Pewaris Cincin Dewa


Lelaki itu duduk di sebuah singgasana, postur badannya tegap, memakai baju zirah berwarna keemasan, raut wajahnya begitu gagah, dihiasi dengan kumis dan cambang yang dicukur rapih. Singgasananya terbuat dari batu marmer yang di ukir begitu indah, dengan hiasan kepala naga di kedua sikunya.

Di sebelah depan, berjejer kursi-kursi di kanan dan kiri sejumlah 14 buah. Manusia-manusia yang tak kalah gagah duduk di masing-masing kursi tersebut. Menilik dari perbawa mereka, nyatalah bukan orang-orang sembarangan, apalagi membekal berbagai senjata baik di genggam, diselipkan di pinggang maupun disampirkan dipunggung. Pakainnyapun tak kalah mewah, dengan baju zirah yang mengkilat. Siapakah lelaki itu, dan orang-orang yang ada didepannya?

Inilah istana Pelangi, terletak di sebuah pulau kecil. Lelaki yang gagah duduk di atas singgasana adalah sang penguasa pulau. Sang Panca Dewa julukannya, nama aslinya tidak ada yang tahu sekalipun para bawahannya.

Panca Dewa menatap kedepan dengan sepasang mata tajamnya, lantas ia berdiri, tangan kanannya di acungkannya. nyata terlihat, di jari-jari kanannya ada empat buah cincin dengan warna-warna berbeda. Mulutnya membuka...

"Ketahuilah wahai pelindung istana! Hari ini kalian jadi saksi, maka saksikanlah oleh kalian! Sekian lama kita berdiam disini tanpa menghiraukan segala peristiwa di dunia luar, ketahuilah, sudah saatnya aku Panca Dewa menyumbangkan sedikit kuasa yang kumiliki, maka biarlah satu dari cincin yang kumiliki yang memiliki kuasa alam dari yang Maha Kuasa mencari pewarisnya dari calon ksatria dari dunia luar, seorang manusia yang berhati bersih...."

Ajaib, selesai ia berucap, satu dari empat cincin di jarinya memendarkan sinar, kemudian dengan perlahan cincin itu bergerak lepas dari jarinya dan melesat menuju arah luar istana. Setelah lesatan cincin tak tergapai oleh pandang matanya, Panca Dewa kembali duduk di atas singgasana.

***

Nun jauh dari Istana Pelangi, di daratan pulau besar, di sebuah pondok reot seorang tua yang sedang khusuk dalam semedinya terhenyak kaget. Mulutnya komat-kamit mengucapkan sesuatu, sesaat ia meraih tongkat hitam kepala burung di sampingnya.

"Bedebis!" teriaknya.

Dari luar terdengar gerengan, lalu masuk kedalam pondok seekor serigala hitam besar. Serigala yang dipanggil Bedebis itu berukuran dua kali dari serigala biasa, yang luar biasa adalah matanya, berwarna merah menyala.

Si lelaki tua menepuk-nepuk hewan buas yang kini berada didepannya. "Puluhan tahun aku mengincar benda keramat itu, seandainya merebut sendiri dari pemiliknya, belum sampai berhadapan pasti nyawaku sudah melayang, tapi kini, dalam semadiku kulihat pancaran gaib berasal dari energi sakti yang aku kenali, yah.. aku yakin itu berasal dari satu cincin sakti yang dimilikinya, he he he.. cukuplah satu, kalau aku berhasil memilikinya, sudah cukup membuatku merajai dunia, he he he..."

Sekali lagi ia tepuk serigala di sampingnya, kemudian melompat naik kepunggungnya, kembali hewan buas itu menggereng, lalu melompat keluar dari pondok.

***

Kota Lindung Buana pagi itu tampak ramai, para pedagang sibuk menjual barang dagangannya, begitu jua para pembeli, hilir mudik mencari barang yang diinginkannya. Di satu sudut kota, seorang pemuda berumur sekitar 18 tahun sibuk menata dagangannya, Purana namanya, ia sibuk menata kulit-kulit kering yang jadi jualannya. Memanglah pemuda itu selalu berjualan tiap minggunya, yang ia jual yaitu kulit-kulit hewan hasil buruannya.

Selagi ia menyusun dagangan, tiba-tiba terdengar suara teriakan...

