Memburu Sang Penculik


Semburat warna jingga tampak dari arah barat, sebentar lagi hari menjelang petang. Langkah Joko Sembodo di percepat, ia tak mau kemalaman di jalan. Petak-petak sawah yang membentang di kiri kanan menandakan ada pemukiman di daerah itu.

Tak berapa lama sesuai dengan dugaannya, mulai ia melihat rumah-rumah dari kejauhan, sebentar ia benarkan posisi blangkon yang dikenakannya, ditepis-tepiskannya debu yang menempel di bajunya, tak ingin ia dianggap gembel oleh para penduduk bila pakaiannya terlihat dekil, bisa-bisa tak nanti ia diperbolehkan menginap.

Satu dua rumah mulai dilewati. Aneh? Masih sesore ini tak dijumpainya penduduk yang lalu lalang, pintu-pintu rumahpun tampak tertutup.

Joko melanjutkan langkahnya, di satu perempatan dilihatnya sebuah gardu, beberapa orang yang semula duduk-duduk di dalam gardu bangkit berdiri.

Begitu si pemuda telah dekat, salah satu diantara mereka mengeluarkan suara. "Berhenti kisanak."

Joko hentikan langkahnya, ia membungkuk memberi hormat. "Salam hormat orang tua."

Yang berkata tadi seorang lelaki paruh baya, rambutnya ikal, bertubuh kurus, dan berkulit hitam. Lelaki itupun membalas sikap hormat si pemuda.

"Dari mana dan hendak kemanakah tuan muda ini?" Tanya orang tua.

"Saya Joko tuan, seorang pengelana yang tak bertempat tinggal, sebelumnya dari perjalanan di daerah utara, dan syukur hari ini tiba di perkampungan tuan yang indah ini," jelas Joko dengan sopan.

Si lelaki tua mengangguk, ia menoleh rekannya. Ada dua lelaki lain yang menemani lelaki tua berambut ikal itu. Satu bertubuh agak tambun, berkumis tebal, sebatang golok tergantung dipinggangnya, satu lagi seorang pemuda mengenakan ikat kepala berwana biru, bertubuh tegap, sebuah golokpun disandangnya.

Mereka maklum dengan pandangan kawannya yang meminta pertimbangan, maka lelaki tambun berucap. "Tampaknya pemuda ini orang baik-baik Ki Warso."

"Menurutku juga begitu Tambur." Kemudian lelaki yang dipanggil Ki Warso kembali mengalihkan pandangnya pada Joko. "Apakah nak Joko hendak mencari tempat bermalam?" Tanyanya pada si pemuda.

"Benar, dapatkah Ki Warso memberitahu dimana saya dapat menyewa tempat untuk menginap?"

"Di kampung ini mana ada segala penginapan, jika nak Joko memang berniat untuk menginap, ada satu kamar kosong di rumahku, walau tempatnya sederhana, namun lebih aman ketimbang bermalam di luar," Ki Warso rupanya sudah memandang Joko sebagai pemuda baik, hingga tak segan ia menawarkan rumahnya sendiri untuk bermalam si pemuda.

"Waduh Ki, apakah tak merepotkan? Sungguh saya tak mungkin menolak jika benar Aki menawari demikian," sambut si pemuda.

Memanglah bagi Joko sebuah keberuntungan mendapat tempat menginap, karena sudah beberapa hari ini ia tidur di alam terbuka.

"Jangan sungkan-sungkan anak muda," ujat si orang tua. Ia menoleh pada pemuda yang mengenakan ikat kepala biru, "Galih, kau antarkanlah dulu Joko kerumah, selepas itu segera balik kemari," perintahnya.

Rupanya pemuda itu merupakan putera Ki Warso. Galih anak yang kedua, kakaknya perempuan, dan anak ketiga seorang laki-laki, baru berumur tujuh tahun. Itu yang di tuturkan Galih pada saat mengantarkan Joko ke rumahnya.

"Sudah biasakah rumah-rumah tertutup disore hari dimas?" Tanya Joko pada Galih yang menurutnya berusia lebih muda.

"Sudah hampir dua bulan ini Kangmas," jawab Galih.

"Termasuk penjagaan di gardu tadi?"

"Iya."

"Apakah ada bahaya yang mengancam? Pencuri, perampok atau semacamnya?" Joko memang merasa penasaran dengan keadaan kampung itu.

"Lebih berbahaya dari itu Kangmas," Joko mengerenyit mendengarnya. Bahaya apa gerangan?

