Tantangan Iwan Endut


Aku tinggal di sebuah kota kecil di Pulau Sumatera, sebuah kota yang terkenal sebagai kota pendidikan karena banyaknya tempat pendidikan berdiri, dan pula memiliki kualitas yang baik di bidang tersebut. Etnis yang tinggal sudah bercampr baur, bukan lagi di dominasi oleh penduduk pribumi. Hal tersebut karena banyak pendatang yang tinggal di kota kami, entah untuk sementara, ataupun menetap.

Ayahku seorang guru di sebuah Sekolah Menengah Pertama Negeri, sebuah sekolah dimana aku juga menempuh pendidikan. Biarpun ayahku seorang guru disekolahku, entah kenapa, sering malu bila berangkat berbarengan dengannya, dan aku lebih memilih berangkat sekolah dengan naik sepeda sendiri, ketimbang membonceng motornya.

Ayah seorang guru yang sangat disiplin, apalagi ia menjadi Wakil Kepala Sekolah, oleh karena itu seringkali tiap paginya ia berkeliling tiap kelas dan seputaran lingkungan sekolah, memastikan siswa-siswi secara tertib sudah mengikuti pembelajaran di kelas. Bila didapatinya ada murid yang terlambat atau membolos, pasti akan dihukumnya.

***

Pagi itu seperti biasa rutinitasku. Bangun pagi, berberes kamar, menyiapkan buku-buku pelajaran dan perlengkapan sekolah, kemudian mandi dan sarapan. Selesai sarapan aku pamit dengan Ibu, sedang ayah belum selesai mandi. Memanglah sudah terbiasa seperti itu, jarak rumah dengan sekolah yang lumayan jauh ila ditempuh dengan naik sepeda, mewajibkanku untuk berangkat paling tidak setengah jam dari ayah.

"Hati-hati dijalan," pesan Ibu sambil membelai rambutku, saat aku pamit.

Sepeda yang kumiliki disebut dengan sepeda mini, itu sepeda harusnya di pakai perempuan, berhubung ayah belum cukup rejeki untuk membelikanku sepeda khusus laki-laki, apa boleh buat, terpaksa kutebalkan muka dengan mengendarai sepeda itu tiap hari ke sekolah.

Terkadang ada pula anak yang usil mentertawakan sepeda yang kunaiki, tapi biarlah, yang penting sepeda itu dalam kondisi baik dan masih sangat layak untuk dipakai.

Sesampai di sekolah, dengan serius kuikuti setiap pelajaran yang ada. Otakku tidak termasuk cerdas, kalau tidak kuikuti sungguh-sungguh, manalah mudah setiap materi pelajaran bakal nyantol da kupahami. Tak terasa waktu berlalu, akhirnya perlajaran tertunda seiring terdengar suara bel tanda istirahat tiba. Begitu guru meninggalkan ruang kelas, tanpa dikomando kawan-kawanku segera berserabutan, tujuan mereka satu, yakni kantin sekolah.

Belum lama bel istirahat, saat kakiku melangkah hendak meninggalkan kelas, seorang kawanku Si Iwan Endut menghadang di depan pintu kelas saat aku hendak keluar. Nama aslinya Irawan Subekti, tapi karena badannya yang gemuk, maka kawan-kawan memanggilnya Iwan Endut. Dan selama ini iapun tak berkeberatan dengan panggilan itu.

Biasanya Si Iwan tiap ketemu aku selalu ramah, tumben waktu itu mukanya tampak masam. Ada apa gerangan? Pikirku. Mulai kuduga-duga apa yang terjadi, melihat mimik mukanya, terlihat ia menyimpan rasa tidak suka yang mendalam padaku.

"Napa Wan?" tanyaku dengan tersenyum.

"Napa-napa! Berani lu macem-macem! Nti pulang sekolah gua tantang duel lu!" Ucapnya sambil mendorongkan badannya yang besar ke arah badanku.

Aku mundur menghindar. "Lho memang ngapa wan?" tanyaku lagi heran dengan perilakunya yang kasar.

Heran memang betulan, betapa tidak, kutanya baik-baik kenapa ia nyolot begitu? Padahal aku merasa tidak melakukan hal-hal yang aneh padanya.

"Bapak lu itu reseh! Berani dia nyubit gua!" Jawabnya keras.

Oh! Rupanya karena bapakku si Iwan marah. Apa pula yang terjadi dengannya tadi? Mungkin ia terlambat atau ketahuan membolos?

"Lha ngapa sampek kena cubit Wan?" tanyaku lagi.