"Rampok-rampok!"

Kejut Purana. Rampok? Yang benar, masa sepagi ini ada perampok? Ia melihat kearah sumber teriakan, dilihatnya orang mulai berserabutan, dari kejauhan tampak debu mengepul.

Belasan orang berkuda muncul dari arah kepulan debu, luar biasa orang-orang ini, bertubuh besar, menyandang berbagai senjata. Tampang mereka tampak bengis dengan cambang bauk lebat dibiarkan tak terawat di wajah. Tapi herannya wajah bengis mereka kelihatan pucat. Mereka melarikan kuda dengan tergesa bagai di kejar setan dari neraka.

Para penunggang kuda terus memacu kudanya tanpa menghiraukan para penduduk yang panik berlarian. Terus memacu kudanya melewati mereka meninggalkan kepulan debu dibelakangnya. Eh? Bukan perampokkah?

Sial betul pikir Purana, dasar orang geblek, belum lagi kejadian sudah teriak-teriak. Mending ia hanya mengumpat dalam hati, orang-orang lain yang merasa tertipu dengan teriakan tadi malah banyak yang mengumpat-umpat tak keruan.

Menjelang sore hari Purana mengemas barang dagangannya, tak banyak yang ia jual hari itu, tapi cukuplah untuk menyambung hidupnya beberapa hari kedepan. Selesai berkemas segera ia mengangkutnya di punggung. Sebentar mampir ke sebuah warung untuk membeli nasi, kemudian melanjutkan langkah kembali kepondoknya.

Pondok yang ia tempati berada di pinggir hutan. Purana tinggal sendirian, kedua orang tuanya telah lama meninggal, beberapa tahun yang lalu rumah warisan dari orang tuanya direbut oleh pamannya, dengan alasan kedua orang tuanya banyak berutang padanya. Sebenarnya Purana tak percaya dengan pamannya apalagi sang paman terkenal penjudi dan pemabuk, tapi akhirnya diserahkan pula rumah itu, sekiranya betul apa yang diucapkan pamannya tentu tak tenang kedua orang tuanya nanti di alam sana. Ia sendiri? Yah, diputuskan tinggal di pinggir hutan, membangun sebuah pondok kecil sekedar untuk beristirahat.

Sampai di pondok, ditaruhnya barang jualannya di satu sudut, sebentar ia menuju sebuah sumur yang ada di belakang, dibasuh tubuhnya, berganti pakaian dan setelahnya ia santap nasi yang tadi dibelinya.

Besok ia mesti kembali mencari hewan buruan, kepandaiannya berburu sudah terasah sejak kecil, karena ayahnya dulu memang seorang pemburu. Hewan buruan masih cukup banyak dihutan itu, membuat Purana tak perlu khawatir kehabisan stok kulit yang akan dijualnya.

Selesai makan ia bergegas hendak merebahkan tubuhnya yang telah penat ke ranjang. Sebentar ia menyiapkan tempat tidur, telinganya mendadak mendengar suara ribut-ribut berasal dari luar. Suara apakah? Ia tajamkan pendengaran, memang sepertinya ada suara-suara dari luar, untuk memastikan kembali ia buka pintu pondoknya, suasana di luar sudah gelap. Dengan perlahan ditutupnya pintu, kemudian melangkah dengan hati-hati ke dalam hutan, karena ia yakin suara yang tadi ia dengar berasal dari dalam hutan.

Di satu tempat, tampak dua orang berdiri saling berhadapan, satu orang adalah lelaki tua pemilik serigala bermata merah, satu orang lagi seorang lelaki bertubuh besar memegang sebuah tongkat yang bercahaya. Ia memakai jubah tebal, membuat penampilannya tambah angker. Cahaya dari tongkatnya membuat tempat itu terlihat terang, sehingga Purana yang telah tiba dan bersembuny dibelakang sebuah pohon dengan matanya dapat leluasa mengamat-amati kedua orang tersebut.

"Keparat! Serahkan benda itu!" teriak si lelaki tua.

Lelaki berjubah mendengus, "Belum ciutkah nyalimu melihat mayat Serigala Iblis disana!?" ucapnya sambil menggerakan tangan yang memegang tongkat ke satu arah.