Kemudian sambil meneruskan langkah ke tempat kediaman Ki Warso, puteranya itu menceritakan pada Joko peristiwa yang terjadi di desanya.

***

Wonosari semula tenang-tenang saja, penduduk hidup damai dalam kesehariannya, rata-rata mata pencaharian mereka dari bertani. Tanah yang subur membuat masyarakat selalu mendapatkan hasil panen yang melimpah.

Namun satu peristiwa mengerikan terjadi. Penculikan. Yah, penculikan yang di ikuti oleh pembunuhan.

Mulanya seorang warga di ketahui raib. Dan saat di cari beramai-ramai, setelah ditemukan ternyata sudah jadi mayat. Mengenaskan kondisinya. Tubuhnya seperti dicabik-cabik, bagian-bagian tubuhnya tak lagi utuh seperti habis di gerogoti binatang buas. Hanya bagian kepala saja yang masih utuh, seakan si pembunuh tak berselera dengan bagian tubuh yang itu.

Selagi warga masih diliputi duka karena kehilangan kenalan mereka dengan cara mengerikan, satu minggu sejak kejadian peristiwa yang sama terjadi. Penculikan dan pembunuhan dan dengan kondisi yang sama bagi korbannya.

Rasa sedih menjadi takut, dan rasa takut menjadi murka, apalagi setelah jatuh korban ketiga.

Biadab! Benar-benar biadab! Rutuk Galih di sela-sela ceritanya.

Dan itulah yang membuat warga tutup pintu dan tak berani keluyuran kala malam, karena peristiwa penculikan selalu terjadi pada malam hari.

***

"Sudah berpakah korban yang berjatuhan Adi?" Tanya Joko setelah putera Ki Warso selesai bercerita.

"Hingga saat ini sudah sembilan warga yang jadi korbannya Kangmas, walau sudah rutin dilakukan penjagaan, masih juga kami kebobolan."

"Apakah tidak ada sama sekali yang pernah melihat pelakunya?" Cecar Joko.

"Pernah Kakang, satu kali seorang penduduk melihat sesosok tubuh berlompatan dari satu pohon ke pohon lain seperti kera, tapi bertubuh besar sangat lincah, kami yakin sekali makhluk semacam itulah yang mampu menculik dengan cepat tanpa ketahuan dan melakukan tindakan yang keji," terang Galih.

Sebenarnya masih ada beberapa hal yang ingin ditanyakan oleh Joko, tapi mereka sudah sampai di tempat tujuan. Saat Galih memanggil, dari dalam membuka pintu seorang perempuan paruh baya dengan senyum ramah. Galih mengajak masuk, sebentar ia duduk di ruang tamu, menyampaikan perihal Joko pada perempuan paruh baya yang merupakan ibunda Galih.

Nyi Laksmi ibu Galih tidak keberatan Joko menginap dirumah mereka. "Kebetulan, kami jadi berkurang cemasnya," ucapnya menanggapi kehadiran Joko.

Tak lama Galih pamit hendak kembali ke gardu jaga. "Hati-hati nak," pesan Nyi Laksmi.

Setelah kepergian Galih, Joko di ajak ke kamar tempat ia nanti beristirahat. Sebuah kamar yang kecil tapi bersih dan rapi.

Joko mengucapkan terimakasih pada Nyi Laksmi. Ketika perempuan paruh baya itu sudah berbalik meninggalkan Joko seorangan, si pemuda menutup pintu kamar, ia berganti pakaian, rasanya sudah tak nyaman pakaian yang ia kenakan seharian itu.

Kemudian ia keluar kamar, niatnya hendak cuci muka dan kaki, entah mengapa, walau berjalan seharian rasa lelah dan mengantuk tak lagi dirasakan, mungkin karena peristiwa menarik yang tengah terjadi di kampung itu. Sesuatu yang menggelitik jiwa kependekarannya. Niatnya sudah bulat saat mendengar cerita Galih tadi. Ia haru ikut membantu menuntaskan kejadian misterius yang ada.

Keluar dari kamar menuju ruang belakang, kejut ia melihat seorang gadis cantik nan rupawan tengah menaruh nasi dan lauk pauk di atas meja.

"Oh, maafkan saya adik, saya minta ijin untuk mencuci muka di belakang," ucapnya.