"Ngapa-ngapa! Bapak gua aja di rumah gak pernah nyubit gua, tahu!" ucapnya lagi dengan suara menggebu.

Rupanya ia benar-benar marah dan sakit hati. Mungkin Iwan anak kesayangan di rumah, yang selalu dimanja dan dituruti kemauannya, jadi waktu ia kena hukuman, ia merasa tidak terima di hukum cubit semacam itu.

"Jangan gitu Wan, kalo lu gak salah gak mungkinlah kena cubit," ujarku mencoba meredam emosinya.

"Bodo'! Pokoknya gua gak mau tahu! Nti pulang sekolah awas lu ya! Gua tantang duel lu!" Ancamnya seraya mengacungkan tangannya yang terkepal. Habis itu ia segera berbalik pergi.

"Eh Wan! Tunggu Wan!" Seruku memanggil. Iwan yang lagi terbalut emosi tak nanti berbalik mendengar panggilanku.

Aku mendesah, percuma pikirku. Ia pasti marah besar, berbicara dengan orang yang sedang marah semacam itu pastilah akibatnya seperti menuang minyak keperapian yang sedang menyala.

Was-was juga aku jadinya, ayahku memang disiplin orangnya, tiap ada murid yang melanggar mesti kena hukum olehnya, dan hari ini aku juga yang kena imbasnya. Tapi kalo di pikir kenapa juga harus takut, toh aku gak salah.

Sekalipun aku mencoba menganggap apa yang terjadi dengan Iwan tadi tak perlu dipikirkan, nyatanya disisa pelajaran berikutnya otakku tak bisa konsen. Bahkan sempat kena tegur Pak Heri guru Mapel Sejarah, padahal mata pelajaran itu sangat kusukai.

Waktu bel pulang berbunyi bergegas aku merapikan buku dan keluar kelas, di luar ternyata Iwan Endut sudah menunggu, dadaku berdebar juga awalnya, tapi kali ini tampangnya berbeda, tidak sangar seperti tadi. Wajahnya tertunduk dan pucat. Begitu melihatku ia mengangsurkan tangan.

"Maafin aku ya..." ucapnya pelan.

Aku termenung sejenak. Kenapa ini? Kok tiba-tiba sikapnya berubah? Tapi akhirnya aku sambut angsuran tangannya.

"Eh, apa-apan? Gak ada yg perlu di maafin kok," jawabku.

Iwan tampak terdiam, ia terlihat kikuk bersikap, beberapa saat mulutnya kembali membuka.

"Makasih ya, aku betulan minta maaf.. Jangan bilang-bilang ke ayahmu ya kejadian tadi...."

Aku mengangguk. "Bilang apa Wan? Gak ada yang perlu gua bilangan sama Ayah lah.. kitakan temenen." ujarku mencoba menghilangkan perasaan tidak enak yang jelas sedang dirasanya.

Wajah Iwan tampak mulai ceria, pastinya ia lega mendengar jawabku barusan.

"Iya, gua akui, gua tadi cukup emosi, memang sih gua yang salah, tadi membolos pas pelajaran jam kedua, tapi yah namanya juga emosi, jadi pikirannya pendek gitu..." jelasnya. "Dan tadi itu lho kok ya gua bisa-bisanya malah nantangin kamu duel, ah bener-bener jadi nggak enak jadinya..." lanjutnya kemudian.

Suasana antara aku dengan Iwan kembali mencair. Setelah bercakap-cakap cukup panjang dan lebar, Iwanpun pamit berlalu pulang.

Akupun bergegas pula menuju garasi sekola tempatku menaruh sepeda. Selama perjalanan pulang, sambil mengayuh sepada pikiranku kembali dengan peristiwa yang kualami hari ini.

Mungkin kiranya Iwan kepikiran dengan ulahnya menantangku tadi, dan takut aku laporkan ke ayahku, sehingga khawatir akan berbuntut makin berat hukuman akan diterimanya, padahal selama ini tidak pernah aku main lapor dengan segala ulah anak-anak yang kadang usil mengganggu. Lagipula pergaulanku dengan kawan-kawankan pergaulan sesama anak sebaya. Rasanya tak patut membawa-bawa orang tua. Yah, sudahlah, setidaknya kini tak ada lagi masalah antara aku dengan Iwan Endut.

S e k i a n. 

Kumpulan Cerita Misteri, Cerita Silat, Cerita Horor, Cerita Remaja, Cerita Anak, Cerita Religi, Cerita Lucu, Cerita Sejarah, Cerita Petualangan, Cerita Detektif, Cerita Pendek, Cerita Serial, dll.

Post a Comment

Previous Post Next Post