Sekejap pandang lelaki tua mengikuti arah yang dimaksud, Purana yang tengah bersembunyipun tak urung melihat ke tempat yang dimaksud. Dilihatnya sesosok tubuh besar teronggok tak bergerak. Sekiranya itu serigala, alangkah besarnya ucap hati Purana.

"Bangsat! Kau kira aku takut denganmu Suralaya! Kau tahu, Tapak Pemburu Roh takkan gentar seujung kukupun menghadapimu!"

Lelaki berjubah ketukkan tongkatnya beberapa kali di tanah. Ia memang bernama Suralaya, orang-orang menggelarinya si Jubah Malaikat. Beberapa hari yang lalu bola kristal di tempat kediamannya bergetar, dari sana ia bisa melihat lesatan sinar berwarna hitam di langit, maka ia maklum, sebuah benda mustika tanpa tanding sedang mencari jodohnya, dan malam tadi berhasil ia memburu benda itu yang menukik tak jauh dari wilayah ini, begitu melihat lesatan cahayanya ia langsung memburu, dan dengan kekuatan tongkat di tangannya itulah ia berhasil menyedot benda yang ternyata sebuah cincin yang kini di simpan di balik jubahnya, heran ia, begitu dahsyatnya perbawa benda itu, tapi sedari tadi ia amati belum jualah ia temukan keunggulan dari mestika tersebut. Rupanya kehadiran benda dari langit sudah di ketahui beberapa tokoh rimba hijau, menjelang pagi tadi ia di gempur seorang tokoh sakti berjuluk Sepasang Golok Iblis, ia bahkan membawa puluhan anak buah yang dari tampangnya macam perampok. Untung bagi dia, ternyata tokoh sakti yang julukannya cukup menakutkan tersebut mampu di halaunya, bahkan Sepasang Golok Iblis harus menyerahkan nyawa padanya, sedang anak buahnya kocar-kacir kabur dengan kuda-kuda mereka.

Belum lagi sempat ia tinggalkan wilayah itu, menjelang sore seekor srigala besar dengan suara gerengan yang mendirikan kuduk menghampirinya, cukup lama ia berkutat melawan makhluk yang ia kenali sebagai Srigala Iblis, sampai akhirnya ia mampu mengatasinya. Ia tahu, hewan itu pasti milik tokoh sakti yang di perintah mencium keberadaan benda mustika yang kini ada padanya, tapi tak urung sempat terkejut juga Suralaya mengetahui dengan siapa ia berhadapan, dari awal pertemuan sudah dikenalinya siapa lelaki tua yang menggenggam tongkat kepala burung, Tapak Pemburu Roh. Setahunya tokoh satu ini sudah lama tak muncul di rimba hijau, sungguh suatu kejadian yang tak di duganya harus bertemu tokoh kosen satu ini yang kabarnya sukar di cari tandingannya.

"Sudah cukup makianmu orang tua, sekiranya nyalimu memang sesuai dengan ucapannya, kupersilahkan kau unjukkan ilmu agar terbuka mataku," ucap Suralaya.

Cuuh! Tapak Pemburu Roh meludah. Sebenarnya hatinya terkejut luar biasa dengan kematian hewan peliharaannya, Srigala Iblis selama ini tak ada yang berhasil melukai apalagi membunuh, hewan yang ia rawat sejak kecil itu memang punya keistimewaan alami, dari lahir matanya sudah mencorong merah, dan kulit tubuhnya begitu kebal dengan berbagai senjata, dan tenaganya sangat besar dan cepat gerakannya, sudah pasti manusia di depannya ini betul-betul memiliki kesaktian yagn tak bisa di pandang remeh. Tapi bagaimanapun jelas barang yang diidamkannya sudah di depan mata, tak nanti ia bakal meninggalkan tempat ini tanpa mustika itu. Maka segera ia gerakkan tongkat ditangannya berulangkali didepan dada, perlahan muncul semacam kabut dari gerakannya, itulah ilmu andalannya Asap Iblis Pemburu Roh, sekiranya sang musuh mampu menahan kesaktian ilmunya ini, tak tahu lagi ia harus bagaimana mengalahkan manusia dihadapannya.