Si gadis tersenyum, senyuman yang begitu manis. Dada Joko bergetar. Sekian lama ia merantau, masuk kampung keluar kampung, belasan bahkan puluhan gadis ia temui belum pernah ia rasakan hal yang semacam itu. Gadis dihadapannya seperti memiliki daya tarik istimewa bagi si pemuda.

"Silahkan Kakang," kata gadis itu.

Yang tadinya ia cuma ingin mencuci muka dan kaki, begitu melihat si gadis cantik membuat Joko merasa malu bila terlihat kotor, untuk itu walau malam dan udara dingin, lantas saja ia meraih gayung untuk mandi.

Selesai membersihkan badan, kembali ia masuk. Di ruang makan sajian sudah tertata rapih, Ki Laksmi dan anak gadisnya telah berdiri menunggu. Senyumnya nyonya rumah mengembang melihat kehadiran si pemuda. "Mari nak Joko, seharian dalam perjalanan tentu Ananda lelah dan lapar, untuk itu ku pinta Ratna menyiapkan sekedar untuk bersantap ala kadarnya, semoga tidak terlalu mengecewakan seleran Ananda," seraya mempersilahkan si pemuda duduk di bangku yang disiapkan.

Pelayanan hangat tuan rumah malah membuat Joko menjadi rikuh, ia mengangguk-angguk dalam perasaan sungkannya. "Saya sungguh merepotkan Ki Warso dan Nyi Laksmi," ujarnya.

"Mana ada begitu, ayolah disantap hidangannya, habis itu biar nak Joko baru beristirahat."

Joko menaruh pantatnya di kursi, menatap makanan di depannya perutnya merintih, memang harus di akuinya sedari siang tadi perutnya belumlah di isi. Dan kini dihadapannya masakan lengkap dari lauk dan sayur siap di santap, ia pikir tak pantas lagi meragu atas kebaikan tuan rumah.

Begitu Joko menghadapi hidangannya, Nyi Laksmi menarik tangan puterinya Ratna meninggalkan ruang, agar Joko tidak merasa malu untuk menikmati makanannya.

Masakan yang disuguhkan betul-betul nikmat, Joko sejenak berpikir, kebaikan apa yang ia buat beberapa hari ini? Kenapa dapat rejeki beruntun? Tempat menginap dan sajian istimewa? Oh iya satu yang lebih dari segalanya, mendapat senyum dari gadis cantik seperti bidadari. Joko mengumpati dirinya berani memikirkan anak gadis Ki Warso yang telah sangat baik padanya.

Selesai makan, Joko berniat membawa piring da gelas yang ia pakai untuk di cuci.

"Jangan tuan, biar saya yang membereskan," satu suara merdu mencegah.

Ratna yang memunculkan diri. Dada Joko kembali bergetar menatap gadis itu. "Eh adik, biarlah kucuci sebentar, engkau sudah terlalu repot malam ini."

Si gadis tak peduli ucapan si pemuda, di ambilnya piring dan gelas di tangan Joko, dan pergi ke belakang mencuci.

Anak muda itu hanya diam menjublak, tak tahu apa yang akan di katakan dan diperbuatnya, ia hanya berdiri mengawasi di pintu dapur, selagi si gadis membersihkan piring dan gelas di dekat sumur.

Rembulan menghiasi angkasa, sinarnya cukup membantu pandang mata di malam itu, apalagi sebuah dian di taruh di dekat kamar mandi di luar itu membantu Ratna cepat selesai dengan kerjanya.

Begitu si gadis kembali masuk, sebaris kalimat keluar dari mulut si pemuda, "Kau begitu cekatan Ratna."

Ratna tersenyum. Oh, sudah cantik murah senyum pula. Hati siapa yang takkan terpikat dengan gadis semacam ini?

Malam kian larut, Joko berada di kamar sendiri, duduk di sebuah kursi sembari merenung. Sebelumnya ia sempat berencana kembali ke gardu menemani Ki Warso dan kawan-kawan berjaga setelah mendengar cerita Galih, tapi setelah bertemu dengan Ratna, ia merasa berat untuk beranjak dari rumah. Khawatir meninggalkan gadis itu.

Tak!

Dahi Joko mengerut, lamunannya buyar. Suara yang barusan di dengarnya berasal dari luar. Ingatannya langsung beralih pada si penculik misterius. Apakah makhluk itu menyatroni rumah ini? Ditajamkan pendengarannya.

Gerakan-gerakan lembut dan pelan tertangkap oleh telinganya. Asalnya dari atas genteng, nalurinya mengatakan ada bahaya mengancam.

