RIMBA BARA - Kekacauan di Hunian Cakra Dewa


Semangat Ki Taruna berkobar saat mendengar kebangkitan para iblis, tapi usia dan kondisi kesehatan tak memungkinkannya untuk ambil peran dalam mencegah aksi para iblis seperti puluhan tahun yang lalu, maka doa dan harapan keberhasilan yang terucap dari mulutnya mengiringi kepergian Ki Raganata dan Baskara.

Perjalanan kembali terasa lebih cepat, tak ada aral rintangan berarti mereka temui. Namun sesampai di pondok Baskara merasa heran, tak dijumpainya Laras, Tanjung maupun Watu Aji. Jawaban semua itu ada pada secarik kertas yang tergeletak di atas meja di dalam pondok.

Kakang, bila kau kembali kami tak ada di pondok, susul kami di Kota Hunian Cakra Dewa (Watu Aji).

“Sepertinya semua ksatria telah merapat ke Kota Baskara.” Kata Ki Raganata seusai membaca pesan secarik kertas tersebut.

“Kalau demikian baiknya segera kita menyusul mereka Ki.” Ucapan Baskara di jawab dengan anggukan oleh Ki Raganata.

Hunian Cakra Dewa  memang pantas disebut Kota, rumah-rumah berjejer rapi, sebagian bangunan bahkan bertingkat dua, kereta kuda, dan orang hilir mudik di sepanjang jalan, sebagian dari mereka kaum awam, sebagian lagi golongan para ksatria.

Baskara tak tahu kemana harus mencari Laras, Tanjung dan Watu Aji, ia hanya mengikuti saja langkah dari si orang tua bertongkat Kristal.

Menjelang tengah hari, langkah Ki Raganata sampai pada sebuah bangunan yang cukup besar, di kelilingi oleh pagar terbuat dari batu. Dua penjaga yang ada di depan salah satunya mengenali si orang tua.

“Tuan Penjaga! Akhirnya tuan kemari.” Sambut seorang diantaranya yang memiliki perawakan tinggi besar dan bercambang lebat.

“Haa Panca Aji, sepertinya keadaan betul-betul mengkhawatirkan, sampai kau sendiri yang harus menjaga gerbang,” balas Ki Raganata.

“Iya Ki, informasi dari Garis Persaudaraan meminta kita bersiaga penuh, mari-mari, kuantar menemui Ketua.”

Pintu gerbang di buka, bangunan di dalamnya bertingkat dua, halaman luas ada di depannya. Belasan pria dan wanita yang tampaknya bukan golongan awam mondar mandir dengan kesibukannya masing-masing.

Panca Aji berjalan lurus menuju bangunan, seorang penjaga di depan pintu bangunan mengunjuk hormat. “Bukalah pintu, dan sampaikan pada ketua Sang Penjaga Rimba Bara telah tiba.” Mendengar perintah si penjaga dengan sigap membukakan pintu dan melangkah masuk ke dalam.

“Mari Ki,” ucap Panca Aji meminta si orang tua untuk masuk.

Baskara mengagumi sejenak bagian dalam bangunan. Sebuah ruangan besar yang dihiasi dengan berbagai perabot mewah. Kursi besar bak singgasana ada di ujung ruangan, sebuah ukiran harimau yang perkasa ada di belakang kursi.

Mereka dipersilahkan duduk di dua kursi di depan kursi besar. Tak berapa lama menunggu, dari dalam keluar seorang lelaki dengan wibawa luar biasa. Lelaki ini mengenakan baju zirah perak, jenggotnya yang panjang berwarna putih terawat baik, walau sudah berumur, terlihat masih begitu gagah, apalagi ia memiliki sepasang mata yang tajam dengan alis tebal.

Ki Raganata berdiri, memberi hormat. Melihat itu Baskarapun berdiri dan ikut menghormat.

“Ha haa, tak pantas Ki, tak pantas, harusnya aku yang menghormat padamu,” ucap lelaki itu sembari membalas hormat, dan mendekat ke si orang tua dan memeluknya erat.

Minuman dan suguhan penganan di sajikan oleh dua gadis cantik dari dalam. “Silahkan silahkan, jangan sungkan-sungkan, anggap saja di rumah sendiri.” Kata si Ketua Harimau Perak menawari, sambil menghenyakkan pantatnya di kursi besar.

Sang Penjaga alias Ki Raganata mengambil minumannya, meminumnya seteguk.

“Ayo pemuda gagah, jangan sungkan-sungkan,” ujar Sang Ketua ketika dilihatnya Baskara agak canggung.

Baskara tersenyum dan ikut pula menyeruput minuman yang disuguhkan.

“Kau semakin gagah Abisa,” buka suara Ki Raganata menyebut nama aseli si Ketua.

“Ha haa, kau pandai memuji Ki, tapi cobalah kau tengok jenggotku, sudah memutih semua.”

Si orang tua ikut tertawa, “Jenggotmu mungkin seputih jenggotku, tapi tubuhmu tampak gagah dan terawat baik.”