"He he he.. baiklah Suralaya, seandainya kau bisa lolos dari ilmuku ini, bolehlah ku tinggalkan mestika itu padamu, dan tak lagi aku tongolkan tubuh tuaku di rimba hijau, selamanya..."

Si Jubah Malaikat sadar ilmu yang di keluarkan lawannya bukan buatan hebatnya, sedari tadi ia menyadari orang ketiga ditempat itu, diterawangnya dengan mata gaibnya, ia bisa melihat seorang pemuda yang tengah bersembunyi di balik sebuah pohon, ketika melihat pemuda itu mendadak dadanya bergetar, ia tahu dibagian dada sebelah dalam itulah ia simpan cincin mestika itu, apakah? Ia mulai menduga kenapa cincin mestika itu menukik di daerah ini, apakah karena sudah dekat dengan orang yang berjodoh dengannya, ada satu pikiran yang melintas di benaknya, tapi terpaksa ia harus simpan, karena di depannya Si Tapak Pemburu Roh mulai siap meluncurkan ilmunya, segera ia acungkan tongkat miliknya ke depan, itulah tongkat kepala kristal andalannya, dengan tongkat itu pulalah ia tadi berhasil menghantam remuk kepala Sirgala Iblis yang memiliki kekebalan tubuh begitu alot, kesaktian tongkatnya berpangkal pada batu kristal yang ada di di ujungnya, batu yang dapat bercahaya itu memiliki kemampuan yang luar biasa, di tambah dengan kesaktian yang dimilikinya, selama ini tak satuun lawan sanggup mengatasinya.

Dari arah depan Tapak Pemburu Roh mengibaskan tongkatnya, asap hitam berbuntal-buntal membentuk kepala makhluk yang mengerikan dengan taring melabrak ke arah Suralaya, tongkat di tangan Suralaya berkilat, ia salurkan semua tenaga yang dimilikinya, selarik cahaya putih berkiblat tak kalah mengerikan.

Glegar!

Suara mengguntur terdengar, tubuh Si Tapak Pemburu Roh terpelanting kebelakang muntah darah, sedang Si Jubah Malaikat terdorong kebelakang, batu kristal yang ada di ujung tongkatnya pecah saat pukulannya berbenturan dengan lawan, memang ia unggul dalam tenaga, tapi sungguh ilmu sang musuh begitu aneh begitu berbenturan, dan tubuh lawan terjungkal, Asap Iblis Pemburu Roh tak ikut buyar, hanya terguncang, kemudian kembali berbuntal-buntal, melahap semua sinar yang tadi menghantamnya dan terus memburu tubuh Suralaya.

Suralaya yang merasa telah terluka di bagian dalam, mengkibaskan jubah lebar yang ia kenakan, berkiblat angin tindih menindih, sebelum memiliki tongkat kristal sakti, terlebih dulu ia terkenal karena keampuhan jubahnya, tapi sungguh hari ini semua ilmu yang dimilikinya tak mampu menghadapi bahaya yang mengancam. Karena kesaktian angin dahsyat yang berasal dari jubahnyapun dengan mudah di telan oleh Asap Iblis Pemburu Roh. Ia meraung saat tubuhnya mulai tertelan oleh buntalan asap, dimasa kritis pikirannya seakan terbuka, mengetahui tak mampu mempertahankan diri, disusupkan tangan kebalik jubah meraih cincin mestika dan berteriak, "Terimalah!" Selesai berteriak tubuhnya habis tertelan oleh buntalan asap.

Purana yang melihat kejadian di depan kepalanya dengan tubuh berkeringat tegang terkejut dengan teriakan seorang yagn tengah bertempur itu, apalagi ketika ia melihat sebuah benda kecil terlempar kearahnya. Begitu benda itu jatuh tepat di depannya dengan sedikit ragu segera diambilnya. Cincin rupanya, cincin apakah itu? Entah dorongan dari mana yang jelas ia tiba-tiba saja mengenakan cincin hitam yang baru dipungutnya. Begitu dikenakan, tubuh Purana kontan mengejang, ia merasa hawa hangat dan himpitan berat menekan seluruh pembuluh tubuhnya, kemudian entah darimana terdengar suara menggema berulang-ulang.. "Kaulah Pewaris Cincin Dewa... Kaulah Pewaris Cincin Dewa... Kaulah Pewaris Cincin Dewa ...."