Dengan sabar Joko menunggu dan tetap memasang telinga. Srreett.. Kini ia mendengar seperti suara genting yang tergeser pelan. Ia yakin dari bagian kamar di belakang. Joko bangkit dari duduknya, di bukanya jendela kamar. Apapun yang telah mencoba masuk ke rumah jelas nanti akan keluar, oleh karenanya diputuskan untuk menunggu di luar.

Tanpa suara si pemuda sudah berada di luar, ia awasi bagian atas rumah Ki Warso.

Penantiannya tak perlu waktu lama, sesosok tubuh besar melentik dari dalam keluar, menginjak atap genting dengan ringan. Makhluk itu berdiri agak membungkuk. Dibahunya membopong satu tubuh ramping. Ratna! Teriak Joko dalam hati mengenali.

Belum lagi sipemuda sempat melakukan apapun. Si penculik sudah melompat, sepertinya tidak menyadari kehadiran si pemuda. Lompatannya begitu ringan ke arah batang pepohonan.

Tak mau kehilangan si makhluk yang membawa perempuan yang telah menarik hatinya. Joko berkelebat mengejar.

Walau dengan memanggul, gerakan si makhluk demikian lincahnya, bila bukan si pemuda yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi, tentu takkan mampu mengikuti laju perginya makhluk itu.

Tak mau terjadi hal-hal mengerikan pada Ratna, si pemuda empos tenaganya, lesatam tubuhnya mendekat cepat kearah simakhluk yang hendak mencapai pinggiran hutan. Takut keburu masuk hutan dan ia akan kehilangan jejak si penculik. Joko mengeluarkan teriakan menggeledek.

"Berhenti pengecut!"

Entah paham dengan ucapan Joko atau kaget karena ada yang mengikuti. Makhluk itu hentikan gerakannya, ia putar tubuh.

Joko yang memburu terkejut dengan wujud si makhluk. Mampu berdiri seperti manusia, tapi memiliki tubuh tebal, mulutnya menyeringai memperlihatkan gigi-gigi yang runcing.

Si pemuda tak hentikan laju larinya yang telah dekat, ia langsung menerjang dengan serangan kilat mengarah dada si penculik.

Arggrr!

Terdengar gerangan dari mulut makhluk itu, dengan mudah ia menghindari serangan si Joko. Begitu mampu menghindar, si makhluk lemparkan tubuh korbannya begitu saja ke tanah. Joko mengumpat melihat perbuatan si makhlu pada Ratna.

Dengan geram ia susulkan kembali serangan bertubi-tubi kearah si penculik. Hebat, dengan gerakan lincah semua serangan Joko yang terarah tak satupun mengenai sasaran, dan bahkan..

Bukk!

Sebuah tendangan berbalik tiba-tiba mengenai perut si pemuda. Joko meringis kesakitan, untung tendangan yang ia terima tak mengandung tenaga dalam. Seandainya disertai tenaga dalam, tentu si pemuda takkan mampu bangkit.

Joko kembali bersiaga, ia kini lebih berhati-hati, sepertinya gerakan si makhluk bukan gerakan silat, tapi gerakan-gerakan alamiah dari seekor hewan, oleh karena itu sulit baginya tadi memperkirakan kemungkinan gerak serangan balik yang di unjukkan lawan, karena merupakan naluriah menyelamatkan diri dan menyerang musuh.

Makhluk yang menyerupai kera besar berdiri setengah membungkuk dan selalu bergoyang-goyang, mulutnya berkali-kali menyeringai, sepertinya ia merasa Joko merupakan tantangan yang pantas di bereskan, karenanya si makhluk siap dengan posisi melawan.

Si pemuda malah ragu mengambil gerakan melihat tubuh si makhluk yang selalu bergoyang-goyang, takut akan menderita seperti sebelumnya karena serangan tak terduga, namun setelah di tunggu beberapa lama tak ada aksi dari si makhluk, di putuskan untuk mendului ambil serangan.

Kaki Joko menyambar ke arah kepala dengan tendangan melingkar. Si makhluk menunduk dengan cepat. Satu pukulan menggeledak menyusul kegagalan tendangan kaki, mengancam wajah makhluk liar, inipun dengan mudah dielakkam dengan melompat seperti bersalto kebelakang.

Eitss! Joko mundur menghindari kaki yang hampir menyentuh dagunya. Dan hebatnya, seperti pegas, begitu dua telapak tangan menyentuh tanah menjadi tumpuan untuk menghentak kedepan, menyerang dengan dua telapak kaki yang lebar ke dada si pemuda.