“Ha haa, tampak luarnya saja Ki, karena baju zirah yang kukenakan.”

“Baiklah-baiklah, aku tak mau berdebat denganmu, oh ya, perkenalkanlah pemuda yang bersamaku, Baskara namanya, seorang perantau dari luar Rimba Bara.”

Abisa mengangguk, dia mengamati si pemuda, dahinya mengerenyit saat matanya memandang hulu pedang di balik punggung si pemuda, “Eh! Apakah aku tak salah, sepertinya aku mengenali pedang itu?”

“Tebaklah,” ucap Ki Raganata sembari tersenyum kecil.

Kening Abisa semakin mengerut, “Hulu pedang bola berduri, cuma Pedang itu yang ku tahu, tapi ah tidak mungkin? Jangan kau berteka teki denganku Ki, dan jangan kau bilang itu Pedang Kosmos?”

Kembali Ki Raganata tersenyum, “Matamu ternyata masih awas Abisa, kau benar, pedang yang di sandang pemuda ini memanglah Pedang Kosmos.”

“Ohh..” hanya itu yang keluar dari mulut Sang Ketua dengan nada takjub.

Selanjutnya mereka berbincang-bincang mengenai segala peristiwa yang dialami masing-masing, dan juga segala persiapan yang di lakukan untuk mengatasi serangan para iblis.

Abisa menuturkan, segenap anggota Harimau Perak telah diutus menyampaikan kabar ke seluruh Hunian Rimba Bara, dan kini ratusan para ksatria telah berkumpul di Hunian Cakra, berjaga-jaga atas serangan yang mungkin terjadi, karena bagaimanapun Cakra Dewa adalah Hunian utama di Rimba Dewa saat ini, seandainya hunian itu runtuh, maka Rimba Bara dapat di pastikan dalam krisis kehancuran.

“Tinggalah di tempat ini Ki, akan kusiapkan kamar untuk kalian.” Kata Sang Ketua setelah cukup lama mereka berbincang.

Ki Raganata tak menolak, karena akan lebih memudahkan baginya untuk berkomunikasi dengan para ksatria lainnya.

Dua kamar disediakan, kamar yang bersih dan rapih. Menjelang malam, setelah menikmati hidangan makan dengan keluarga Harimau Perak, Baskara ijin untuk melihat-lihat situasi Hunian Cakra Dewa, sekaligus mencari kabar tentang tiga rekannya.

‘Berhati-hatilah.” Pesan Ki Raganata.

Suasana malam di Kota Hunian Cakra Dewa cukup ramai, apalagi di pusat kota, setelah berkeliling kurang lebih satu jam, Baskara berjumpa dengan keluarga pengembara, kereta-kereta kuda mereka ada di salah satu sudut kota.

“Kakang Baskara!” sambut Nadia, gadis cantik itu tampak girang berjumpa dengan Baskara.

Baskara yang sejak perjumpaan pertama dengan putri-putri Kudeto sudah menaruh kagum, membalas sambutan dengan senyum lebar. “Nadia, ah senang berjumpa denganmu kembali.”

“Hai Kakang Baskara, bagaimana denganku, apakah kau tak senang bertemu denganku juga?” kali ini yang bersuara Iliana saudari dari Nadia, yang baru muncul dari dalam kereta kuda.

Baskara tentu makin senang pula berjumpa dengan Iliana, tak sadar dia meraih tangan gadis itu kala dekat, “Tentu aku sangat senang Iliana.”

“Kemanakah ayah kalian?” Tanyanya kemudian sambil melepas genggaman tangan Iliana perlahan.

“Ayah dan bunda sedang berkeliling Kakang, apakah kakang sendirian?” balik Tanya Iliana.

“Aku bersama Ki Raganata, ia ada di markas Harimau Perak sekarang.”

“Bagaimana perjalanan Kakang kemarin dulu? Adakah membawa hasil?”

“Satu pedang, yang tersampir dipunggungku.” Jawab si pemuda.

Dua gadis mengamati pedang di punggung si pemuda, “Itukah pedang mestika yang juga disebut-sebut ayah sebagai pedang pembantai iblis Kakang?” penasaran Nadia bertanya.

Baskara mengangguk pelan.

“Oh ya, apakah kalian melihat Laras, Tanjung dan Watu Aji? Aku tak menemui mereka di pondok, dan hanya meninggalkan pesan kalau meminta menyusul kemari.” Tanya si pemuda mengalihkan pembicaraan.

“Kami tahu Kakang, siang tadi sahabatmu pemuda berambut jabrik mampir kemari, katanya mereka menginap di salah satu penginapan di kota?’jawab Nadia.

“Penginapan yang mana, bisakah kalian menunjukkan arah ke sana?”

Belum lagi Nadia menjawab, Iliana sudah mendahului, “Aku tahu Kakang, marilah kuantar, biar kak Nadia menunggu kereta-kereta.” Jarinya yang jentik meraih tangan si pemuda, dan gadis berambut pirang melangkahkan kaki menarik tangan Baskara.

