RIMBA BARA - Serangan di Tengah Malam



"Bagaimana menurutmu penuturan Ki Raganata?" tanya Baskara pada Si Jabrik dalam perjalanan kembali ke pondok.

"Sulit dimengerti," hanya itu yang keluar dari mulutnya.

Rembulan makin terang sinarnya, tak ada satu awanpun mengganggu pancaran indahnya. Sesampai di pondok Baskara langsung menuju kamarnya, sedang Si Jabrik menuju dipan kayu di depan pondok.

Udara malam tak begitu dingin kali ini, namun Si Jabrik alias Watu Aji belum merasa mengantuk. Untuk mengusir bosan diraihnya senjata andalannya yang di geletakkan begitu saja di bawah dipan. Pedang Raja.

Diamatinya pedang itu, ada rasa kebanggaan memiliki Pedang Raja yang merupakan warisan dari gurunya. Selain ketajamannya, Pedang Raja memiliki daya gempur bagai badai yang kuat bila di iringi dengan pengerahan tenaga dalam.

Dan uniknya, Pedang Raja tidaklah sembarang orang mampu mengangkatnya, hanya yang telah di ijinkan oleh pemiliknya saja yang mampu mengangkat pedang tersebut. Karena itulah, tak khawatir bagi Watu Aji menggeletakkan pedangnya begitu saja, sebab si pedang akan berat bukan main jika sembarang orang mengambilnya.

Ia ingat lebih dari seminggu yang lalu, sebuah desa di lalui dalam perjalanan, sebuah desa yang bak terlanda topan, di sana-sini rumah rusak parah, dan mayat-mayat orang bergelimpangan dengan luka-luka bagai terbacok senjata tajam. Di duganya pasti ulah para perampok atau penjahat digjaya. Di cobanya mencari korban yang masih hidup untuk mengorek keterangan, dan kemudian ditemuinya seorang lelaki separuh baya dengan kondisi mengenaskan tengah memeluk mayat seorang perempuan, yang kemungkinan istrinya. Ia berusaha menolong, tapi melihat luka yang di derita, sangat kecil kemungkinan untuk bertahan.

"Siapa yang berbuat ini Bapak?" tanyanya waktu itu.

Bukannya menjawab pertanyaan, lelaki paruh baya itu malah memohonkan sesuatu, "Tolong Kisanak... tolong selamatkan puteri kami...."

Untuk melegakan hati ia menjawab, "Ia Bapak, pasti akan saya tolong, baiknya saya obati dulu luka Bapak."

Lelaki itu menggeleng lemah, seakan ia sudah tahu, nyawanya tak mungkin tertolong, "Tanjung tuan, ia bersama saudaranya... Laras.. tolong tuan.. dari ancaman durjana...."

Hanya itu kalimat terakhir yang mampu di ucap si lelaki paruh baya, walau masih bernyawa, mulutnya sudah tak mampu berkata, nafasnya sudah kembang kempis, dan tak lama kemudian berhenti, untuk selamanya.

Sebenarnya ia kaget waktu pertama di ajak Kakang Baskara ke pondok memanggil nama  Laras dan Tanjung, dan lebih terkejut lagi saat ia telah tahu tentang kisah mereka hingga tersesat dari penuturan Baskara. Dunia begitu kecil. Ia telah menemukan puteri dari lelaki sekarat yang di temuinya. Tapi sungguh tak mampu di kabarkannya tentang kematian orang tuanya pada Tanjung ataupun Laras, takut akan membuat kesedihan dihati mereka, maka di putuskan, biarlah selepas menemukan jalan pulang, baru akan di ceritakannya. Itupun kalau mereka berhasil lolos dari tempat misterius ini.

Krosak!

Satu suara mengejutkan membuyar lamunan Si Jabrik, matanya menoleh ke asal suara. Kejut ia melihat dari kegelapan tampak puluhan titik merah berkedip. Refleks ia bangkit, dua tangannya menggenggam Pedang Raja sebagai perisai. Nalurinya memberikan tanda akan adanya bahaya.

Benar saja. Dari arah pepohonan di samping kiri pondok bermunculan sosok-sosok hitam, titik merah yang awal ia lihat kiranya mata dari makhluk-makhluk ini. Mereka bergerak dengan cepat kearah si pemuda, tanpa suara.

Begitu dekat, tanpa basa-basi terkaman-terkaman melanda tubuh Watu Aji. Beruntung sinar rembulan membantu pandangannya akan keberadaan para penyerang, dengan sigap ia menghindar kebelakang dan dengan gerak kilat melompat maju menyabetkan Pedang Raja dengan sebatnya.

Pertarungan tak mampu di elakkan. Si Jabrik yakin, para pemyerangnya inilah yang di sebut Para Gulot, karena memiliki perawakan seperti manusia, tapi dengan cakar-cakar yang tajam menghias kuku-kuku mereka.

