Aroma di Kala Hujan


Riyan mencium tangan ibunya sebelum berangkat sekolah. Ia  seorang anak berusia lima tahun, sekolah disebuah taman kanak-kanak swasta, kurang lebih 20 menit berjalan kaki dari rumahnya.

“Bu, Riyan berangkat dulu,” pamitnya pada sang Ibu.

Ibunya membelai rambutnya seraya berucap, “Hati-hati dijalan.”

Riyan mengangguk, kemudian melangkahkan kaki keluar rumah. Matahari memancar indah, sinarnya terasa hangat menyentuh kulit. Dedaunan di pinggir jalan tampak masih basah dengan tetes-tetes embun, tampak di kejauhan sisa-sisa kabut pagi putihnya mulai memudar, tersibak oleh cahaya mentari.

Paling suka ia berangkat sekolah sambil memandangi suasana di sekitarnya, rasanya dapat menambah semangat dan melupakan jarak yang agak jauh ditempuhnya.

Sampai di perempatan jalan, satu suara memanggil, “Yan! Riyan! Tunggu!”

Riyan menoleh, dilihatnya dibelakang sebuah becak dikayuh perlahan, di dalam becak seorang gadis cilik melambai-lambai, Riyan tersenyum, dibalasnya lambaian tangan gadis cilik itu, “Meri!"

Becak semakin dekat dan berhenti di depan Riyan, Meri tersenyum girang, “Ayo naik sini! Berangkat denganku!” ucap Meri menawari, lantas si gadis cilik memberi ruang buat Riyan duduk.

"Ayo den Riyan, naiklah biar lekas sampai ke sekolah," ujar satu suara orang dewasa. Suara si penarik becak.

Riyan tak menolak, langsung saja ia naik ke atas becak dan duduk disamping Meri, becakpun kembali dikayuh. Meri menepuk bahu Riyan, "Kan berulangkali kubilang, kalau berangkat tunggu aku, kita berangkat bareng!” Riyan cuma nyengir ketika melihat Meri lantas memberengut kesal.

Meri satu sekolah dengan Riyan, kalau Riyan selalu jalan kaki  karena ayahnya keburu berangkat kerja sebelum waktunya ia sekolah, sedang Meri selalu diantar oleh ayahnya kesekolah, memang ayah Meri seorang penarik becak. Gadis cilik itu selalu baik padanya, apalagi ayahnya juga selalu berkunjung kerumah setiap malam, baik untuk ngobrol atau numpang nonton televisi, tapi biarpun begitu Riyan terkadang malu kalau harus nebeng becak milik Meri terus.

"Ayah Aden apakah sudah berangkat kerja?" suara ayah Meri memecah lamunan.

"Iya Pak, sudah berangkat duluan," jawab Riyan.

"Lain kali bareng Meri aja Den, naik becak, capek kalau jalan, dari rumah ke sekolahkan cukup jauh," ucap Ayah Meri lagi.

Riyan diam tak menjawab, malulah kalau setiap hari nebeng, pikirnya. Lagipula ia lebih suka jalan kaki, banyak pemandangan lebih lama ia bisa nikmati untuk dilihat.

"Iya lho Yan, kamu ni kenapa sih, akukan dah bilang, berangkat bareng aku aja," timpal Meri.

Riyan meringis mendengar ucapan Meri, dan untuk menyenangkan hati gadis cilik itu ia mengangguk-angguk.

Tak terasa mereka sudah sampai di sekolah. Tampak baru beberapa siswa dan siswi yang hadir, sebagian masih ditunggui orang tua mereka. Riyan dan Meri segera turun dari becak, tak lupa di ucapkannya terimkasih pada Ayah Meri.

Hari itu ada pelajaran prakarya disekolah, membuat bentuk benda dengan tanah liat, hasilnya tangannya belepotan tanah liat dan bentuk yang dibuatnya bisa dibilang nggak bagus, ia terlalu banyak mencampurnya dengan air. Waktu istirahat Riyan sibuk memoteli bunga dihalaman sekolah bersama anak-anak laki, katanya lebah biasanya suka hinggap di atas bunga, dan upah buat Riyan tangannya harus mendenyut sakit karena tersengat seekor lebah kecil, belum lagi dimarahi ibu guru akibat kelakuan mereka.

"Makanya jangan bandel," ucap Meri pelan sehabis Riyan di nasehati Bu Guru agar jangan mengulangi perbuatannya merusak tanaman bunga di sekolah.

Riyan cuma bisa memberengut.