Serangan kilat tersebut membuat Joko gugup. Ia tangkupkan dua lengannya melindungi dada.

Duaakk!

Si pemuda tak ayal terpelanting karena dorongan yang begitu keras. Begitu tubuhnya memghempas tanah, si mahkluk melompat menerkam, kuku-kuku yang oanjang mencuat dari jari-jari makhluk, seakan itu gerak pamungkas menuntaskan nyawa si pemuda.

Tapi sayang, lawan si makhluk adalah Joko, seorang pemuda yang sudah bertahun-tahun malang melintang di dunia hijau, walau merasa sakit, tak cukup membuat si pemuda lunglai, tubuhnya sebat berguling melihat bahaya mengancam, dengan gerak susah di ikuti mata, tangannya menarik sesuatu dari pinggangnya dan sebat di hantamkan kedepan.

Srrrreat!

Itulah senjata andalan si pemuda, sebuah cambuk berwarna keemasan dengan gagang paruh burung. Cambuk Raja Garuda. Sebuah cambuk yang kuat dan ulet luarbiasa, apalagi ketika dilambari dengan pengerahan tenaga dalam, siapa yang terbelit akan lumpuh dayanya.

Itulah yang di alami makhluk buas musuh Joko, kecepatan cambuk tak kuasa di hindarinya, cambuk keburu melilit lehernya, ia meronta mencoba membebaskan lilitan dengan kedua tangan. Joko menarik cambuk dengan kencang, tubuh si makhluk tertarik ke arah si pemuda. Begitu dekat, sebuah tendangan dilayangkan Joko.

Buaggh!

Akhrrh!

Erangan disertai darah mengalir dari mulut si makhluk. Joko kendurkan cambuk tak ingin ia terbawa arah hempasan tubuh si makhluk.

Dengan keras tubuh besar makhluk itu terbanting di tanah. Si pemuda memburu hendak susulkan serangan, tapi diurungkannya, dilihatnya bagian leher si makhluk membiru, rupanya jiratan dan tendangan tadi telah memutus tulang leher sekaligus mengakhiri hidupnya.

Sehabis mengetahui lawannya sudah tak bernyawa lantas saja ia teringat akan Ratna, melesat cepat ia ke tempat si gadis tadi tergeletak.

Ditemuinya tubuh si gadis tetap tak bergerak, begitu cemas si pemuda. Ia sentuh urat nadi gadis itu. Masih berdenyut. Syukurlah. Ia bopong tubuh Ratna. Kemudian kkinya melangkah menuju kembali ke desa.

Begitu gembira para warga mengetahui Joko berhasil membunuh si penculik yang selama ini menteror kampung mereka. Terutama Ki Warso sekeluarga, yang berterimakasih sekali karena si pemuda berhasil membawa pulang puteri mereka dengan selamat.

Joko sendiri merasa senang karena melihat si gadis yang telah mengikat hatinya sehat tanpa kurang suatu apa. Sebenarnya ingin ia melanjutkan langkah pengembaraan begitu menyelesaikan urusannya, namun takdir berkata lain, Ki Warso memintanya untuk menginap di desa beberapa hari. Dan untuk menghormati orang tua yang telah teramat baik padanya, ia tak berani menolak.

Siapa sangka Ki Warso punya rencana sendiri dengannya, karena di saat yang tepat ia mengharapkan dirinya tetap tinggal dan menjadi bagian dari desa itu, dengan berkenan mempersunting puterinya.

Walau terkejut, mana mungkin si pemuda menyia-nyiakan mimpi yang menjadi kenyataan, apalagi setelah di ketahuinya bila Ratnapun mengakui menyukainya sejak awal mereka bertemu. Lelaki sopan, gagah, dan baik hati, itu kata si gadis memuji dirinya.

Pernikahan antara dirinya dan gadia pujaan hati dilangsungkan dengan meriah, seluruh masyarakat ikut bergembira, karena sekaligus merayakan akhir dari ancaman makhluk penculik yang telah meresahkan.

Sekian.

Kumpulan Cerita Misteri, Cerita Silat, Cerita Horor, Cerita Remaja, Cerita Anak, Cerita Religi, Cerita Lucu, Cerita Sejarah, Cerita Petualangan, Cerita Detektif, Cerita Pendek, Cerita Serial, dll.

Post a Comment

Previous Post Next Post