Di tempat lain, Si Tapak Pemburu Roh yang semula terbaring akibat terkena imbas benturan pukulannya dengan pukulan Si Jubah Malaikat telah mampu bangkit, semula ia mengekeh ketika Asap Pemburu Iblisnya berhasil meraih tubuh lawan, namun kejut ia ketika melihat sebuah benda kecil masih sempat di lemparkan oleh sang musuh ke satu arah. Cincin Dewa!? Segera dengan tubuh sedikit terhuyung ia hampiri arah dimana ia lihat benda yang dicarinya terlempar. Sampai di sebalik pohon ia lihat seorang pemuda setengah terduduk sambil memegangi tangan, ia lihat benda msetika itu ternyata telah dikenakan oleh sipemuda. Setengah berteriak ia pukulkan tangan ketubuh si pemuda.

Selagi Purana pengang karena mendengar suara ditelinganya yang berulang-ulang, ia kaget melihat si lelaki tua yang tadi terlempar dan terkapar akibat pukulan si pemegang tongkat bercahaya telah berdiri dihadapannya dan dengan berteriak melontarkan satu pukulan. Purana yang tak tahu ilmu apa-apa hanya mampu menyilangkan kedua tangannya diatas kepala menerima pukulan.

Dheer! Akhhh!

Terdengar benturan keras dan pekik kesakitan. Purana heran seribu heran, tak tahu apa yang dialaminya, ia hanya melihat tubuh lelaki tua yang melontarkan pukulan kearahnya terbanting kebelakang membentur sebuah pohon terjerambab dan diam tak berkutik. Matikah?

Si Tapak Pemburu Iblispun mungkin tak menduga kesudahan hidupnya, begitu ia lontarkan pukulan ke arah si pemuda tak dinyana cincin yang dikenakan orang yang hendak dihabisi nyawanya itu mengeluarkan semacam perisai, membalikkan pukulan yang baru dilontarkannya dengan kekuatan berlipat-lipat, dan kesudahannya, seperti yang dilihat Purana.

Purana terdiam cukup lama di tempatnya ia mencoba memikirkan segala kejadian yang baru di laluinya, makin dipikirkan makin tak mengerti ia dengan segala yang telah terjadi, yang jelas satu hal ia tahu, satu lelaki yang tadi bertarung di situ telah berjasa padanya, karena telah mewarisinya sebuah benda yang luar biasa. Oleh karena itu segera ia mendekati mayat lelaki berjubah. Asap hitam yang tadi mengepung si lelaki telah sirna, mungkin karena telah berhasil merenggut nyawa musuh, tau karena pemiliknya telah mati, entahlah.

Di pondongnya tubuh lelaki itu, hendak ia persemayamkan dengan layak, dari jauh kembali terdengar suara menggema, "Pewaris Cincin Dewa, pergunakanlah Cincin Dewa untuk kebajikan, Ialah Cincin Dewa yang memiliki karunia luarbiasa dari Semesta, Kaulah Pewaris Cincin Dewa...."

***

Pagi itu Purana sudah bersiap, pakainnya sudah bersih, satu buntalan berisi pakaian dan bekal makanan ada ditangannya, semalam setelah ia menguburkan jasad Si Jubah Malaikat pikirannya selalu teringat akan pesan suara yang bergema, bolak balik dilihat cincin di jarinya, ia sadar, cincin tersebut memiliki mukjizat yang luar biasa, terbukti mampu melindungi dirinya dari serangan lelaki jahat musuh Si Jubah Malaikat, sampai pada akhirnya bulat sudah tekadnya, ia harus melaksanakan pesan suara bergema, akan ia pergunakan cincin itu untuk berbuat kebajikan. Sekejap ia tengok pondok yang selama ini ditinggali, kejap lain ia sudah berbalik melangkahkan kaki, entah kemana tuntunan nasib akan membawanya.

S e k i a n. 

Kumpulan Cerita Misteri, Cerita Silat, Cerita Horor, Cerita Remaja, Cerita Anak, Cerita Religi, Cerita Lucu, Cerita Sejarah, Cerita Petualangan, Cerita Detektif, Cerita Pendek, Cerita Serial, dll.

Post a Comment

Previous Post Next Post