Nadia tampak cemberut dan tak sadar menghentakkan kaki ke tanah melihat kepergian adiknya dengan si pemuda.

Sebenarnya penginapan itu cukup besar, ada lima belas kamar yang disewakan, di hari-hari biasa, paing hanya searuh dari kamar yang terisi pengunjung, tapi berita tentang kebangkitan para iblis yang sudah bergaung kemana-mana membuat penginapan itu saat ini penuh terisi, kesemuanya merupakan para pendatang, terutama dari golongan ksatria dan para mistik.

Watu Aji menyewa dua kamar, di lantai atas, satu untuknya, dan satu lagi untuk Laras dan Tanjung. Mereka bertiga baru saja berkeliling melihat suasana Hunian Cakra Dewa di waktu malam. Belum lagi menaruh pantat di ranjang, pintu kamar Watu Aji di ketuk.

“Siapa?” tanyanya. “Saya tuan, pelayan kamar.”

Watu Aji membuka pintu. “Ada tamu yang mencari tuan, dan dua rekan tuan.”

“Siapakah?” tanyanya. “Dia menyebut sahabat tuan, Baskara namanya.”

Mendengar nama orang yang pernah menyelematkannya dari serbuan kawanan serigala, Watu Aji langsung menuju kamar Laras dan Tanjung, mengabarkan kedatangan Baskara. Ketiganya kemudian bergegas menuju ruang tamu di sebelah bawah penginapan.

“Kakang Baskara!” teriak Laras kegirangan, tanpa malu-malu ia memeluk pemuda itu.

Dengan canggung Baskara menepuk-nepuk punggung si gadis sesaat. Tanjungpun tak mau kalah memeluk si pemuda gantian.

“Aku baik-baik saja, bagaimana dengan kalian?” tanyanya seusai melepas pelukan Tanjung.

“Kami baik Kakang. Salah satu anggota Harimau Perak yang mengunjungi kami dan meminta untuk segera berkumpul di sini.” Jelas Watu Aji.

Baskara mengangguk-angguk. Mereka berlima kemudian duduk dan mulai bercakap-cakap, menuturkan pengalamannya masing-masing.

Tak jauh dari Hunian Cakra Dewa, di balik rerimbunan pepohonan, ratusan sosok-sosok makhluk membentuk kelompok. Mereka adalah para Gulot. Dengan tenang para Gulot bergerombol seperti menunggu perintah. Perintah yang membuat mereka patuh adalah perintah dari golongan iblis tingkat lebih tinggi. Memang di antara Gulot tampak beberapa orang Iblis tingkat tinggi yang di beri tugas mengatur para Gulot, di bagian lain puluhan iblis membentuk kumpulan, memerisai seorang lelaki yang berwajah pucat, yang merupakan Sang Pangeran Muda Iblis.

“Apakah para Siluman dan Penguasa Kuil Salju berserta para Beast telah bersiap?” buka suara Sang Pangeran.

Seorang Iblis yang ada di samping Pangeran Iblis menjawab, “Sudah tuan, mereka akan menyerang dari arah barat.

“Bagus-bagus, dua arah serangan akan membuat para penghuni Cakra Dewa kalang kabut.” Selesai berucap, jari telunjuknya yang memiliki kuku panjang menunjuk. “Mendekati tengah malam, kirim para Gulot membuat kekacauan.”

Seorang Iblis kelas satu melangkah maju, mulutnya membuka, “Kheiikkh!!” Satu suara melengking terdengar.

Gerombolan Gulot sepertinya tahu itu merupakan satu aba-aba untuk menyerang, terdengar suara-suara mendecit para Gulot, tubuh mereka bergerak, berlompatan, menuju Hunian Cakra Dewa.

Ada beberapa orang yang berjaga di pinggir kota, mereka tak menduga para iblis akan menyerang malam itu, selagi santai mengobrol satu sama lain, dari arah timur puluhan bayangan-bayangan hitam, melesat menyerbu, kaget bukan kepalang, dengan panik para penjaga mengambil senjata.

Sebagian Gulot menyerang penjaga, tapi puluhan atau bahkan ratusan lainnya terus merangsek masuk ke dalam hunian.

Kota yang semula tenang sontak menjadi riuh, sebagian orang yang tengah menikmati suasana malam di kota pontang panting dengan serangan para Gulot yang bagai gelombang, menyerang semua manusia yang di jumpainya tak pandang bulu, tua maupun muda.

Bersambung.

EPISODE SEBELUMNYA | EPISODE SELANJUTNYA

Baca SERIAL RIMBA BARA lainnya.

Kumpulan Cerita Misteri, Cerita Silat, Cerita Horor, Cerita Remaja, Cerita Anak, Cerita Religi, Cerita Lucu, Cerita Sejarah, Cerita Petualangan, Cerita Detektif, Cerita Pendek, Cerita Serial, dll.

Post a Comment