Pontang-panting bolehlah dikatakan demikian keadaan Si Jabrik, namun tidak pula dalam keadaan bahaya, karena di kerubut belasan musuh serta menghindari kuku-kuku tajam, mestilah tubuhnya melenting kesana kemari. Tapi serangan musuh-musuhnya ini tak bisa di bilang teratur, seakan hanya berburu mencabik tubuh kecil Watu Aji.

Setelah belasan jurus, mulailah beberapa sabetan mengenai para musuh. Anehnya, tiap kali ada musuh yang terbanting terkena babatan pedang, satu sosok penyerangnya melompat dan memondong kawannya yang mungkin terluka, dan langsung meninggalkan arena, begitu seterusnya, hingga makin lama musuhnya makin berkurang banyak.

Di dalam pondok, Baskara tengah bermeditasi, mengheningkan diri, melupakan eksistensinya sebagai penghuni mayapada. Selagi khusyuk, telinganya yang peka mendengar suara-suara semacam benturan berasal dari luar. Mula-mula di abaikannya, tapi suara-suara tersebut terus mengganggu. Maka dibuka matanya, dan ditajamkan pendengaran. Suara yang di dengarnya terus berlanjut. Ia mengerutkan dahi. Dengan perlahan ia bangkit dan membuka pintu kamar hati-hati, takut membangunkan Laras dan Tanjung, begitu keluar dari pondok, di lihatnya Si Jabrik tengah berdiri dengan menggenggam erat pedangnya di depan dada.

"Kaukah barusan yang bertarung Watu Aji?'

Si Jabrik tidak langsung menjawab, ia menurunkan senjatanya, dan menoleh ke arah Baskara. "Benar Kakang."

"Hmm.. dengan siapakah?" tanya Baskara kembali.

"Para Gulot Kakang," kembali jawaban singkat keluar dari mulut Si Jabrik.

Para Gulot? Makhluk-makhluk iblis itu telah mulai meneror mereka? Bila memang demikian, sungguh satu ancaman yang pantas di waspadai. "Beruntung kau berhasil mengusir mereka," tangan Baskara menepuk pundak Watu Aji.

"Beberapa berhasil kulukai atau kubunuh Kakang." Kakinya melangkah menghampiri dipan kayu yang terjungkir dan mengaturnya pada posisi semula.

Baskara menoleh kesana kemari, "Mungkin hanya kau lukai, tak kulihat satu mayatpun?' Di dudukkan pantatnya di dipan kayu di samping si pemuda jabrik yang telah duduk duluan.

"Mereka membawanya."

Merasa ganjil Baskara dengan jawaban si pemuda, "Benarkah? Setia kawan sekali Para Gulot itu adanya," ujarnya tak kuasa menahan senyuman.

"Entahlah maksud mereka Kakang, tiap kali ada yang tertebas oleh pedangku, satu kawan mereka langsung melompat dan membawa lari lawan yang baru kutebas. Memang sungguh aneh," jawabnya dengan nada bingung.

"Kuatkah Para Gulot lawanmu Watu Aji?" tanya Baskara sambil lalu.

"Cepat, ganas, tapi tidak pintar...."

"Hei? Kenapa kau bilang tidak pintar?"

"Nyatanya para serigala-serigala kemarin, lebih mampu melayani selera bertarungku Kakang," jawabnya ringan.

Tawa renyah keluar dari mulut Baskara, "Tapi perlu kau ingat Watu Aji, jika memang mereka Para Gulot, lawanmu barusan masihlah tingkat paling rendah dari Para Iblis, masih beranikah kau bila bertemu dengan tingkat yang lebih tinggi?"

Yang di tanya tidak menjawab, tapi melihat raut wajah Watu Aji yang berubah bersemangat, Baskara dapat menyimpulkan, tak ada secuilpun rasa takut bersemayam di dada pemuda itu.

"Kau tahu apa yang lebih ku khawatirkan Adi?" ujarnya sambil tetap memandang wajah Si Jabrik. Watu Aji menoleh.

"Hujan. Tak selamanya hari akan cerah semacam ini, dan coba fikirkan, bagaimana nasibmu bila sampai saat itu tiba?"

Watu Aji termenung sejurus, "Aku tak mengapa Kakang, hujan hanyalah air."

"Jangan kau bicara begitu, mungkin tak akan membunuhmu, tapi bisa membuat badanmu jatuh sakit, ada baiknya besok kita luangkan waktu membuat gubuk kecil beratap walau tak berdinding, sekedar tempatmu berteduh kala hujan turun."

Pemuda berambut jabrik mengangguk-angguk, "Baiklah bila Kakang merasa itu perlu," ia mengangkat Pedang Raja yang semula ditaruh di sampingnya dan melemparnya ke kolong dipan.

Bersambung.



Kumpulan Cerita Misteri, Cerita Silat, Cerita Horor, Cerita Remaja, Cerita Anak, Cerita Religi, Cerita Lucu, Cerita Sejarah, Cerita Petualangan, Cerita Detektif, Cerita Pendek, Cerita Serial, dll.

Post a Comment