduduk desa yang akan mempu menghalanginya karena ia memiliki kesaktian memanah, tap Baruna menyadari keadaan dirinya, dan ia lebih memntingkan kebaikan bagi seluruh desa karena itu ia mengangguk.

“Baiklah pak saya mengerti, hari ini juga saya akan meninggalkan desa.”

Mendengar jawaban Baruna, kepala desa segera menyuruh penduduk bubar. Siangnya selesai berkemas, Baruna segera meninggalkan desa, ia berniat tinggal di sebuah bukit tak berapa jauh dari desa. Tapi sebelum kesana terlebih dulu ia kehutan tempata dimana ia membunuh ular jejadian itu. Tiba disana, Baruna bersimpuh, air matanya mengalir.

“Oh Sang Kuasa ampunilah segala dosa saya, saya mohon kembalikanlah keadaan diri saya seperti sedia kala,” ucapnya lirih.

Selesai berdoa Baruna meninggalkan hutan, seperti niatnya semula ia segera menuju bukit, tempat baru yang akan di diaminya. Beruntung Baruna karena dibukit itu ia menemukan sebuah goa yang cukup lega. Dan untuk makan ia tak mengalami kesulitan karena ada senbuah sungai kecil yang mengalir di dekat goanya, yang menyediakan banyak ikan, selain tiu banyak pula hewan-hewan di sekitar bukit yang dapat diburunya.

Setiap hari Baruna selalu berdiri di depan goanya, dari sana ia dapat memandadang kearah desanya, ada kerinduan untuk kembali ke kampung halamannya, tapi perasaan itu selalu terkikis saat menyadari keadaan dirinya.

Beberapa tahun berselang, Baruna tetap tinggal di dalam goa dalam kesepian. Siang itu selsesai berburu, kembali ia menyempatkan diri untuk menengok kearah desa sekdar melepas kerinduan, tapi kali ini ia heran, tampak asap putih bergulung-gulung dari desanya, ia heran, apakah terjadi kebakaran? Dari heran berubah jadi terkejut saat dia menyadari sumber kepulan asap makin bertambah banyak. Kebakaran! Pasti kebakaran! Pikirnya, tapi kenapa sebanyak itu? Dalam keraguan dan perasaan ingin tahu Baruna memutuskan unutk segera turun bukit, bergegas ia menyambar busur dan anak panahnya kemudian segera berlari kearah desa.

Dugaannya ternyata benar, desanya terbakar, dan ternyata ada yang sengaja membakarnya, itu di sadarinya saat dilihat banyak orang-orang berkuda yang tak di kenalinya membawa obor dan senjkata tajam. Beberapa penduduk berlarian ketakutan. Perampok tebak Baruna, seorang lelaki berkuda melihat Baruna walau terkejut melihat penampilan Baruna, lelaki itu langsung, menghampiri dengan mengayunkan pedangnya. Baruna berkelit tangannya meraih anak panah, busur terpentang, tedengar teriakan tercekik saat panah Baruna bersarang di tenggorokan lelaki itu.

Brukk!

Tubuh lelaki itu terjungkal tak berdaya ketanah.

Seorang penduduk sambil berlari menghampiri Baruna,

“Oh Baruna tolong kami, desa kita di jarah rampok, mereka kejam Baruna, membunuh seenaknya,” ucap penduduk itu.

Semangat Baruna terpacu saat mendengar kata desa kita, ia melompat keatas kuda tunggangan si perampok yang tewas, dan membedalnya kedalam desa, panah Baruna melesat kesana kemari, tak berselang lama tak ada lagi suara hiruk pikuk, belasan mayat para perampok bergelimpangan memenuhi jalan bergelimang darah, Baruna duduk diatas kuda dengan gagah, seakan panglima perang yang menang perang. 

Penduduk bersoak melihat para perompak yang berhasil di tumpas Baruna.


“Hidup Baruna, Naga Perkasa Sang Pemanah Bintang,” teriak penduduk mengelu-elukan Baruna, rupanya rasa jijik mereka langsung sirna begitu melihat jasa Baruna yang telah menyelamatkan desa dan nyawa mereka.

Saat mereka mengelu-elukan Baruna tiba tiba alam berubah, langit mendung, bunyi guruh menggelegar dan terdengar suara menggaung…

“Baruna! Cukup sudah penderitaanmu! Kesabaran dan kebaikanmu telah melunturkan kutukan yang kau alami!”

Selesai gaung suara itu terdengar, dari langit hujan tercurah dengan deras, Baruna memandang kelangit, mulutnya tersenyum meresapi hujan yang merupakan karunia dari Sang Kuasa.  Hujan yang mengguyur bukan tak berfaedah baginya, karena begitu kena guyuran hujan, sisik yang menempel di tubuhnya terkelupas, dan tubuhnya kembali seperti semula.

“Terimakasih Wahai Pemilik Semesta!” teriak Baruna girang.

Penduduk pun kembali bersorak melihat perubahan diri Baruna, yang merupakan berkah Sang Kuasa.

Sekian.

Kumpulan Cerita Misteri, Cerita Silat, Cerita Horor, Cerita Remaja, Cerita Anak, Cerita Religi, Cerita Lucu, Cerita Sejarah, Cerita Petualangan, Cerita Detektif, Cerita Pendek, Cerita Serial, dll.

Post a Comment

Previous Post Next Post