Akhirnya bel pulang berbunyi, anak-anak riang gembira mendengarnya, begitu juga Riyan. Tiba diluar suasana gelap, mendung rupanya, segera ia berlari pulang tanpa menunggu Meri. Tak lama berlari kaki kecilnya terasa lelah, menyesal ia kenapa tadi tak menunggu Meri, kini tak ada harapan bakal bisa menebeng becak ayahnya, karena tadi ia melalui jalan yang bebeda dengan jalan yang biasa dilalui Meri dan ayahnya.

Lambat-lambat ia menyusuri jalan setapak sambil menunduk kelelahan, tak dipedulikannya lagi langit yang makin gelap, biarlah hujan, toh nanti bajunya bisa dicuci oleh ibu sesampainya dirumah. Selagi ia berjalan mata Riyan terpandang benda mengkilat di depannya, setelah dekat barulah ia tahu, rupanya uang koin yang dilihatnya, bukan cuma satu, ada lima buah uang koin tergeletak dijalan. Punya siapa? Riyan menoleh kekiri dan kanan, tak ada sesiapa dilihatnya, biarlah kubawa pulang, nanti kutunjukkan pada ibu. Lantas ia pungut uang-uang koin itu dan memasukannya dalam saku.

Hujan turun jua, padahal jarak tempuh kerumah masih separuhnya, Riyan berjalan lambat-lambat dalam guyuran hujan, sungguh apes betul nasibnya hari itu, apalagi ketika ia rasakan perutnya terasa mulas, aduh ada-ada saja, mau buang air besar dimana dalam keadaan begini. Ditahannya mati-matian rasa mulas diperutnya yang bagai dipilin-pilin, Riyan berjalan makin lambat. Sampai ia berpikir, ah biarlah keluar dijalan, hujan deras beginipun pasti tak ada yang memperhatikan. Benar saja, tak kuat ia menahan dorongan perutnya, keluar jua apa yang ditahan dari pantatnya, dan jatuh dijalan terbawa air hujan.

Lega perut Riyan setelahnya, walau ia geli sendiri membayangkan apa yang baru dialaminya. Setelah perutnya terasa ringan, ia percepat langkah, yang ditakutkannya bila ada petir menyambar saat hujan, sedang mendengar suaranya saja bikin Riyan amat takut. 

Sampai dirumah Riyan buru-buru mengetuk pintu lewat belakang, untung ibunya sedang memasak di depan tungku di dapur. “Ya ampun Riyan, kamu kok pulang hujan-hujanan begitu!?” Riyan tak mempedulikan teguran ibunya, segera ia merogoh kantungnya dan mengeluarkan uang-uang koin yang barusan ditemukannya.

“Lihat ibu, barusan tadi Riyan menemukan ini dijalan," ucapnya sambil mengangsurkan koin-koin temuannya ke arah Ibunya.


Ibunya mengambil koin-koin itu, memandanginya sejenak, kemudian ia melempar koin-koin itu kedalam tungku yang menyala. “Ibu kok dibakar!?” protes Riyan. Ibunya diam saja, tak lama ia mengorek-ngorek tungku, mengeluarkan koin-koin itu dari bara yang menyala, “Biar bersih dari kotoran Yan..” ucap ibunya kemudian.

“Terus uangnya buat apa Bu?” tanya Riyan.

“Uang ini pasti milik orang, tapi kita tidak tahu harus memulangkan kesiapa, kamu yang menemukannya, nanti uang ini buat Riyan jajan ketimbang mubazir, semoga yang kehilangan mengikhlaskan,” jawab ibunya.

Riyan girang, namun ibunya tiba-tiba mengendus-endus didepannya, “Eh, ini aroma apa Yan? Baunya kok nggak enak begini?” tanya sang ibu.

Riyan baru ingat dengan kejadian dikala hujan tadi, “Anu Bu, itu tadi Riyan...,” ia ceritakan kejadian memalukan yang dialaminya dijalan barusan.

“Astaga Riyan! Ayo cepat kekamar mandi, kamu ini bisa-bisanya bikin aroma dikala hujan!” teriak ibunya sambil tertawa. Dengan muka merah Riyan segera berlari ke kamar mandi.

S e k i a n

Kumpulan Cerita Misteri, Cerita Silat, Cerita Horor, Cerita Remaja, Cerita Anak, Cerita Religi, Cerita Lucu, Cerita Sejarah, Cerita Petualangan, Cerita Detektif, Cerita Pendek, Cerita Serial, dll.

Post a Comment

Previous Post Next Post